NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:846
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 3

Gadis sinden itu bernama Asmarawati. Orang-orang di kampung memanggilnya Asmara — nama yang manis, seindah suaranya ketika melagukan tembang-tembang Jawa di panggung wayang. Sejak kecil, jalan hidupnya seolah sudah digariskan untuk menjadi seorang pesindhen. Ibunya adalah sinden senior yang masih aktif manggung dari desa ke desa, sementara ayahnya seorang dalang wayang kulit — memang tak setenar para dalang besar, tapi cukup disegani di lingkaran seniman lokal.

Kini usianya baru tujuh belas tahun, dan ia masih duduk di kelas tiga di SMA Negeri dua. Di antara tumpukan buku pelajaran dan jadwal ujian, ia juga memanggul warisan budaya yang tak ringan.

Terlahir dari keluarga pelaku seni tradisional Jawa, Asmarawati sudah akrab dengan dunia wayang, gamelan, dan tata kehidupan yang mengakar kuat pada adat serta kebudayaan Jawa. Sejak belia ia hidup dalam suasana yang nyaris serupa lingkungan keraton: penuh aturan, tata krama, dan kesantunan yang tak boleh luntur. Sejak usianya masih belum genap sepuluh tahun, ia sudah diajari bagaimana mengikat kemben dengan rapi, menata sanggul sebesar roda Artco di kepala, merias wajah dengan cermin kecil berbingkai kuningan, hingga menyuarakan tembang-tembang Jawa yang rumit nadanya dan dalam maknanya.

Semua itu bukan hal mudah. Tapi bagi Asmarawati, begitulah kehidupan seorang pesindhen — bukan hanya menyanyi, tetapi juga mewakili laku hidup yang halus, lembut, dan teratur. Gendhing-gendhing kesusastraan, pitutur luhur, dan adab perilaku Jawa telah menjadi santapan hariannya. Bahkan caranya melangkah, menunduk, dan berbicara — semua mencerminkan laku yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Asmarawati tumbuh seperti bunga puspa di tengah kerasnya zaman. Ia berbeda dari teman-teman sebayanya, yang lebih akrab dengan TikTok dan musik pop Korea. Di saat mereka sibuk dengan dunia modern, Asmarawati justru sibuk menghafal cakepan wangsalan, menyelaraskan suaranya dengan bunyi kenong dan gender, dan menjaga agar tiap gerak tubuhnya tetap menari dalam adab Jawa yang nyaris punah.

Asmarawati mulai belajar tarik suara dan menari sejak usianya baru lima tahun — ketika anak-anak seusianya masih sibuk bermain boneka dan menggambar pelangi di atas kertas. Ia sudah bersentuhan dengan dunia tembang dan cengkok, dunia suara yang penuh liku dan tata nada yang sulit dipahami bagi telinga awam.

Sejak kecil, ia telah diajari melagukan tembang-tembang Jawa klasik yang bahasanya penuh kias dan makna dalam.Tak hanya itu, ia juga belajar langgam campursari, dengan cengkok-cengkok yang tajam, meliuk, bahkan terasa “mencekik” bagi mereka yang belum terbiasa. Dan semua itu ia pelajari langsung dari ibunya — Sundari, seorang pesindhen kawakan yang namanya dikenal dari panggung ke panggung, meski tetap rendah hati dan bersahaja.

Bagi Sundari, mengajari Asmarawati bukan sekadar mewariskan keterampilan, melainkan menanamkan nilai hidup. Dengan sabar dan telaten, ia melatih putri semata wayangnya itu. Setiap gerakan tangan, setiap tarikan napas dalam menyanyi, setiap lenggok kepala saat membungkuk di panggung — semua diajarkan dengan kelembutan dan cinta seorang ibu yang tak ingin warisan budaya itu musnah di tengah zaman yang kian terburu-buru.

