Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Gadis sinden itu bernama Asmarawati.
Orang-orang di Desa Wonosari memanggilnya Asmara — nama yang indah, seindah lengkung suaranya saat melantunkan tembang Jawa dalam panggung wayang.
Ia dilahirkan pada hari Kamis Pahing, 8 Februari 1990 — tepat sehari sebelum Gunung Kelud menggeliat dan kawahnya meraung memuntahkan amarahnya pada hari Sabtu Wage, 10 Februari 1990.
Hujan abu dan lahar Gunung Kelud menjadi iringan tangis pertamanya.
Langit menggurat kelam bumi Kediri dan sekitarnya. Di tengah kegaduhan alam yang mengguncang desa, seorang bayi perempuan menangis untuk pertama kalinya — seolah menyahut jerit gunung yang murka. Ia lahir bersama denting petaka, namun membawa suara yang kelak menyembuhkan luka-luka sunyi di hati manusia.
Sejak awal, hidupnya seolah sudah ditakdirkan bersisian dengan gegap bencana dan keindahan suara. Ia tumbuh di antara abu dan kidung; antara murka gunung dan bisikan sinden.
Suara Asmarawati dikenal seantero Kabupaten. Merdu, jernih, dan penuh rasa. Ia tidak sekadar menyanyi—ia nyinden. Suaranya menyatu dalam alur lakon, mengalir mengikuti denyut gamelan, menjelma jadi jembatan gaib yang menggiring para dewa dan ksatria menyeberang dari alam bayang ke palung batin para penonton.
Dalam setiap ucapannya, terselip mantra; dalam setiap desah nadanya, ada roh yang bangkit. Ia bukan hanya pelantun tembang, tapi penjaga ruh pertunjukan itu sendiri.
Sejak kecil, jalan hidupnya seolah sudah digariskan untuk menjadi seorang pesindhen. Ibunya adalah sinden senior yang masih aktif manggung dari desa ke desa, sementara ayahnya seorang dalang wayang kulit — memang tak setenar para dalang besar, tapi cukup disegani di lingkaran seniman lokal.
Kini 2007 usianya baru genap tujuh belas tahun, dan ia masih duduk di kelas tiga di SMA Negeri dua. Di antara tumpukan buku pelajaran dan jadwal ujian, ia juga memanggul warisan budaya yang tak ringan.
Terlahir dari keluarga pelaku seni tradisional Jawa, Asmarawati sudah akrab dengan dunia wayang, gamelan, dan tata kehidupan yang mengakar kuat pada adat serta kebudayaan Jawa. Sejak belia ia hidup dalam suasana yang nyaris serupa lingkungan keraton: penuh aturan, tata krama, dan kesantunan yang tak boleh luntur.
Sejak usianya masih belum genap sepuluh tahun, ia sudah diajari bagaimana mengikat kemben dengan rapi, menata sanggul sebesar roda becak di kepala, merias wajah dengan cermin kecil berbingkai kuningan, hingga menyuarakan tembang-tembang Jawa yang rumit nadanya, dan dalam maknanya.
Semua itu bukan hal mudah. Tapi bagi Asmarawati, begitulah kehidupan seorang pesindhen — bukan hanya menyanyi, tetapi juga mewakili laku hidup yang halus, lembut, dan teratur. Gendhing-gendhing, kesusastraan, pitutur luhur, dan adab perilaku Jawa telah menjadi santapan hariannya. Bahkan caranya melangkah, menunduk, dan berbicara — semua mencerminkan laku yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Asmarawati tumbuh seperti bunga puspa di tengah kerasnya zaman. Ia berbeda dari teman-teman sebayanya, yang lebih akrab dengan HP dan musik pop band kekinian, seperti Kangen Band, ST 12, Radja, Ratu, T2.
Di saat mereka sibuk dengan dunia modern, Asmarawati justru sibuk menghafal cakepan wangsalan, menyelaraskan suaranya dengan bunyi kenong dan gender, dan menjaga agar tiap gerak tubuhnya tetap menari dalam adab Jawa yang nyaris punah.
