Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 6
Cinta di Bawah Hujan
Malam itu, Nayla sulit tidur. Ia berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar, mendengar sisa hujan yang masih menetes dari atap. Di meja sampingnya, buku novel yang tadi siang ia bawa pulang masih tergeletak, tidak tersentuh. Biasanya, buku menjadi pelarian terbaiknya. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh oleh sosok yang baru saja muncul kembali setelah bertahun-tahun menghilang—Arka.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat lagi setiap detail yang terjadi sore tadi. Tatapan mata Arka, suaranya yang hangat, bahkan cara dia menggenggam tangannya saat menyeberang jalan. Semua itu terasa begitu nyata, seolah waktu tidak pernah benar-benar memisahkan mereka. Namun di balik hangatnya kenangan itu, ada juga kegelisahan yang mengusik.
“Apa aku benar-benar siap membuka hati lagi?” batinnya.
Ia tahu, dulu perpisahan tanpa kata dari Arka meninggalkan luka yang tidak sedikit. Nayla berusaha keras menyembuhkan dirinya dengan kesibukan, dengan mimpi-mimpi baru, dengan orang-orang lain yang sempat hadir dalam hidupnya. Tapi hujan sore itu seolah merobek kembali luka lama yang sudah ia jahit rapat-rapat.
Di luar, suara derit gerbang rumah terdengar samar. Nayla bangkit, mengintip dari jendela kamarnya. Lampu jalan menyinari samar sosok seseorang berdiri di depan rumahnya. Jantung Nayla berdegup kencang ketika ia mengenali siapa yang ada di sana. Arka.
Ia membuka jendela sedikit, memanggil pelan, “Arka? Kamu ngapain di situ malam-malam?”
Arka mendongak, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Maaf ganggu. Aku cuma… nggak bisa langsung pulang tadi. Jadi aku muter-muter kota sebentar, lalu tanpa sadar ke sini lagi.”
Nayla menghela napas, antara kesal dan terharu. “Kamu gila. Besok ketemu lagi, katanya. Kenapa harus sekarang?”
Arka mengangkat bahu. “Aku takut besok nggak sempat bilang sesuatu. Jadi lebih baik sekarang.”
Nayla terdiam, lalu memutuskan turun ke teras. Ia mengenakan jaket tipis dan keluar menemui Arka. Udara malam masih lembap, sisa aroma hujan masih pekat. Mereka berdiri berhadapan, hanya dipisahkan oleh pagar kecil rumah Nayla.
“Apa yang mau kamu bilang?” tanya Nayla akhirnya.
Arka menatapnya lama sebelum menjawab. “Aku minta maaf. Untuk semuanya. Untuk pergi tanpa pamit, untuk semua pesan yang nggak aku balas, untuk semua keheningan yang mungkin nyakitin kamu. Aku sadar, aku udah lama salah. Dan aku nggak bisa biarin kesempatan kedua ini hilang begitu aja.”
Kata-kata itu menghantam Nayla seperti gelombang. Ia terdiam, menatap Arka dengan mata yang mulai berkaca. “Kenapa harus sekarang? Kenapa bukan dulu?” suaranya bergetar.
Arka menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi. “Karena dulu aku belum siap. Aku masih pengecut. Tapi sekarang aku tahu, kalau aku nggak bilang, aku akan nyesel seumur hidup.”
Nayla menghela napas panjang. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menyalahkan Arka atas semua luka yang pernah ia rasakan. Tapi di saat yang sama, ia juga ingin meraih tangan itu dan percaya lagi. Hatinya terombang-ambing di antara logika dan perasaan.
“Arka…” ucapnya lirih. “Aku butuh waktu. Aku nggak bisa kasih jawaban sekarang.”
Arka mengangguk pelan. “Aku akan tunggu. Berapa pun lama waktunya, aku akan tunggu.”
Dan malam itu, di bawah sisa rintik hujan, sebuah janji baru terucap—janji tentang kesabaran, tentang penantian, dan tentang cinta yang enggan padam meski waktu telah lama memisahkan.