“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.34
Ivana menatap Sakti yang menjauh, membawa uang yang baru saja ia lemparkan. Bukan karena sombong, tapi karena uang itu sangat ia butuhkan untuk membayar sekolah sang anak. Setiap langkah Sakti menjauh, hatinya seakan tertusuk—marah, kecewa, dan frustrasi bercampur menjadi satu.
"Sudah tenang?" tanya Amora, suaranya lembut, namun matanya menangkap sesuatu yang tak bisa diucapkan Ivana. Ia menyerahkan cangkir teh herbal, berharap panasnya bisa menenangkan putrinya.
"Huh! Ya… aku sudah lebih baik, Ma," jawab Ivana sambil tersenyum. Tapi senyum itu tipis, rapuh—Amora bisa merasakan kebohongan yang terselip di baliknya. Ada dendam yang belum padam, ada sakit yang belum sembuh.
Amora menatapnya, ragu. "Apa aku harus membawamu ke psikolog?" gumamnya pelan, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Mau cerita?" lanjutnya, mencoba menembus dinding yang Ivana bangun rapat-rapat.
"Enggak… aku baik-baik saja, Ma," jawab Ivana cepat, matanya menghindar. Ia tidak ingin membuka luka lama—tidak sekarang, tidak pada ibunya.
"Ivana," Amora menahan tangan putrinya. Ada kesedihan dalam suaranya, ada kerinduan yang dalam.
"Dulu, saat Mama hamil kamu dan tahu kamu perempuan, Mama begitu senang. Kamu tahu alasannya?" tanyanya, matanya berkaca-kaca. Ivana menggeleng.
"Itu karena Mama ingin punya anak perempuan. Mama ingin mendandani kamu dengan jepit rambut, baju-baju lucu… Mama berharap bisa jadi sahabatmu, teman curhatmu. Ivana," suara Amora pecah, penuh kehangatan dan kerinduan yang tak terucap selama ini.
"Maafkan aku, Ma…" Ivana memeluk Amora erat. Hatinya berat, namun ia tak ingin menambah beban ibunya dengan cerita tentang kemarahannya, kecewa dan luka yang belum hilang.
Amora menepuk punggung Ivana dengan lembut. Ia tahu, kadang kata-kata tidak cukup. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah kehadiran yang menenangkan.
*
*
*
Di kediaman Wisnutama, ketegangan lain mewarnai rumah. Daisy menatap Mia yang sedang mengepel lantai, napasnya berat menahan amarah. Akhirnya, Mia bekerja di rumah Daisy atas permintaan Jasmin. Daisy tidak bisa menolak, meski hatinya ingin mengungkap siapa sebenarnya perempuan itu.
Nikmati saja peranmu sebagai pembantu, Mia. Setelah ini, kamu akan aku usir dari sini, gumam Daisy dalam hati, senyum tipis menutupi rasa benci yang mendidih di dada.
Tepukan lembut di paha menarik perhatiannya. Vio merengek ingin dipangku, wajah polosnya membuat Daisy tersenyum meski hatinya masih penuh dendam.
"Sayang, ayo kita jalan-jalan," ajak Daisy sambil tersenyum, menahan amarah yang tak ingin terlihat oleh anaknya. Tawa Vio memenuhi ruang tamu, seolah menebus kekakuan yang mengintai di sekitarnya.
Di sudut mata, Mia memandang dengan tajam. Iri, sakit hati, dan dendam membakar dadanya. Setiap gerak Daisy membuatnya ingin melawan, ingin menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar pembantu yang ditindas.
"Kerja yang benar, jangan kebanyakan melamun. Mau makan gaji buta?" cibir Daisy tanpa menoleh, tajam seperti pedang.
"Eh! Ma-maaf, Nona…" balas Mia, menahan ledakan emosi yang siap meletus.
Daisy berlalu, membawa Tyas dan Vio keluar. Mia menatap mereka pergi, dadanya sesak. Satu hal jelas: permainan ini baru saja dimulai.
*
*
Daisy dan Tyas memutuskan pergi ke mal. Selain berbelanja, Daisy juga berniat memeriksa kafe miliknya.
“Daisy! OMG!” seru Zara begitu melihat sahabatnya. Ia langsung berlari kecil lalu memeluk Daisy erat.
Vio yang berada di gendongan menatap Zara dengan mata bulatnya. Wajahnya seakan penuh tanda tanya—siapa perempuan berani-beraninya memeluk ibunya seperti itu?
“Ya ampun, Vio! Kamu gemes banget.” Zara beralih memperhatikan bayi itu, tangannya terulur mencubit pipinya yang chubby.
Namun Vio langsung cemberut. Ia jelas tak suka pipinya diremas-remas begitu. Kepalanya digerakkan ke sana kemari, berusaha melepaskan diri dari sentuhan Zara.
Zara justru tertawa terbahak melihat ekspresi kesal bocah itu. Tanpa mereka sadari, kehadiran mereka bertiga langsung menarik perhatian orang-orang di sekitar kafe.
“Mbak, kamu boleh pesan apa aja,” ujar Daisy ramah pada Tyas.
“Baik, Nona. Terima kasih.” Tyas memilih duduk di meja yang tidak jauh dari mereka.
Sementara itu, setelah memastikan Vio nyaman di kursi bayi dan anteng dengan mainannya, Daisy menatap Zara dengan serius.
“Ada apa?” tanya Zara, menyadari gelagat sahabatnya yang tidak biasa.
Daisy menghela napas, lalu berkata pelan, “Mia… dia kerja di rumah gue sekarang.”
“Mia? Maksud lo, Mia yang dulu pacarnya Andreas?” Zara sontak meninggi.
“Iya. Tepatnya sih mantan,” jawab Daisy, sorot matanya kosong menatap gelas kopi di depannya.
Zara terbelalak. “Ya ampun, Sy! Terus lo enggak takut?”
Daisy menggigit bibir, kemudian mengaku, “Justru gue curiga, dia datang buat balas dendam sama gue.”
“Dan Damian? Om, Tante? Mereka tahu?” Zara semakin penasaran.
“Mommy yang izinin dia kerja, katanya jatuh cinta sama masakan Mia. Kalau Damian sama Daddy, ya nurut aja. Pokoknya, apa kata sang Nyonya Besar,” Daisy menirukan dengan nada mencibir.
Zara tak kuasa menahan tawa. Namun setelah itu, ia kembali serius. “Pokoknya lo harus hati-hati, Sy. Jangan gampang percaya.”
Daisy hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, keresahan itu tetap belum bisa ia usir.
Bersambung ...
Semoga sukaa