_
Asmarawati mulai belajar tarik suara dan menari sejak usianya baru lima tahun — ketika anak-anak seusianya masih sibuk bermain boneka dan menggambar pelangi di atas kertas. Ia sudah bersentuhan dengan dunia tembang dan cengkok, dunia suara yang penuh liku dan tata nada yang sulit dipahami bagi telinga awam.
Sejak kecil, ia telah diajari melagukan tembang-tembang Jawa klasik yang bahasanya penuh kias dan makna dalam.Tak hanya itu, ia juga belajar langgam campursari, dengan cengkok-cengkok yang tajam, meliuk, bahkan terasa “mencekik”.
Dan semua itu ia pelajari langsung dari ibunya — Sundari, seorang pesindhen kawakan yang namanya dikenal dari panggung ke panggung, meski tetap rendah hati dan bersahaja.
Bagi Sundari, mengajari Asmarawati bukan sekadar mewariskan keterampilan, melainkan menanamkan nilai hidup.
Dengan sabar dan telaten, ia melatih putri semata wayangnya itu. Setiap gerakan tangan, setiap tarikan napas dalam menyanyi, setiap lenggok kepala saat membungkuk di panggung — semua diajarkan dengan kelembutan dan cinta seorang ibu yang tak ingin warisan budaya itu musnah di tengah zaman yang kian terburu-buru.
Sebagai anak satu-satunya, harapan besar digantungkan pada pundak Asmarawati. Ia adalah bunga terakhir di taman kecil milik Sundari dan suaminya, Ratmoyo — seorang dalang sederhana yang setia pada jalan hidupnya.
Mereka berdua menaruh impian yang sama: kelak, Asmarawati bisa tumbuh menjadi pesindhen yang tak hanya bersuara merdu, tapi juga mengerti makna dari setiap tembang yang ia nyanyikan.
Bagi mereka, Asmarawati bukan hanya penerus darah dan nama keluarga. Ia adalah harapan agar wayang tetap bisa bersuara, agar gamelan tetap berdentang, agar suara Jawa tetap hidup di tengah hiruk pikuk zaman yang kerap lupa pada akar dan tanah kelahiran.
"Sumi sumi pancen ayu
Kembang desa asli Wonosari
Sumi Sumi pancen ayu
Sumpah mati aku tresna sliramu"
Asmarawati bersenandung pelan, lagu lirih yang mengalun dari bibirnya seolah menenangkan hawa siang yang mulai gerah. Sambil sesekali mengelap peluh di keningnya, ia membantu sang bapak merapikan alat-alat gamelan di pendhapa sebelah rumah — pendhapa tua yang jadi saksi perjalanan panjang keluarganya dalam dunia karawitan.
Sejak pagi bayangan sisa tanggapan semalam masih terasa lekat. Alat-alat gamelan berbahan kuningan tampak berserakan tak beraturan.
Gender, demung, saron, peking, kenong, bonang, gambang, kempul, kendhang—semuanya ditinggal begitu saja oleh para kru dan wiyaga yang terburu pulang. Tak sedikit dari mereka yang kurang punya rasa tanggung jawab; habis dipakai, mereka langsung glethak-glethek menaruh alat tanpa peduli urusan setelahnya.
Ratmoyo, ayah Asmarawati, berkali-kali menarik napas dalam. Rasa jengkel sempat mampir, namun lagi-lagi hanya ia simpan hati.
Menegur anak-anak zaman sekarang itu risikonya besar: mudah tersinggung, gampang mutung. Kalau sudah begitu, bisa-bisa mereka pindah ke dalang lain. Sedangkan mencari pengganti yang sepadan bukan perkara mudah.
“Sudah selesai, Nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Kasihan badanmu, semalam melek sampai pagi, masih lanjut sekolah pula. Empat hari lagi kita tanggapan lagi, di rumahnya Pak Lurah,” ucap Ratmoyo seraya menguap lebar, matanya sayu menahan kantuk.
“Nggih, Pak...” jawab Asmarawati lirih. Lelah jelas tergurat di wajahnya.
Tadi siang saat jam istirahat sekolah, ia sempat memejamkan mata, tapi hanya sekejap. Bel pun segera berbunyi, dan ia kembali harus duduk tegak, memaksakan diri mengikuti pelajaran dengan mata yang nyaris tak bisa terbuka.
