Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Dunia Gelap Menelan Cinta
Gavin menatap layar komputer di ruang kerjanya yang remang. Cahaya biru dari monitor menyorot wajahnya yang dingin, nyaris tanpa ekspresi. Di hadapannya, terpampang jelas foto Vanesa… mengenakan gaun pengantin putih. Bersanding dengan seorang pria bernama Damian. Ia tidak tahu kalau Angga di balik semua itu.
"Ini bohong," gumamnya pelan, tapi penuh tekanan. “Mana mungkin dia menikah dengan orang lain secepat itu.”
Felix berdiri di pojok ruangan, menunduk, tak berani menatap mata Gavin yang mulai memerah. Raga dan Zidan hanya diam. Semua orang tahu, amarah Gavin bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng.
Bunyi dentuman keras terdengar saat Gavin melempar laptopnya ke dinding.
"Dia menikah!" raungnya. "Setelah semua yang dia lakukan, setelah semua yang aku relakan, dia masih berani menyakiti aku lagi!"
“Aku dengar, pria itu pilihan orang,” ujar Felix pelan.
“Aku kalah dengan pria yang mengenalnya satu hari. Aku sudah bersamanya bertahun-tahun,” Gavin bergumam, rahangnya mengeras.
Langkahnya menghentak lantai marmer, napasnya memburu, hampir seperti binatang buas yang terluka. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
“Felix,” katanya dingin. “Siapkan jet. Aku ke Rusia malam ini. Aku akan kuburkan Ibu di sana, di tempat asalnya. Setidaknya… dia pantas mendapatkan itu.”
Felix mengangguk pelan, namun sebelum sempat melangkah keluar, Gavin kembali bicara—suaranya tajam seperti pecahan kaca.
“Dan mulai hari ini... kita hidup dalam dua dunia. Dunia yang terang… dan dunia yang gelap. Temukan semua orang yang dekat dengan Vanesa … dan hancurkan itu satu per satu.”
**
Di Rusia, kampung halaman ibunda tercinta, Gavin berdiri di hadapan gundukan salju putih di pemakaman tua Saint Petersburg. Di depannya, nisan berukir nama Laura Mahesa berdiri sunyi.
“Ibu,” bisiknya, suaranya berat. “Aku gagal menjaga janji kita. Tapi aku bersumpah, mulai hari ini, aku bukan lagi Gavin yang dulu. Aku akan mengubah dunia. Dunia mereka. Vanesa dan keluarganya akan merasakan apa yang aku rasakan. Hancur. Sepi. Mati perlahan…”
Salju turun pelan saat Gavin menutup matanya. Dan sejak saat itu, Gavin Alvareza mati—digantikan oleh sosok yang tak lagi punya belas kasih. Sosok yang hidup hanya untuk membalas.
Di pinggiran ibu kota, sebuah rumah kecil bercat biru muda tampak sederhana, jauh dari kemewahan. Di dalamnya, Vanesa mengenakan celemek lusuh, sedang merapikan tumpukan kain motif batik hasil desainnya sendiri.
Damian, suaminya, menghampiri dari belakang sambil membawa dua cangkir teh.
“Kamu nggak pernah cerita soal masa lalu, Nes,” kata Damian, lembut.
Vanesa menunduk, menatap tangannya yang mulai kasar karena menjahit setiap hari.
“Aku dan keluargaku… bukan siapa-siapa. Usaha papi bangkrut, itu membuatnya depresi.”
Damian hanya mengangguk. Ia tak ingin memaksa. Vanesa mau menikah dengannya saja sudah membuatnya sangat senang. Tapi dalam hati Vanesa, luka itu masih menganga. Luka karena harus meninggalkan Gavin. Luka karena harus mengubur mimpinya menjadi dokter. Luka karena harus menyaksikan ayahnya terpuruk. Semuanya terpendam, membusuk dalam diam.
Di balik senyumnya yang lembut, Vanesa menyusun rencana. Diam-diam, ia membuka toko online, mendesain baju-baju yang mengingatkannya pada ibunya, Soraya. Ia ingin membuktikan sesuatu: bahwa tanpa Mahesa Group, tanpa Gavin, tanpa kekayaan keluarganya—dia bisa berdiri.
**
Setelah beberapa lama.
Damian masih penasaran dengan sang istri. Walau sudah menikah, Vanesa tetap tertutup padanya. Ia bahkan tidak pernah cerita kalau dia pernah hampir menjadi dokter. Kalau hari itu tidak ada tetangga mereka yang sakit. Damian tidak akan tahu kalau Vanesa kuliah kedokteran.
“Aku nggak ingin karierku begini-begini saja. Kantor kami di Jakarta memintaku pindah setelah kuliah selesai. Aku ingin kita pindah dari tempat ini, bersama ibu dan adikku. Boleh nggak?”
“Boleh, Mas,” jawab Vanesa tanpa menatapnya.
Namun setiap kali Damian mencoba mendekat, meminta haknya sebagai suami, Vanesa selalu menolak. Bahkan ia sengaja berpakaian kucel agar Damian tidak tertarik dengannya, berusaha menjaga jarak. Dalam hatinya, nama Gavin masih bersemayam—sekuat luka yang ia coba kubur.
*
Satu tahun kemudian.
Bandara Soekarno-Hatta terlihat lebih gelap dari biasanya, saat sebuah jet pribadi mendarat perlahan. Dari dalamnya, Gavin melangkah keluar dengan setelan hitam kelam. Wajahnya lebih tirus dan tajam. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Di belakangnya, Felix, Raga, dan Zidan berjalan dengan langkah pasti.
"Selamat datang kembali, Bos," sapa Felix. "Markas baru sudah siap. Proyek pinjaman dana dan distribusi senjata berjalan lancar. Kita juga sudah beli beberapa saham rumah sakit dan hotel... semua atas nama mendiang Ibu Anda."
Gavin tak menjawab. Ia hanya menatap malam Jakarta dari balik kaca mobil limusin.
“Bagaimana respons pasar?” tanyanya akhirnya.
“Stabil. Bahkan mendominasi. Tidak ada yang curiga. Semua pikir Anda hanya pewaris Mahesa Group.”
Gavin menyeringai tipis. Senyum itu lebih mirip cemooh. “Bagus. Sekarang kita mulai permainannya.”
Zidan memutar layar ponselnya. Menampilkan foto-foto: Vanesa di depan toko kecil, anak-anak jalanan mengenakan desain bajunya, dan Damian yang bekerja di kantor menengah.
"Dia hidup seperti rakyat jelata, meninggalkan sekolah dokternya," kata Zidan mencibir. "Hanya punya toko kecil, belajar jadi desainer. Tujuannya... mungkin ingin melawan Mahesa Group."
Mata Gavin menajam. “Bagus,” katanya lirih. “Biar dia mendaki. Biar dia merasa punya harapan. Karena semakin tinggi dia naik… akan semakin keras dia jatuh.”
Felix menelan ludah. Gavin bukan lagi pria yang sama. Ia telah menjadi bayangan kelam dari masa lalunya—dan dunia akan segera menyadarinya.
“Siapkan pertemuan dengan bandar senjata dari Balkan. Aku ingin jalur pengiriman makin kuat.”
“Baik, Bos.”
Gavin menatap ke luar jendela. Angin malam meniup rambutnya yang basah oleh kabut.
“Dan satu lagi…”
"Atur pertemuanku dengan Vanesa. Aku ingin melihat matanya saat aku hancurkan dunianya. Kita mulai dari adiknya Zein... lalu Angga... dan suaminya."
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini