NovelToon NovelToon
Obsesi Cinta King Mafia

Obsesi Cinta King Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: dina Auliya

Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terjebak berdua

Suara tembakan beruntun memenuhi udara. Rumah kosong yang semula sunyi mendadak berubah menjadi neraka kecil. Kaca pecah berhamburan, kayu pintu hancur tertembus peluru, dan bau mesiu menusuk hidung.

Anak buah Leonardo berusaha menahan serangan dari luar, tapi jumlah musuh terlalu banyak. Satu per satu mereka tumbang, tubuh mereka tergeletak di lantai, darah mengalir menodai dinding yang sempit.

Aruna terhuyung mundur, punggungnya menempel pada dinding. Jantungnya berdegup kencang, matanya membelalak menyaksikan kekacauan yang begitu dekat.

“LEO!” jeritnya, ketika melihat salah satu anak buah menubruk Leonardo, tubuhnya jadi tameng dari rentetan peluru. Darah muncrat, lelaki itu roboh, dan Leonardo terseret ke lantai bersama tubuhnya.

Dengan cepat Leonardo mendorong mayat itu, lalu meraih Aruna. “Ikut aku! Sekarang!”

Ia menariknya menuju koridor sempit di belakang, menendang pintu kayu yang terkunci. Mereka berlari menembus lorong pengap, suara peluru terus mengejar dari belakang.

Sampai akhirnya, mereka tiba di ruang bawah tanah—ruang rahasia kecil yang hanya bisa dimasuki dari lorong itu. Leonardo menutup pintunya rapat, memutar kunci besi.

Hening.

Hanya terdengar napas mereka yang memburu.

Aruna menatap sekeliling. Ruang itu sempit, hanya ada satu lampu redup yang bergantung, beberapa kotak kayu tua, dan bau lembab bercampur debu. Tak ada jalan keluar lain.

“Leo… kita terjebak,” bisiknya, suaranya bergetar.

Leonardo menatap pintu besi yang bergetar pelan akibat hantaman dari luar. Matanya dingin, penuh kalkulasi. “Ya. Dan mereka tidak akan berhenti sampai kita mati.”

 

Aruna memeluk dirinya, tubuhnya gemetar. “Kalau begitu… kita akan mati di sini?”

Leonardo menoleh padanya, lalu mendekat. Wajahnya keras, tapi sorot matanya berbeda—ada ketakutan yang ia sembunyikan rapat.

“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Aruna mendongak, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa? Kenapa kau begitu yakin bisa melindungiku, padahal semua orang di luar sana ingin membunuhmu… dan mungkin kau sendiri tidak lebih baik dari mereka.”

Ucapan itu menusuk, tapi Leonardo tidak membantah. Ia hanya menatapnya lekat-lekat.

“Karena kau satu-satunya alasan aku masih bertahan.”

Aruna tercekat. Kata-kata itu menghantam jantungnya lebih kuat daripada suara peluru. Ia ingin membencinya, ingin mendorongnya menjauh, tapi tubuhnya justru semakin kaku.

Leonardo mendekat, hanya berjarak sejengkal. Nafasnya panas, bercampur bau darah dari luka di lengannya.

Namun sebelum suasana semakin larut, suara hantaman keras membuat pintu besi bergetar lagi. Aruna tersentak mundur.

“Kita tidak bisa selamanya di sini,” katanya panik. “Kalau mereka berhasil menjebol pintu itu, kita habis.”

Leonardo menghela napas, lalu duduk di lantai, menyandarkan punggung pada dinding. “Tenanglah. Aku butuh pikirkan jalan keluar. Panik hanya akan membunuh kita lebih cepat.”

Aruna menatapnya tak percaya. “Kau bisa seenaknya bilang tenang, padahal nyawa kita sedang di ujung tanduk!”

Leonardo menoleh, wajahnya dingin. “Kalau begitu, duduklah di sampingku. Kalau kita memang akan mati malam ini… setidaknya aku ingin menghadapinya denganmu di sisiku.”