Sebagai anak satu-satunya, harapan besar digantungkan pada pundak Asmarawati. Ia adalah bunga terakhir di taman kecil milik Sundari dan suaminya, Ratmoyo — seorang dalang sederhana yang setia pada jalan hidupnya. Mereka berdua menaruh impian yang sama: kelak, Asmarawati bisa tumbuh menjadi pesindhen yang tak hanya bersuara merdu, tapi juga mengerti makna dari setiap tembang yang ia nyanyikan.

Bagi mereka, Asmarawati bukan hanya penerus darah dan nama keluarga. Ia adalah harapan agar wayang tetap bisa bersuara, agar gamelan tetap berdentang, agar suara Jawa tetap hidup di tengah hiruk pikuk zaman yang kerap lupa pada akar dan tanah kelahiran.

"Iki tulising kidungku

kanggo sira hapsarining kalbu

eseme kang manis madu

dasar ayu parasmu kang tanpa layu"

Asmarawati bersenandung pelan, lagu lirih yang mengalun dari bibirnya seolah menenangkan hawa siang yang mulai gerah. Sambil sesekali mengelap peluh di keningnya, ia membantu sang bapak merapikan alat-alat gamelan di pendhapa sebelah rumah — pendhapa tua yang jadi saksi perjalanan panjang keluarganya dalam dunia karawitan.

Sejak pagi bayangan sisa tanggapan semalam masih terasa lekat. Alat-alat gamelan berbahan kuningan tampak berserakan tak beraturan. Gender, demung, saron, peking, kenong, bonang, gambang, kempul, kendhang—semuanya ditinggal begitu saja oleh para kru dan wiyaga yang terburu pulang. Tak sedikit dari mereka yang kurang punya rasa tanggung jawab; habis dipakai, mereka langsung glethak-glethek menaruh alat tanpa peduli urusan setelahnya.

Ratmoyo, ayah Asmarawati, berkali-kali menarik napas dalam. Rasa jengkel sempat mampir, namun lagi-lagi hanya ia simpan dalam-dalam. Menegur anak-anak sekarang itu risikonya besar: mudah tersinggung, gampang mutung. Kalau sudah begitu, bisa-bisa mereka pindah ke dalang lain. Sedangkan mencari pengganti yang sepadan bukan perkara mudah.

“Sudah selesai, Nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Kasihan badanmu, semalam melek sampai pagi, masih lanjut sekolah pula. Empat hari lagi kita tanggapan lagi, di rumahnya Pak Lurah,” ucap Ratmoyo seraya menguap lebar, matanya sayu menahan kantuk.

“Nggih, Pak...” jawab Asmarawati lirih. Lelah jelas tergurat di wajahnya. Tadi siang saat jam istirahat sekolah, ia sempat memejamkan mata, tapi hanya sekejap. Bel pun segera berbunyi, dan ia kembali harus duduk tegak, memaksakan diri mengikuti pelajaran dengan mata yang nyaris tak bisa terbuka.

Meskipun namanya tak seharum bayang-bayang sang ayah, Ki Sanusi, namun Ki Ratmoyo dan saudara-saudaranya tetap setia menapaki jejak warisan leluhur: melestarikan kesenian wayang dan gamelan lewat kelompok Ngudi Laras. Mereka melanjutkan perjalanan panjang yang pernah ditempuh ayahnya—seorang dalang kawakan yang kini sudah sepuh, renta, dan memilih untuk mengundurkan diri dari gegap gempita panggung pertunjukan.

Kini Ki Sanusi tengah menikmati masa senjanya. Hari-harinya diisi dengan beristirahat di serambi rumah, menghirup udara pagi sambil menimang cucu-cucu yang mulai beranjak lucu. Suara gamelan masih terdengar dari kejauhan, namun tidak lagi ia sentuh dengan jemarinya yang dulu lincah menari di atas kepyak. Semua sudah waktunya.

