Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan dalam Bayangan
Aruna berdiri di taman belakang vila Palermo, memandangi langit yang muram. Bunga-bunga rosemary bergoyang diterpa angin. Tapi keindahan itu tak bisa menenangkan dadanya.
Sudah beberapa hari sejak pertengkaran terakhir dengan Leonardo, dan suasana semakin dingin. Mereka masih berbicara, tapi hanya formalitas: “Sudah makan?” atau “Tidurlah lebih awal.” Tidak ada lagi percakapan lembut di malam hari, tidak ada lagi kehangatan yang membuatnya merasa hidup.
Aruna menutup matanya, mencoba mengusir bayangan wajah Elena. Kata-kata wanita itu terngiang jelas:
"Cinta tidak seharusnya membuatmu tawanan."
Hatinya sakit. Ia masih mencintai Leonardo—itu tak bisa dipungkiri. Tapi apakah cinta itu sudah berubah jadi rantai?
---
Sementara itu, Leonardo duduk di ruang kerja, menatap laporan dari anak buahnya. Serangan balasan terhadap Interpol sudah mengguncang Eropa. Madrid, Berlin, hingga Warsawa—semua tahu nama De Santis.
Tapi malam ini, fokusnya bukan pada Interpol.
Marco baru saja melaporkan sesuatu: keluarga mafia lama, Moretti, mulai bergerak.
“Mereka hanya anjing lapar yang mencium bau darah,” gumam Leonardo sambil menyalakan rokok. “Tapi kalau mereka berani menyentuh Aruna, aku akan membakar mereka hidup-hidup.”
Marco menelan ludah. Ia tahu bosnya tidak main-main. Tapi justru itu yang menakutkan—karena semakin banyak musuh, semakin besar kemungkinan Leonardo kehilangan kendali.
---
Di sebuah restoran mewah di Napoli, Don Moretti duduk dikelilingi anak buahnya. Cerutu tebal menempel di bibirnya, asap memenuhi udara.
“De Santis terlalu sibuk dengan Interpol. Dia tidak sadar bahwa musuh sejati ada di belakangnya.” Don Moretti menatap foto Aruna yang tergeletak di meja. “Wanita ini… adalah kuncinya.”
Seorang kaki tangannya bertanya, “Tuan, bagaimana cara mendekatinya? Vila Palermo dijaga ketat. Tak mungkin kita masuk begitu saja.”
Don Moretti tersenyum tipis. “Tidak ada benteng yang tak bisa ditembus. Kita tidak perlu masuk. Kita hanya perlu membuatnya keluar.”
Dan begitu, rencana dimulai.
---
Aruna mulai merasakan kejanggalan di sekitarnya. Saat ia berjalan di taman vila, ia melihat secarik kertas terselip di antara bunga rosemary.
Dengan hati-hati ia mengambilnya. Tulisan tangan halus tertera di sana:
"Jika kau benar-benar ingin bebas, pergilah ke Gereja San Paolo, malam Jumat. Sendiri. Jangan percaya siapa pun."
Aruna terperanjat. Ia memandang sekeliling, tapi tak ada siapa pun. Jantungnya berdegup kencang.
Ia tahu itu jebakan. Tapi… bisakah itu juga menjadi jalan keluar?
---
Di Roma, Elena menerima laporan yang sama. Agen-agen lapangan menemukan jejak pesan misterius yang diselipkan ke sekitar vila Palermo.
“Elena,” ujar asistennya, “sepertinya Moretti mencoba memancing Aruna keluar.”
Elena menyipitkan mata. “Biarkan. Jangan cegah. Kadang musuh bisa menjadi jembatan kita.”
“Asalkan Aruna tidak terbunuh.”
Elena menghela napas. “Justru karena itu kita harus menunggu. Kalau kita bergerak sekarang, De Santis akan tahu. Tapi kalau Moretti berhasil membuat Aruna keluar… di situlah kita masuk.”
---
Malam itu tiba. Palermo diselimuti kabut tipis, lonceng gereja berdentang pelan.
Aruna mengenakan mantel sederhana, berusaha menyelinap keluar dari vila. Ia berbohong pada penjaga bahwa ia ingin berjalan sebentar untuk menenangkan diri. Marco sempat melihatnya, tapi tidak menghentikan. Hanya menatap lama, seolah menyimpan rahasia dalam hati.
Gereja San Paolo tampak sunyi. Lilin-lilin kecil berkelip, aroma dupa memenuhi udara. Aruna melangkah masuk, tubuhnya bergetar karena takut sekaligus harapan.