Meskipun namanya tak seharum bayang-bayang sang ayah, Ki Sanusi, namun Ki Ratmoyo dan saudara-saudaranya tetap setia menapaki jejak warisan leluhur: melestarikan kesenian wayang dan gamelan lewat kelompok Ngudi Laras.
Mereka melanjutkan perjalanan panjang yang pernah ditempuh ayahnya—seorang dalang kawakan yang kini sudah sepuh, renta, dan memilih untuk mengundurkan diri dari gegap gempita panggung pertunjukan.
Kini, Ki Sanusi tengah menikmati masa senjanya. Hari-harinya diisi dengan beristirahat di serambi rumah, menghirup udara pagi sambil menimang cucu-cucunya.
Sementara itu, sang istri tercinta, Bu Pariyem, telah lebih dahulu pergi menghadap sang pencipta. Lima belas tahun silam,
“Assalamualaikum, Ki. Bagaimana kabarnya?”
Dari dalam ponsel Nokia berantena, suara seorang laki-laki terdengar jelas, menyapa Ki Ratmoyo yang tengah duduk santai di bangku kayu jati di samping rumah. Sore itu angin berhembus pelan, membawa aroma dedaunan dan kenangan lama.
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, berkat pangestu dari Pak Gondo, saya sehat walafiat. Lha panjenengan sendiri pripun pawartose?” sahut Ki Ratmoyo dengan suara ramah, senyumnya mengembang.
“Alhamdulillah, Ki. Kulo ugi sae, mboten kirang setunggal punopo.” Suara di seberang terdengar nyaring, mengandung semangat dan tawa yang bersahabat.
Ki Ratmoyo terkekeh pelan, hatinya hangat. “Ada perlu apa, Pak? Tumben. Jarang-jarang lho panjenengan telepon saya.”
“Hahaha, leres, Ki. Saya memang ada perlu ini,” jawab suara di ujung sana sambil tergelak ringan.
“Ohhh, memangnya ada perlu apa, Pak? Kalau buat panjenengan, insyaallah saya usahakan. Asal jangan yang saru-saru,” canda Ki Ratmoyo, matanya berbinar jenaka.
“Begini, Ki. Ada teman saya yang mau mengadakan pertunjukan wayang. Rencananya hari Senin depan. Nah, kira-kira hari itu panjenengan kosong tidak? Kalau tidak bentrok, saya usul njenengan saja yang ngisi acara itu. Gimana, bisa?”
Mendengar tawaran itu, wajah Ki Ratmoyo langsung sumringah. Ia duduk tegak, seolah ia mendapatkan suntikan semangat baru.
“Oh, nggih, nggih, tentu bisa, Pak. Insyaallah saya kosong hari itu. Senin, ya? Siap, siap!”
“Hehehe, bagus kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke teman saya, biar segera disiapkan panjernya.”
“Hahaha... Kalau soal panjer itu gampang, Pak. Yang penting kan deal dulu!” sahut Ki Ratmoyo sembari tertawa lepas, menandakan hatinya riang.
Angin sore berhembus pelan. Obrolan singkat itu menambah semangat hidup Ki Ratmoyo yang setia dengan dunia yang dicintainya: panggung, gamelan, dan bayang-bayang para wayang.
“Telepon dari siapa, Pak?”
Tiba-tiba suara Sundari terdengar dari arah jendela samping. Wajahnya menyembul di balik tirai, penasaran.
“Lho, memang kalau urusan duit, kuping perempuan itu paling jernih,” gumam Ki Ratmoyo sambil menggeleng pelan.
“Dari Pak Gondo, Bu. Panjenengane minta kita isi acara wayangan di—”
“Wah, iya? Kapan itu, Pak?” potong Sundari cepat-cepat, antusiasnya langsung menyala.
“Dengarkan dulu, to!” tegur Ki Ratmoyo, agak kesal.
“Hehehe, maaf, Pak,” jawab Sundari sambil tertawa, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa senang.