Sementara itu, sang istri tercinta, Bu Pariyem, telah lebih dahulu pergi menghadap sang pencipta. Lima belas tahun silam, menjelang siang, “Pendhuso Airlines” membawanya terbang ke alam keabadian—sebuah takdir yang tak dapat ditawar. Ia pergi dalam diam, meninggalkan kenangan dan suara tembang yang dulu mengisi malam-malam pentas sebagai sindhen utama yang setia mendampingi Ki Sanusi dalam masa kejayaan mereka.

Kini, nama Bu Pariyem tetap abadi dalam ingatan para pecinta seni tradisional. Ia dikenang bukan hanya sebagai sindhen bersuara lembut dan penuh rasa, tetapi juga sebagai lambang keanggunan perempuan Jawa yang setia mendampingi seni dan cinta sepanjang hidupnya.

“Assalamualaikum, Ki. Bagaimana kabarnya?”

Dari dalam ponsel, suara seorang laki-laki terdengar jelas, menyapa Ki Ratmoyo yang tengah duduk santai di bangku kayu jati di samping rumah. Sore itu angin berhembus pelan, membawa aroma dedaunan dan kenangan lama.

“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, berkat pangestu dari Pak Gondo, saya sehat walafiat. Lha panjenengan sendiri pripun pawartose?” sahut Ki Ratmoyo dengan suara ramah, senyumnya mengembang.

“Alhamdulillah, Ki. Kulo ugi sae, mboten kirang setunggal punopo.” Suara di seberang terdengar nyaring, mengandung semangat dan tawa yang bersahabat.

Ki Ratmoyo terkekeh pelan, hatinya hangat. “Ada perlu apa, Pak? Tumben nian. Jarang-jarang lho panjenengan telepon saya.”

“Hahaha, leres, Ki. Saya memang ada perlu ini,” jawab suara di ujung sana sambil tergelak ringan.

“Ohhh, memangnya ada perlu apa, Pak? Kalau buat panjenengan, insyaallah saya usahakan. Asal jangan yang saru-saru,” canda Ki Ratmoyo, matanya berbinar jenaka.

“Begini, Ki. Ada teman saya yang mau mengadakan pertunjukan wayang. Rencananya hari Senin depan. Nah, kira-kira hari itu panjenengan kosong tidak? Kalau tidak bentrok, saya usul njenengan saja yang ngisi acara itu. Gimana, bisa?”

Mendengar tawaran itu, wajah Ki Ratmoyo langsung sumringah. Ia duduk tegak, seolah ia mendapatkan suntikan semangat baru.

“Oh, nggih, nggih, tentu bisa, Pak. Insyaallah saya kosong hari itu. Senin, ya? Siap, siap!”

“Hehehe, bagus kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke teman saya, biar segera disiapkan panjernya.”

“Hahaha... Kalau soal panjer itu gampang, Pak. Yang penting kan deal dulu!” sahut Ki Ratmoyo sembari tertawa lepas, menandakan hatinya riang.

Angin sore berhembus pelan. Obrolan singkat itu menambah semangat hidup Ki Ratmoyo yang setia dengan dunia yang dicintainya: panggung, gamelan, dan bayang-bayang para wayang.

“Telepon dari siapa, Pak?”

Tiba-tiba suara Sundari terdengar dari arah jendela samping. Wajahnya menyembul di balik tirai, penasaran.

“Lho, memang kalau urusan duit, kuping perempuan itu paling jernih,” gumam Ki Ratmoyo sambil menggeleng pelan.

“Dari Pak Gondo, Bu. Panjenengane minta kita isi acara wayangan di—”

“Wah, iya? Kapan itu, Pak?” potong Sundari cepat-cepat, antusiasnya langsung menyala.

“Dengarkan dulu, to!” tegur Ki Ratmoyo, pura-pura kesal.

“Hehehe, maaf, Pak,” jawab Sundari sambil tertawa, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa senang.