Di bangku kayu depan altar, seorang pria tua dengan jas abu-abu menoleh. Senyum tipis mengembang.
“Selamat malam, Signora Aruna.”
Aruna terhenti. “Kau siapa?”
Pria itu berdiri, membungkuk pelan. “Aku hanyalah utusan keluarga yang tahu penderitaanmu. Nama kami… Moretti.”
---
Don Moretti sendiri tidak datang, tapi utusannya berbicara dengan penuh pesona. Ia mengatakan hal-hal yang menggetarkan hati Aruna:
“Kami tahu kau bukan tawanan biasa. Kau wanita yang dicintai De Santis, tapi juga disakiti olehnya.”
“Kami tidak ingin kau mati dalam perang yang bukan milikmu. Kami bisa memberimu kebebasan, tempat aman, identitas baru. Tanpa darah. Tanpa rantai.”
Aruna mendengarkan, hatinya kacau. Kata-kata itu terasa seperti janji yang ia dambakan.
Tapi sekaligus… bisa jadi kebohongan.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Aruna dengan suara serak.
Utusan itu tersenyum. “Hanya satu hal: jangan kembali ke sisinya. Biarkan dunia melihat bahwa De Santis bukan tak terkalahkan. Kau adalah retakan yang bisa menjatuhkannya.”
---
Tanpa sepengetahuan mereka, Elena sudah ada di sekitar gereja. Dari mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, Elena mengintai dengan teropong malam. Ia mendengar cukup banyak percakapan untuk tahu bahwa Moretti mencoba menjadikan Aruna pion.
“Aruna…” gumamnya, “kau sedang dikepung monster dari dua arah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu tenggelam.”
---
Aruna pulang ke vila dengan hati gelisah. Ia tidak menceritakan apa pun pada Leonardo. Malam itu, ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit, terjaga sampai fajar.
Leonardo masuk kamar, menatapnya lembut. “Kau tidak tidur?”
Aruna hanya menggeleng. “Aku… sulit memejamkan mata.”
Leonardo berbaring di sampingnya, menariknya ke pelukan. “Kau aman di sisiku. Tak ada yang bisa menyentuhmu.”
Aruna menutup mata, tapi air matanya mengalir. Benarkah, Leo? Atau justru kau yang menjadi alasan semua ini terjadi?
---
Beberapa hari kemudian, Don Moretti mengadakan pertemuan rahasia di Zurich. Yang mengejutkan, pertemuan itu tidak hanya dihadiri oleh mafia, tapi juga seseorang dengan wajah yang sangat dikenal Aruna—Elena Varga.
“Interpol tidak bekerja sama dengan mafia,” kata Elena dingin. “Tapi dalam kasus ini, kita punya musuh yang sama: Leonardo De Santis.”
Don Moretti tertawa pelan. “Akhirnya hukum dan kejahatan duduk di meja yang sama.”
Elena menatapnya tajam. “Jangan salah sangka. Aku tidak mempercayaimu. Tapi kalau Aruna berada di tanganmu, aku akan turun tangan. Kita hanya bekerja sama untuk satu hal: menjatuhkan De Santis.”
---
Di Palermo, Leonardo mulai mencium ada yang tidak beres. Anak buahnya melaporkan gerakan mencurigakan di sekitar vila, tapi tidak menemukan siapa pun.
Ia menatap Marco. “Ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Dan aku akan menemukannya.”
Malam itu, Leonardo masuk ke kamar Aruna tanpa suara. Ia melihatnya tidur gelisah, menggenggam erat salib di leher.
Di meja samping ranjang, ada secarik kertas terlipat. Leonardo membukanya pelan.
Tulisan tangan halus: “Jika kau ingin bebas, jangan kembali.”
Wajah Leonardo membeku.
---
Leonardo berdiri di kamar gelap, menatap Aruna yang tertidur lelap. Di tangannya, secarik kertas itu bergetar.
Matanya penuh badai—marah, terluka, sekaligus dikhianati.
“Aruna…” bisiknya, suara serak menahan emosi. “Siapa yang sudah menyentuhmu?”
Di luar vila, Marco berdiri di halaman, menatap bulan pucat. Ia tahu badai besar akan pecah.
Dan di tempat lain, Don Moretti dan Elena Varga bersulang dalam pertemuan rahasia. Dua musuh besar menemukan kesepakatan sementara.