“Acaranya hari Senin depan. Nah, kebetulan jadwal kita kosong hari itu. Jadi iya, sudah Bapak terima saja tawarannya,” jelas Ki Ratmoyo sambil menyenderkan tubuh ke sandaran kursi.
“Bagus, Pak. Bagus!” seru Sundari, matanya berbinar. “Kalau begitu, Ibu catat dulu di buku jadwal. Biar nanti nggak lupa.”
Tanpa mendengar penjelasan lebih lanjut, Sundari langsung mencatat tanggalnya di buku catatan yang selalu ia simpan. Tambahan satu job lagi di bulan ini membuat total tanggapan mereka menjadi lima jadwal. Bagi keluarga kecil ini, itu adalah anugerah yang layak disyukuri.
Sebab, meskipun Ki Ratmoyo adalah seorang dalang, yang namanya tidaklah sekondang bapaknya dulu, Ki Sanusi, yang sempat menjadi bintang di berbagai panggung dari kota ke kota. Ratmoyo lebih banyak berkiprah di seputar kabupatennya saja.
Ia sadar betul, pamornya tidak secerah generasi sebelumnya. Tapi bukan popularitas yang ia kejar—melainkan kelangsungan hidup kesenian yang telah diwariskan turun-temurun itu.
Di tahun 2007 ini, meski panggilan pentas tidak selalu datang bertubi-tubi, Ki Ratmoyo tetap menikmati profesinya. Dalam sebulan, paling banter ia mendapat empat hingga enam tanggapan. Itu pun sudah termasuk kategori ramai.
Persaingan antar dalang kian ketat, dan minat masyarakat terhadap wayang semakin memudar—terutama di kalangan muda. Belum lagi biaya produksi yang tidak sedikit, dan minimnya dukungan dari pihak-pihak yang dulu peduli pada kesenian tradisional.
Namun begitu, ia tetap bersyukur. Sebab meski tidak setiap hari berpentas, rezeki dari beberapa tanggapan itu masih cukup untuk menghidupi keluarganya dan para kru. Setidaknya jauh lebih baik daripada kondisi beberapa tahun lalu.
Masih lekat dalam ingatan mereka saat negeri ini dilanda krisis besar tahun 1998. Kala itu, harga-harga meroket, uang tak lagi punya arti, dan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Kisruh politik dan krisis moneter membuat panggung-panggung seni ikut sepi.
Krisis 1998 mencekik rakyat kecil. Semua harga kebutuhan pokok meroket tajam. Tak ada lagi pesta rakyat. Tak ada pertunjukan. Semua dicekam ketakutan dan ketidakpastian. Dunia seakan berhenti, bukan karena wabah, tapi karena kejatuhan sebuah rezim.
Panggung-panggung terbungkam. Gamelan berdebu. Di kotak, wayang ditumpuk bisu. Ki Ratmoyo dan para krunya hanya bisa menatap kosong hari-hari tanpa harapan.
Banyak seniman kampung kehilangan panggilan. Bahkan, salah satu rekan dagelan, Cak Maput, Ngidung jula-juli dengan syair-syair yang pahit.
"—Tuku trasi nang Suroboyo
Jare repormasi kok tambah nelongso.—
—Nabuh kendang kliru kempul
Najan ora adang sing penting kumpul—
Ratmoyo hanya tertawa getir waktu itu, meski hatinya perih. Tapi begitulah nasib seniman: kadang bersinar di atas panggung, kadang terjerembab dalam gelap yang tak seorang pun peduli.
Situasi saat itu sungguh babak bundhas. Kalau tidak ikut arus politik, bisa dilabeli macam-macam. Tapi kalau terlalu vokal, bisa ikut terseret. Sementara di rumah, dapur tetap harus ngebul. Anak-anak tetap butuh makan. Maka, demi menyambung hidup, Ki Ratmoyo terpaksa harus berutang ke sana-sini—bukan untuk gaya hidup, tapi sekadar untuk menanak nasi.
Dengan wajah lelah namun tetap bersahaja, ia pernah berbisik lirih pada istrinya: “Kalaupun harus mati, semoga bukan karena keluwen. Cukup wayang-wayangku saja yang digantung. Jangan nyawa orang rumah.”
