Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Bolehkah Merasa Cemburu?
...•••...
Angin menghembus kencang, membuat kulit lembut Hayaning merasakan sentuhan dingin.
Rambut hitam panjangnya berayun, mengikuti arah angin, sementara jemari lentiknya sibuk merapikan helai-helai yang menutupi wajah.
"Kenakan ini, Nona," ujar Ben dengan nada datar, meski ada kehangatan tersirat dalam sikapnya.
Haya menoleh, menatapnya dengan mata yang sedikit membesar. "Ben, aku tidak apa-apa. Kamu tidak perlu—"
"Jangan menolak, Nona," potong Ben, tatapannya tegas. "Tugas saya memastikan Anda tetap nyaman, apa pun situasinya."
Haya akhirnya menyerah, tangannya perlahan menarik jaket itu lebih rapat di tubuhnya. Aroma khas Ben yang melekat di jaket itu seolah memberikan rasa nyaman yang menenangkan.
"Terima kasih, Ben," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Rona merah masih terasa panas di wajahnya saat Haya mencoba mengalihkan perhatian ke langit malam. Namun, rasa gugup membuatnya salah tingkah. Ketika ia berusaha membalikkan badannya, kakinya kehilangan keseimbangan, dan tubuhnya hampir terjatuh.
"Ah!" serunya pelan, tangannya terulur mencoba mencari pegangan.
Refleks, Ben menangkap tubuhnya dengan sigap. Tangannya yang kokoh memegang lengan Haya, sementara tubuhnya sedikit condong untuk menahan gadis itu agar tidak benar-benar jatuh.
"Pelan-pelan, Nona," ujar Ben dengan nada tenang namun tegas. Matanya menatap Haya, memastikan bahwa dia baik-baik saja.
Haya mematung sejenak, wajahnya semakin memerah karena jarak mereka yang begitu dekat. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena nyaris terjatuh, tetapi juga karena sentuhan tangan Ben yang terasa hangat di kulitnya.
"Maaf... aku tidak hati-hati," gumam Haya, mencoba melepaskan diri dengan canggung.
"Tidak apa-apa," balas Ben sambil melepas pegangannya, memastikan Haya kembali berdiri tegak. "Sebaiknya kita turun Nona, udara malam semakin dingin, tidak baik untuk kesehatan Nona."
Haya mengangguk kecil, "ya, kamu benar Ben. Mari kita turun."
Haya lebih dulu berjalan sementara sang bodyguard akan mengawalnya dari belakang.
Haya menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah Ben yang selalu menjaga jarak dengan sikap profesionalnya. Ia menyadari betapa kaku posisi Ben, selalu berjalan beberapa langkah di belakang, seolah menjaga batas yang tak kasat mata.
"Ben, bisakah kamu jalan berdampingan denganku?" tanyanya, suaranya begitu lembut.
"Maaf, Nona. Saya harus memastikan keamanan Anda dari posisi ini."
Haya tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku mengerti, tapi kita hanya sedang berjalan di dalam rumah. Tidak akan ada bahaya di sini, kan? Lagipula, aku merasa lebih nyaman kalau kamu di sampingku."
Ben terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Haya. Akhirnya, ia mengalah. "Baiklah, Nona," jawabnya, melangkah maju hingga berada di sisi Haya.
"Begini lebih baik," ucap Haya, senyumnya melebar. "Aku tidak suka merasa seperti sedang dikawal sepanjang waktu. Aku ingin kita lebih... santai, setidaknya saat di rumah."
Ben hanya mengangguk, menjaga sikapnya tetap tenang sebagaimana memang dirinya yang seperti ini. Tidak begitu peduli dengan perasaan orang lain dan condong lebih berpikir dengan logika tanpa pernah memusingkan hal yang berbau perasaan. Ia hanya menjalankan tugas pekerjaannya dan itu cukup baginya.
"Santai atau tidak, tugas saya tetap sama, Nona," jawab Ben akhirnya, suaranya terdengar netral namun maknanya tegas.