Aruna terdiam. Kata-kata itu menyalakan api lain dalam dadanya—antara benci, rindu, dan ketakutan bercampur jadi satu.

 

Beberapa menit berlalu dalam hening, hanya suara dentuman dari luar yang sesekali membuat mereka tersentak.

Aruna akhirnya menyadari sesuatu: darah Leonardo masih mengalir dari lengannya.

“Leo, kau… kau harus diobati,” katanya, suaranya lebih lembut.

Leonardo hanya mengangkat bahu. “Bukan pertama kalinya aku berdarah.”

“Kalau kau terus berdarah seperti itu, kau bisa pingsan sebelum musuh masuk. Dan aku tidak bisa melawan mereka sendirian.”

Leonardo meliriknya, lalu terkekeh pendek. “Jadi kau peduli?”

Aruna mendengus kesal, tapi wajahnya memanas. Ia mengambil kain dari salah satu kotak, lalu merobeknya. “Diam dan biarkan aku mengikat lukamu.”

Dengan hati-hati, ia membersihkan darah di lengannya, meski tangannya gemetar. Leonardo menatap wajahnya tanpa berkedip.

Aruna bisa merasakan tatapan itu menusuk, membuat pipinya semakin panas. “Jangan menatapku begitu.”

“Kenapa?” suaranya rendah. “Kau takut jatuh hati lagi?”

Aruna terhenti, matanya menatap Leonardo tajam. “Aku tidak pernah jatuh hati padamu. Yang aku rasakan hanyalah kebencian… dan rasa ingin tahu tentang kebenaran.”

Leonardo mengangkat alis. “Kalau begitu, kenapa tanganmu bergetar setiap kali menyentuhku?”

Aruna tercekat. Ia menarik tangannya cepat, wajahnya merah padam.

“Kau… menyebalkan.”

Leonardo hanya tersenyum tipis, meski matanya tetap gelap.

 

Keheningan kembali menguasai ruang sempit itu.

Aruna akhirnya membuka suara. “Leo… aku harus tahu. Ayahku… apakah dia mati karena mu?”

Pertanyaan itu menggantung, berat, menusuk udara pengap.

Leonardo tidak langsung menjawab. Matanya menatap lantai, rahangnya mengeras.

Aruna menahan napas, menunggu.

Akhirnya Leonardo mengangkat kepalanya, menatapnya lurus. “Jika aku bilang ya, apa kau akan membenciku selamanya? Dan jika aku bilang tidak, apa kau akan percaya?”

Aruna terdiam. Air mata menggenang di matanya. “Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Aku berhak tahu.”

Leonardo mendekat, wajahnya serius. “Aruna… ayahmu mati karena pengkhianatan. Tapi bukan aku yang menarik pelatuknya.”

Aruna menatapnya tak percaya. “Jadi… siapa?”

Leonardo hendak menjawab, namun suara hantaman keras kembali terdengar. Kali ini lebih dekat, lebih mematikan.

“BRAKK!” Pintu besi mulai retak di bagian engselnya.

Leonardo bangkit cepat, menarik pistolnya. “Percayalah padaku untuk saat ini. Kalau kita selamat malam ini, aku akan ceritakan semuanya.”

Aruna menggigit bibir, hatinya berperang. Apakah ia bisa mempercayainya?

 

Detik demi detik terasa begitu lambat. Pintu besi makin ringkih, suara teriakan musuh semakin jelas.

Leonardo berdiri di depan Aruna, tubuhnya jadi perisai. “Jika mereka masuk, lari ke sudut sana. Gunakan kotak itu sebagai perlindungan. Jangan keluar sampai aku bilang.”

Aruna mengguncang kepalanya. “Tidak! Aku tidak akan tinggalkanmu sendirian!”

Leonardo menoleh cepat, sorot matanya membakar. “Kau pikir aku bisa bertarung kalau pikiranku sibuk memikirkan keselamatanmu? Dengarkan aku, Aruna. Untuk sekali ini saja… percayalah padaku.”

Aruna tercekat. Ia ingin menolak, tapi akhirnya ia mengangguk pelan, air mata jatuh membasahi pipinya.

Pintu besi akhirnya jebol. Musuh menerobos masuk, senjata terangkat.

“DOR! DOR! DORRR!”

Leonardo melepaskan tembakan tanpa ragu, tubuhnya bergerak cepat seperti bayangan. Satu per satu musuh tumbang, tapi jumlah mereka terlalu banyak.

Aruna berjongkok di balik kotak, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin menutup mata, tapi suara tembakan membuatnya semakin panik.

Tiba-tiba, seorang musuh berhasil menyelinap dari samping, mengarahkan senjata langsung ke Aruna.

“JANGAN!” Aruna menjerit.

Leonardo menoleh, dan tanpa pikir panjang, ia melempar tubuhnya ke arah Aruna, menahan peluru dengan bahunya.

“ARGHHH!”

Darah muncrat. Aruna menatapnya dengan mata membelalak.

“LEO!”

Leonardo jatuh berlutut, tubuhnya goyah. Tapi meski darah mengalir deras, ia tetap mengangkat pistol, menembak mati pria yang mengancam Aruna.

Suasana kacau. Namun saat itu juga, suara sirene polisi terdengar mendekat. Musuh yang tersisa panik, berlari mundur keluar.

Rumah aman hening kembali, hanya tersisa suara hujan dan napas berat Leonardo.

 

Aruna segera merangkak mendekatinya, memeluk tubuh Leonardo yang kini berlumuran darah. “Leo! Jangan mati! Kumohon, jangan mati!” Aruna berusaha keras membawa Leonardo keluar dari ruang bawah tanah, setidaknya dengan begitu masih ada jalan keluar untuk lari sedangkan di dalam ruang bawah tanah tidak ada jalan keluar.

Tubuh Leonardo kembali roboh. Aruna terisak, tangannya meraih kepala Leonardo kedalam pangkuannya. " jangan mati, Leo."

Leonardo menatapnya samar, wajahnya pucat. “Aku… sudah janji… tidak akan biarkan kau mati… Tidak malam ini…”

Air mata Aruna jatuh deras, membasahi wajahnya. “Kau bodoh! Kenapa selalu menjadikan dirimu tamengku?! Kau pikir aku bisa hidup kalau kau mati di depanku begini?!”

Leonardo tersenyum lemah, meski darah terus mengalir dari bibirnya. “Mungkin… karena aku lebih takut kehilanganmu… daripada kehilangan nyawaku sendiri.”

Aruna menutup mulutnya, terisak keras. Ia menekan luka di bahu Leonardo dengan kain seadanya, meski darah terus merembes.

Suara langkah kaki terdengar di luar ruangan. Aruna menoleh, panik.

“Leo… ada yang datang lagi.”

Leonardo memejamkan mata, suaranya hampir hilang. “Kalau itu musuh… lari. Jangan pedulikan aku.”

Aruna menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak akan tinggalkan mu! Tidak peduli siapa yang datang, aku akan tetap di sini!”

Pintu tiba-tiba berderit terbuka. Sosok misterius melangkah masuk, wajahnya tertutup bayangan.

Aruna memeluk Leonardo erat, tubuhnya bergetar.

“Siapa kau?!” teriaknya dengan suara parau.

Sosok itu berhenti beberapa langkah di depan mereka, lalu berbicara dengan suara rendah dan dingin.

“Sudah lama sekali… Aruna.”

Aruna membeku. Suara itu—terlalu familiar, terlalu dekat dengan masa lalunya.

Matanya melebar, darahnya seakan berhenti mengalir.

“Itu… tidak mungkin…”

1
🇬‌🇦‌🇩‌🇮‌🇸‌🇰‌
n
🇬‌🇦‌🇩‌🇮‌🇸‌🇰‌
Yang udah diringkas nya naskah nya ini?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!