“Acaranya hari Senin depan. Nah, kebetulan jadwal kita kosong hari itu. Jadi iya, sudah Bapak terima saja tawarannya,” jelas Ki Ratmoyo sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi.

“Bagus, Pak. Bagus!” seru Sundari, matanya berbinar. “Kalau begitu, Ibu catat dulu di buku jadwal. Biar nanti nggak lupa.”

Tanpa perlu mendengar penjelasan lebih lanjut, Sundari langsung mencatat tanggalnya di buku catatan yang selalu ia simpan. Tambahan satu job lagi di bulan ini membuat total tanggapan mereka menjadi lima. Bagi keluarga kecil ini, itu adalah anugerah yang layak disyukuri.

Sebab, meskipun Ki Ratmoyo adalah seorang dalang, yang namanya tidaklah sekondang bapaknya dulu, Ki Sanusi, yang sempat menjadi bintang di berbagai panggung dari kota ke kota. Ratmoyo lebih banyak berkiprah di seputar kabupatennya saja. Ia sadar betul, pamornya tidak secerah generasi sebelumnya. Tapi bukan popularitas yang ia kejar—melainkan kelangsungan hidup kesenian yang telah diwariskan turun-temurun itu.

Di tahun 2023 ini, meski panggilan pentas tidak selalu datang bertubi-tubi, Ki Ratmoyo tetap menikmati profesinya. Dalam sebulan, paling banter ia mendapat empat hingga enam tanggapan. Itu pun sudah termasuk kategori ramai. Persaingan antar dalang kian ketat, dan minat masyarakat terhadap wayang semakin memudar—terutama di kalangan muda. Belum lagi biaya produksi yang tidak sedikit, dan minimnya dukungan dari pihak-pihak yang dulu peduli pada kesenian tradisional.

Namun begitu, ia tetap bersyukur. Sebab meski tidak setiap hari berpentas, rezeki dari beberapa tanggapan itu masih cukup untuk menghidupi keluarganya dan membagi sedikit untuk para kru. Setidaknya jauh lebih baik daripada kondisi beberapa tahun lalu.

Masih lekat dalam ingatan mereka saat masa pageblug melanda. Wabah COVID-19 memaksa semua orang menutup diri. Pemerintah menerapkan pembatasan sosial yang ketat. Segala bentuk acara, termasuk pesta rakyat dan pertunjukan seni, dilarang total. Dunia seakan berhenti.

Kala itu, panggung-panggung dibungkam. Gamelan berdebu. Wayang digantung bisu di dalam kotak. Ki Ratmoyo dan para krunya hanya bisa menatap kosong hari-hari yang tak bergairah. Banyak seniman kampung nyaris kehilangan harapan. Bahkan, salah seorang dagelan langganannya, Cak Kirun, sempat berkelakar pahit, “Wayange digoreng wae, Ki... digawe krupuk kulit. Keno didadekke lauk. Ketimbang kowe mati keliren.”

Ratmoyo hanya tertawa getir waktu itu, meski hatinya sebenarnya pedih. Tapi begitulah hidup seniman: kadang di atas panggung, kadang hanya jadi penonton dalam perjuangan sendiri.

Keadaannya waktu itu sungguh dilematis. Kalau tidak di-lockdown, bisa mati kena virus. Tapi kalau di-lockdown terus, bisa mati kaliren. Situasi benar-benar kalangkabut. Job tak ada, tabungan menipis, dan hidup serasa di ujung tanduk.

Babak bundhas-lah Ki Ratmoyo saat itu. Demi menyambung hidup keluarganya, ia terpaksa harus berutang ke sana-sini. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi sekadar untuk bisa terus menanak nasi. Dengan wajah lelah tapi tetap bersahaja, ia pernah berkata lirih pada istrinya, “Kalaupun harus mati, setidaknya jangan sampai mati karena pageblug. Mati jangan karena keluwen. Cukup wayang-wayangku saja yang digantung, jangan nyawa orang rumah.”