Haya meliriknya sekilas, seolah mencoba membaca pikiran Ben. Ia tahu bodyguard-nya itu bukan tipe orang yang mudah ditembus secara emosional. "Kamu terlalu serius, Ben," gumamnya pelan, setengah bergurau.
"Dan Nona terlalu ceroboh," balas Ben singkat, tanpa nada humor sedikit pun. "Saya harus serius untuk memastikan Anda aman."
Haya menghela napas, separuh kesal namun tidak bisa membantahnya. "Ya, ya... aku tahu. Tapi, sesekali, kamu bisa lebih santai, kan?"
Ben tidak menjawab. Langkah-langkahnya tetap mantap, seperti tidak ada yang bisa menggoyahkan prinsipnya.
Baginya, menjaga jarak itu perlu. Tidak boleh ada ruang untuk kelemahan, bahkan jika kelemahan itu datang dalam bentuk senyum hangat seorang Hayaning. Pantang bagi Ben jatuh dua kali kedalam lubang yang sama.
Ben turut mengantarkan Haya sampai perempuan itu berada di depan pintu kamarnya.
"Selamat beristirahat, Nona Hayaning," ucap Ben, tangannya sedikit memberi isyarat hormat sebelum bersiap untuk pergi.
Haya mengangguk kecil, namun langkah Ben yang mulai menjauh membuatnya merasa sedikit aneh. Ia tidak ingin malam itu berakhir begitu saja. "Ben, tunggu," panggilnya.
Ben menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Haya dengan alis sedikit terangkat. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Haya menggigit bibir bawahnya, terlihat ragu. Namun, akhirnya ia berkata, "Terima kasih untuk malam ini... dan untuk jaketnya. Besok akan aku kembalikan." Suaranya lembut, hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk didengar Ben.
Ben mengangguk sekali lagi, menjaga sikapnya tetap tenang. "Itu adalah tugas saya, Nona."
"Tugas, tugas, tugas," gumam Haya membatin lelah. Namun ia tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Kalau begitu, semoga kamu juga bisa beristirahat dengan baik, Ben. Selamat malam."
Ben menatap Haya beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan, namun segera mengalihkan pandangannya. "Terima kasih, Nona. Selamat malam."
Tanpa menunggu respons selanjutnya, Ben berbalik dan melangkah pergi. Haya menatap punggungnya yang semakin menjauh, rasa hangat bercampur dengan sedikit kecewa memenuhi hatinya.
Ia tahu, Ben bukanlah pria yang mudah ditembus emosinya, tetapi entah kenapa, ia tetap berharap bisa melihat sisi yang berbeda dari bodyguard pribadinya itu.
"Aish! Kamu kenapa sih Hayaning! Ngga usah sok kegeeran gitu dong!" Gumamnya sembari menoyor jidatnya sendiri.
Haya segera masuk kedalam kamar dan lekas mengunci pintu. Ia menghempaskan tub*hnya ke atas ranjang dengan hati yang berbunga-bunga.
Jaket Ben masih melekat di tubuhnya, ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma khas yang melekat di jaket itu memenuhi indera penciumannya.
“Kenapa aku jadi seperti ini?” gumamnya, separuh malu pada dirinya sendiri.
Ia menatap langit-langit kamar, senyumnya tidak kunjung hilang. Harum itu mengingatkannya pada bagaimana Ben selalu ada di dekatnya—tenang, kokoh, dan selalu membantunya menerangkan tentang apa yang ia tak takhu dengan sabar.
Haya menggulungkan dirinya ke dalam jaket itu, seolah mencari perlindungan yang hanya bisa ia temukan dari Ben.
"Aish, Hayaning... kamu sudah gila, tahu ngga?" ucapnya pelan sambil menutupi wajah dengan tangan. Tapi meskipun ia mencoba menyangkal perasaannya, hatinya tak bisa berbohong.
Di sisi lain, Ben yang sudah kembali ke paviliunnya duduk di kursi, meluruskan kakinya. Ia mulai membuka ponselnya untuk memeriksa laporan-laporan yang masuk padanya dari para anak buahnya.
Namun perhatiannya lebih dulu tertuju pada pesan dari teman lamanya.
"Ben aku hanya ingin memberitahu. Dia direkrut sebagai bodyguard seorang pelukis terkenal di Indonesia. Aku dengar, esok hari pelukis itu akan memamerkan karyanya di museum nasional. Kalau kamu tertarik, datang saja. Mungkin kamu bisa bertemu dengannya lagi."
Ia membaca pesan itu dengan serius. Seseorang yang disebutkan temannya tadi langsung memancing ingatan yang tidak ingin ia buka. Sosok yang dulu pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang sudah berhasil membuat nya membenci perasaan romansa, kini kembali mencuat begitu saja melalui pesan yang dikirimkan temannya.
Ben menghela nafas berat, menutup ponselnya sejenak. Tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang terasa lelah.
"CK. Perempuan itu!"
•••
Entah kebetulan apa namanya ini, tetapi Hayaning memang sudah memiliki tiket untuk pergi ke museum nasional demi melihat pameran salah satu seniman favoritnya.
"Apa kamu menyukai karya seni, Ben?" tanya Hayaning, memecah keheningan di dalam mobil. Ia menoleh ke arah bodyguard nya yang sedang fokus menyetir.
Ben melirik Haya sekilas dari sudut matanya sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan. "Ya, saya menyukainya."
"Benarkah? Ah, aku lupa, Belanda memiliki banyak karya seni yang terkenal, ya," ucap Hayaning, matanya berbinar penuh semangat. "Rembrandt, Van Gogh, dan banyak lainnya. Apa kamu sering mengunjungi museum di sana?"
Ben mengangguk ringan, bibirnya membentuk senyum tipis. "Saya pernah mengunjungi beberapa museum ketika memiliki waktu luang. Ya, saya sangat menyukai karya Van Gogh. Saya suka bagaimana ia merepresentasi emosi melalui warna dan tekstur dalam setiap goresan kuasnya."
Hayaning tertegun, tidak menyangka Ben bisa memberikan jawaban yang begitu mendalam.
"Van Gogh? Itu pilihan yang menarik. Aku juga suka karyanya! 'Starry Night' adalah salah satu favoritku. Ada sesuatu yang magis dalam lukisan itu, seperti... kebebasan yang liar tapi menenangkan."
Ben mengangguk, seolah setuju. "Dia memiliki cara untuk menggambarkan keindahan dari rasa sakit. Itu yang membuat karyanya begitu kuat."
Hayaning tersenyum lebar, matanya berbinar. "Aku tidak menyangka kita bisa sepemikiran soal ini, Ben. Aku kira kamu hanya tertarik pada hal-hal seperti strategi bela diri saja."
"Ya, saya lebih terobsesi menjadi pria yang senang berlatih fisik, strategi dan pertahanan," jawab Ben singkat dengan kekehan kecil. "Namun saya juga pria yang gila akan keindahan sebuah karya seni." Ucapnya melanjutkan.
Hayaning tersenyum kecil, menatap keluar jendela mobil. Percakapan ini membuatnya merasa ada kedekatan yang perlahan terbangun di antara mereka, meskipun Ben tetap menjaga batasan sebagai seorang bodyguard.
•••
Ketika mereka sampai di museum, Hayaning segera menyerahkan tiketnya kepada petugas di pintu masuk. Senyum sumringah terlihat di wajahnya, penuh semangat seperti anak kecil yang akan memasuki taman bermain.
Ben, yang mengikuti di belakang, juga memberikan tiketnya tanpa banyak bicara. Tiket itu memang sudah dipesan Haya jauh-jauh hari, khusus agar Ben bisa masuk bersamanya.
"Jangan hanya berdiri di belakangku terus, Ben. Kita masuk bersama," ujar Haya, menoleh ke arah Ben yang tetap menjaga jarak.
Ben mengangguk singkat, langkahnya tetap tenang dan terukur. "Tugas saya memastikan Anda aman, Nona. Saya akan mengikuti di mana pun Anda berada."
Hayaning mendengus kecil, namun senyumnya tidak surut. "Ben, kali ini anggap saja kita sedang berjalan-jalan sebagai teman. Tidak perlu terlalu formal, oke?"
Ben tidak langsung menjawab, hanya mengangguk tipis lagi. Ia tahu, apa pun yang diminta Haya, pada akhirnya dia tetap harus siaga.
Mereka melangkah memasuki aula utama museum, yang penuh dengan pengunjung. Lukisan-lukisan berbingkai indah menghiasi dinding, sementara aroma khas cat minyak dan kayu menyeruak di udara.
Mata Hayaning berbinar saat ia melihat salah satu karya favoritnya tergantung di tengah ruangan.
"Ben, lihat itu! Karya seni lukisan yang selalu ingin kulihat langsung!" seru Haya, nyaris melompat kegirangan.
Ben hanya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke lukisan itu.
Kerumunan di museum mulai bergerak ke tengah ruangan ketika suara pelan dari pengeras suara mengumumkan bahwa pameran akan segera dimulai..
Hayaning yang berdiri di barisan depan tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya. Matanya terus mengamati setiap sudut, berharap bisa melihat sosok pelukis yang karyanya begitu ia kagumi.
Dari arah belakang, pintu khusus terbuka. Seorang perempuan dengan penampilan sederhana dan tenang masuk, didampingi oleh seorang perempuan berambut pirang dan berparas bule yang tampak berwibawa, yang mengenakan setelan formal hitam, gerakannya sigap, dan tatapan matanya tajam, seperti seorang penjaga yang sudah terbiasa menghadapi situasi tak terduga.
Haya menahan napas, nyaris tidak percaya. "Itu dia!" bisiknya penuh semangat kepada Ben. "Itu pelukisnya!"
Ben hanya melirik sekilas ke arah sang pelukis dan perempuan bule dibelakangnya. Matanya menyipit, menilai dengan cepat postur dan gerak-geriknya.
Perempuan itu, tetap sama seperti dulu.
Sang pelukis naik ke panggung kecil di tengah ruangan. Dengan senyum tenang, ia mengangguk sopan kepada hadirin sebelum mulai berbicara.
Sementara itu, bodyguard-nya tetap berdiri tidak jauh darinya, matanya tak lepas dari setiap sudut ruangan, termasuk mengamati teman lamanya, Ben, dan seorang perempuan yang sepertinya sedang dilindungi Ben.
Hayaning yang ingin melihat ekspresi wajah Ben akhirnya menoleh ke arahnya, namun yang ia dapati adalah sorot mata Ben yang terarah pada objek lain.
Dengan rasa penasaran, Haya mengikuti arah pandangan itu dan mendapati satu hal yang sedang menjadi pusat perhatian Ben—bodyguard si pelukis.
Entah mengapa, Haya merasakan ketidaknyamanan saat melihat bodyguard si pelukis itu tersenyum tipis ke arah Ben. Yang membuatnya semakin terganggu, Ben tampak tak lepas memandanginya, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.
Apa mereka saling mengenal? pikir Haya, hatinya mulai terusik sebab ia tahu bahwa tipe Benjamin adalah perempuan yang sama-sama menyukai aktivitas fisik dan pandai bela diri, tidak lemah dan mampu menjaga dirinya. Pria ini pernah mengatakannya ketika mereka tengah berlatih menembak.
Benar. Tatapan Ben dan perempuan itu saling tak lepas, seperti ada percakapan tanpa suara yang hanya mereka pahami. Haya menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan rasa gelisah yang mendadak muncul di dadanya.
Kenapa aku jadi peduli? gumamnya dalam hati, mencoba membungkam perasaan asing yang perlahan merayap. Namun, matanya tetap tertuju pada keduanya, mengamati setiap gerak dan isyarat kecil yang membuat pikirannya semakin liar.
Menghela nafas panjang, akhirnya Haya mengalihkan pandangannya ke lantai, mencoba mengendalikan gejolak yang tak bisa ia jelaskan.
"Bolehkah aku merasa cemburu?" gumamnya membatin, sedikit getir. Ia tahu, perasaan ini tidak seharusnya muncul. Ben adalah bodyguard-nya, pria yang tugasnya hanya melindunginya. Namun kesal, hati-nya tak pernah tunduk pada logika.