Kini masa-masa kelam itu telah berlalu, meski jejaknya belum sepenuhnya hilang. Wabah belum benar-benar pergi, tapi kehidupan mulai diberi kelonggaran. Syaratnya: vaksin. Prokes. Masker.

Setidaknya, sudah ada angin yang bertiup dari arah berbeda.

Ki Ratmoyo dan kelompok Ngudi Laras pun mencoba bangkit perlahan. Menghidupkan lagi gamelan yang sempat bisu. Mengangkat kembali wayang-wayang yang lama terdiam dalam kotak berdebu.

Mereka mulai menerima tanggapan-tanggapan kecil, di desa-desa sekitar, walau belum sesering dulu. Tak mengapa. Yang penting ada suara. Ada pentas. Ada harapan.

“Yang penting ada yang bisa dimasak, bisa dimakan,” kata Sundari suatu sore sambil mengaduk sayur di dapur. Kalimat sederhana itu bagi Ratmoyo sudah cukup jadi doa panjang: Semoga tanggapan lancar. Semoga panggung tak lagi sepi. Semoga Ngudi Laras tetap bisa laras, meski hidup kadang fals.

******

Hari kian sore. Mentari mulai condong ke barat, dan sinarnya yang keemasan menyentuh pucuk-pucuk pohon dengan lembut. Inilah saat yang ditunggu Ki Ratmoyo untuk meregangkan kakinya. Duduk bersila semalaman sambil menendang keprak telah menyiksa otot-ototnya. Posisi duduk yang lama dan beban gerak kaki selama memimpin pakeliran membuat lutut dan pahanya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum halus.

Ia pun berdiri pelan, meregangkan badannya, lalu mengambil sepeda onthel kesayangannya. Besi tua yang setia menemani sejak zaman belum banyak kendaraan bermotor bekas milik bapaknya. Dengan santai ia kayuh sepeda itu keluar dari halaman rumah, menyusuri jalan-jalan desa Wonosari yang mulai sepi. Di kiri-kanan jalan, bayang-bayang pepohonan memanjang seperti sulur-sulur waktu yang melambat.

Ia mideri desa dari ujung ke ujung, dari gang ke gang. Melintasi jalanan berbatu dan berlubang, masuk ke lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk yang berjajar rapat. Anak-anak kecil berlarian, ayam-ayam kampung berseliweran, dan bau kayu bakar menguar dari dapur-dapur yang mulai bersiap memasak makan malam.

Sampailah ia di jalan tanggul yang membentang membelah persawahan, mengarah ke timur jembatan Kali Brantas. Di sanalah ia berhenti sejenak, tepat di bawah rindangnya pohon akasia yang tumbuh berbaris di sepanjang bahu jalan. Ia tarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara senja yang masih mengandung aroma basah lumpur sawah. Angin berembus pelan menyapu wajahnya, membawa serta suara gemericik air dan lenguhan kerbau dari kejauhan.

Tak ingin terlalu lama terlarut dalam sunyi, Ki Ratmoyo kembali mengayuh sepedanya, menyusuri jalanan menurun yang mengarah ke timur jembatan. Di sanalah berdiri sebuah warung angkringan sederhana milik Yu Kastun, yang sejak dulu menjadi tempat persinggahan para petani sepulang dari sawah.

Warung kecil itu tak besar, hanya berupa bangunan kayu beratap seng. Tapi selalu ramai di waktu sore seperti ini. Beberapa petani duduk santai di bangku panjang, menyesap kopi pahit buatan Yu Kastun yang terkenal mantap. Ada yang mengudap gorengan, ada pula yang hanya duduk sambil mengisap rokok kretek, mengobrol ringan membahas harga pupuk, cuaca, dan kondisi padi yang mereka tanam.

Ki Ratmoyo tersenyum melihat suasana itu. Kehangatan yang sederhana tapi tulus. Ia segera menyandarkan sepedanya di pohon ceri dekat warung, lalu berjalan pelan mendekati kerumunan.

"Lho, lho, Ki Ratmoyo rawuh to...!" seru salah satu petani sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Monggo pinarak, Ki. Kopi masih panas iki."

"Wah, kebeneran. Sikilku minta ampun pegele." jawab Ki Ratmoyo sambil tertawa kecil dan duduk di antara mereka.

Warung angkringan itu pun menjadi saksi dari obrolan hangat senja hari. Tentang tanaman, wayang, pandemi, dan kadang juga tentang nasib. Di sela tawa dan tegukan kopi, Ki Ratmoyo merasa hidupnya masih menyatu dengan denyut desa, meski zaman terus berubah.

"Habis olahraga, Ki," sapa Makde Nasirun, lelaki tua berjenggot putih yang tengah menyeruput kopi dari lepek kecil di depannya.

"Oh, nggih Makde," jawab Ratmoyo sambil tersenyum. Ia bergeser ke kursi kayu panjang, duduk di sebelah Nasirun. "Gimana kabarnya, Pak? Tanamannya sae?"

"Alhamdulillah tanamannya subur, tapi harganya jeblok," keluh Nasirun sembari menggeleng pelan. Ia kembali menyesap kopinya, dalam-dalam.

"Sama saja," sahut Marjoko, yang baru datang. Badannya masih berkeringat, topi gunung tergantung di lehernya. "Tahun ini saya nanam cabe rawit. Waktu masih bibit harganya limapuluh ribu per kilo. Eh, giliran panen turun drastis, tinggal tujuh ribu. Tekor, Ki. Ibarat budhal wedhus, mulih tikus."

Tawa kecil terdengar dari warung, meski jelas itu tawa getir. Yu Kastun, si empunya angkringan, ikut menyahut dari balik selambu warungnya.

"Walah, kok semuanya pada sambat. Lha terus saya ini harus sambat ke siapa?" tanyanya sambil melipat lengan daster.

"Tenang wae Yu, bank plecit masih buka kok," goda Marjoko, sambil mengunyah tahu isi.

"Lambemu!" Yu Kastun menyeringai sambil nyengir hidungnya. "Utangku yang kemarin belum lunas, tak pakai buat modalin angkringan ini malah belum balik. Ndilalah, sekarang kamu malah nyuruh ngutang lagi. Memangnya kamu mau bayarin?"

"Lailahaillallah... ampun Yu," Marjoko angkat tangan. "Saya juga pusing. Gara-gara nambah modal tanam, sertifikat rumah nyangkut di bank. Belum lagi motor masih nyicil."

Angkringan sore itu menjadi ajang tumpah ruah keluh kesah. Obrolan yang berputar-putar di antara kegelisahan dan harapan yang nyaris pudar. Ki Ratmoyo, yang sejak tadi hanya menyimak, mengangguk-angguk kecil. Ia paham betul: para petani inilah yang selama ini menopang hidup kesenian tradisional.

Dalam tradisi desa Wonosari, para petani adalah ruh acara-acara budaya. Saat panen raya tiba, mereka urunan untuk nanggap wayang kulit, tayuban, atau campursari. Saat bersih desa, merti dusun, atau sedekah bumi, panggung rakyat akan berdiri megah di tengah lapangan. Layar putih ditegakkan, lampu blencong digantung, gamelan ditata, dan suara sinden akan melagukan tembang-tembang agung malam itu.

Ki Ratmoyo menghela napas. Di tengah zaman yang semakin digital, hanya para petani ini yang masih setia menghidupi warisan leluhur. Merekalah penyangga kesenian tradisional. Dari merekalah, dalang seperti dirinya masih bisa berharap rejeki.

"Sabar dulu, Kang," ujar Ratmoyo akhirnya, mencoba menguatkan. "Siapa tahu tahun depan keadaan membaik. Tanaman panjenengan subur dan harganya naik. Wong sabar, rejekine jembar. Sopo sing nandur, mesti bakal ngundhuh."

Mereka semua terdiam. Kata-kata Ratmoyo meresap seperti kopi pahit yang diseruput perlahan. Di desa Wonosari, ucapan seorang dalang seperti wejangannya seorang kyai. Terlebih Ratmoyo juga perangkat desa, ia menjabat sebagai BPD. Sosoknya dihormati, dianggap sebagai priyayi desa, tempat orang menggantungkan harapan sekaligus nasihat.

Dalam pakeliran, Ratmoyo kerap menyisipkan petuah-petuah luhur. Lewat bahasa kias, ia menghidupkan wayang menjadi cermin kehidupan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu: tidak semua yang ia ucapkan mampu ia jalani sendiri. Ia sadar, bahasa seni kadang mengandung banyak tipu muslihat—seperti halnya novel ini.

********

Senja telah menepi di ufuk barat. Pancaran jingganya memulas langit, memantul lembut ke atap-atap rumah dan pepohonan di seluruh desa Wonoasri. Di sebuah warung kecil milik Mak Sri, seorang wanita paruh baya masih sibuk melayani beberapa pelanggannya. Di antara antrean itu, berdiri seorang pemuda jangkung berkaos hitam, Wiji Santoso namanya.

"Beli rokok, Mak," ucap Wiji, sambil mengacungkan selembar uang kertas.

"Oh iya, Le. Rokok apa?" sahut Mak Sri sambil mengelap tangan ke celemek lusuhnya.

Wiji menunjuk ke arah rak di belakang si penjaga warung. "Sampoerna Mild, satu bungkus."

Saat Mak Sri tengah mengambilkan pesanan, tiba-tiba datang suara ceria dari samping kiri Wiji.

"Mak Sri, aku beli sampo!"

Seorang gadis berambut panjang melangkah ringan masuk ke warung. Ia berdiri tepat di sebelah Wiji, membawa aroma harum dari tubuhnya yang seolah mengusik udara sore yang tenang. Ia adalah Asmarawati — gadis sinden, lembut dan luwes, tapi menyimpan pesona yang sulit diabaikan.

"Eh, gendhuk, cah ayu, denok deblong... sebentar ya sayang," seru Mak Sri dengan nada ceria penuh keakraban.

Asmarawati hanya tersenyum manja, menggoyangkan kepalanya dengan gaya khasnya yang menggoda dan polos dalam waktu bersamaan. Namun senyumnya meredup saat ia menoleh ke kanan dan mendapati sosok Wiji berdiri di sampingnya. Seketika, wajahnya membeku. Ia menunduk malu.

"Mas...," sapa Asmarawati, lirih.

"Iya...," jawab Wiji agak kaget, suaranya bergetar tak tentu. Lalu buru-buru ia menerima uang kembaliannya dan melangkah cepat keluar dari warung, meninggalkan aroma canggung yang menggantung.

Ia menyebrang jalan menuju motornya, sebuah CB klasik tua yang setia menemaninya. Ia duduk di atas joknya, diam sejenak, lalu menoleh kembali ke arah warung. Di sana, Asmarawati masih berdiri, menatapnya dari kejauhan. Rambut panjangnya menjuntai di punggung, berayun lembut diterpa angin sore.

Namun saat Asmarawati membalikkan badannya, Wiji buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, pura-pura tak melihat. Ia mencoba menghidupkan motornya — namun gagal. Berkali-kali ia menginjak pedal starter, tapi mesinnya tak juga menyala.

Baru setelah beberapa detik panik, ia sadar — kuncinya belum diputar ke posisi "on".

"Dobol...," umpatnya dalam hati, malu sendiri.

Akhirnya, setelah mesin hidup, Asmarawati tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Mau dianterin, Dhek?” Wiji mencoba bergurau, meski dalam hatinya ia sadar—jarak rumah Asmarawati dengan warung Mak Sri hanyalah sepelemparan sandal. Hanya dipisahkan satu rumah. Tak sampai tujuh meter.

Asmarawati terkekeh kecil, senyumnya geli. “Nggak usah, Mas. Deket kok.” Jawabnya ringan, tapi manisnya mampu membelah ruang hening di antara mereka.

Wiji membalas dengan senyum seadanya. Tak banyak kata, hanya seulas rasa yang tak sempat diucapkan.

“Monggo, Mas.” Pungkas Asmarawati. Ia pun berlalu pelan, melangkah pasti menuju rumahnya.

Sementara itu, Wiji masih terpaku di atas jok CB klasiknya. Tatapannya membuntuti langkah gadis itu—langkah ringan yang entah mengapa terasa berat di dalam dadanya. Ia amati gerakan demi gerakan, hingga akhirnya sosok Asmarawati lenyap ditelan pagar tanaman di halaman rumah. Daun-daun menyembunyikannya perlahan, seolah menutup tirai sebuah pertunjukan yang terlalu cepat selesai.

Wiji menghela napas panjang. Asap rokok di mulutnya mengepul ke udara, menari melewati ujung rambut gondrong yang menutupi dahinya.

Dalam hatinya, ia hanya bisa berkata lirih,

"Wah, cah ayu… kowe nang kene mung liwat to? Opo kowe ndak kepingin mampir ning atiku…"

"Eh, Ji?"

Tiba-tiba dua sepeda motor CB meraung dari arah belakang. Yang satu dikendarai oleh pemuda berbadan tambun—siapa lagi kalau bukan Untung, dan satunya lagi oleh pemuda cungkring berambut keriting—Tejo, kawan sehidup semotor Wiji. Dua makhluk paling nyeleneh yang selalu tampil dengan pakaian senada: celana jins sobek di bagian lutut dan kaos oblong hitam dengan gambar-gambar band yang sudah entah kapan bubarnya. Seperti Metallica, Bon Jovi, Scorpions, The Cranberries, dan lain sebagainya.

"Eh, munyuk! Ngapain kamu di sini?" tanya Untung sambil mematikan mesin motornya.

"Lagi nungguin kalian." jawab Wiji santai, sembari menyibakkan rambut gondrongnya yang tertiup angin sore.

"Sudahlah, ayo kita jalan!" sambungnya, lalu menarik tuas kopling dan melesat tanpa aba-aba.

"Eh, eh, tunggu dulu! Lah ini mau kemana? Woi, Ji…!"

Untung panik mencoba menahan, tapi suara knalpot Wiji sudah jauh mendahuluinya.

Tejo hanya mengangkat bahu, menyeringai. "Sudahlah, kita ikuti saja, Tung. Namanya juga Wiji."

"Ah, munyuk!" rutuk Untung lagi, sebelum akhirnya ikut menancap gas. Tejo pun mengekor dari belakang, dan mereka bertiga pun melaju kencang di jalan cor beton perkampungan, mengentak senja dengan suara knalpot brong yang membelah udara.

Ketiganya saling berkejaran, menyalip satu sama lain, seperti hendak balapan meski tanpa garis akhir. Sampai di sebuah tikungan pertigaan, mereka hampir bersenggolan dengan seorang bapak-bapak tua yang baru pulang dari sawah. Di belakangnya tergantung dua karung gabah. Hampir saja ia jatuh karena motor Untung melintas terlalu dekat.

"Heh! Anak-anak setan! Bocah urak’an! Kalian pikir ini jalan milik embahmu apa?" teriak si bapak, marah-marah sambil menoleh ke arah mereka yang sudah hilang dibawa deru motor.

Tapi suara teriakannya hanya menggema di udara, ditinggal debu dan asap knalpot anak-anak CB yang urak'an.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!