Kini masa-masa itu telah berlalu, meski jejaknya masih membekas di dinding hati dan lemari kenangan.
Reformasi memang telah membuka jalan baru,
tapi tak semua orang bisa langsung berjalan tegak di atasnya. Jalan itu belum beraspal rapi. Masih penuh kerikil dan genangan ketidakpastian.
Ki Ratmoyo kembali naik panggung, tapi dalam hatinya masih tertinggal abu zaman yang dulu sempat membakar segalanya—harga-harga melambung, panggung-panggung sepi, dan seniman dipaksa bungkam oleh keadaan.
Kini, di tengah dekade 2000-an, Ki Ratmoyo dan kelompok Ngudi Laras mencoba bangkit perlahan.
Menghidupkan kembali gamelan yang sempat bisu.
Mengangkat lagi wayang-wayang yang lama terdiam dalam kotak berdebu.
Menghubungi lagi jaringan lama: lurah, panitia sedekah bumi, takmir masjid, dan kenalan dalang dari desa tetangga. Mereka mulai menerima tanggapan-tanggapan kecil—di dusun, di hajatan sunatan, di peringatan maulid, bahkan kadang di teras rumah warga yang sempit tapi penuh tawa.
Tak mengapa. Yang penting ada suara. Ada pentas. Ada harapan.
“Yang penting ada yang bisa dimasak, bisa dimakan,” kata Sundari, istrinya, suatu sore sambil mengaduk sayur lodeh di pawon.
Kalimat sederhana itu, bagi Ratmoyo, sudah cukup menjadi doa panjang: Semoga tanggapan lancar.
Semoga panggung tak lagi sepi. Semoga Ngudi Laras tetap bisa laras, meski hidup kadang fals.
Ia tahu, dunia telah berubah. Anak-anak muda mulai lebih akrab dengan dangdut koplo dan organ tunggal. Panggung tradisi makin tergeser oleh pertunjukan yang lebih praktis dan instan.
Tapi Ki Ratmoyo percaya, selama bumi masih berpijak, suara kendang dan tembang sinden takkan benar-benar padam. Ia percaya, bahwa kesenian—meski tersisih—tetap punya tempat di hati yang bersih.
******
Hari kian sore. Mentari mulai condong ke barat, dan sinarnya yang keemasan menyentuh pucuk-pucuk pohon dengan lembut. Inilah saat yang ditunggu Ki Ratmoyo untuk meregangkan kakinya. Duduk bersila semalaman sambil menendang keprak telah menyiksa otot-ototnya. Posisi duduk yang lama dan beban gerak kaki selama memimpin pakeliran membuat lutut dan pahanya nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum halus.
Ia pun berdiri pelan, meregangkan badannya, lalu mengambil sepeda onthel kesayangannya. Besi tua yang setia menemani sejak zaman belum banyak kendaraan bermotor.
Dengan santai ia kayuh sepeda itu keluar dari halaman rumah, menyusuri jalan-jalan desa Wonosari yang mulai sepi. Di kiri-kanan jalan, bayang-bayang pepohonan memanjang seperti sulur-sulur waktu yang melambat.
Ia mideri desa dari ujung ke ujung, dari gang ke gang. Melintasi jalanan berbatu dan berlubang, masuk ke lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk yang berjajar rapat. Anak-anak kecil berlarian, ayam-ayam kampung berseliweran, dan bau kayu bakar menguar dari dapur-dapur yang sedang ngenget janganan.
Sampailah ia di jalan tanggul yang membentang membelah persawahan, mengarah ke timur jembatan Kali Brantas.
Di sanalah ia berhenti sejenak, tepat di bawah rindangnya pohon akasia yang tumbuh berbaris di sepanjang bahu jalan. Ia tarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara senja yang masih mengandung aroma basah lumpur sawah. Angin berembus pelan menyapu wajahnya, membawa serta suara gemericik air dan lenguhan kerbau dari kejauhan.
Tak ingin terlalu lama terlarut dalam sunyi, Ki Ratmoyo kembali mengayuh sepedanya, menyusuri jalanan menurun yang mengarah ke timur jembatan. Di sanalah berdiri sebuah warung angkringan sederhana milik Yu Kastun, yang sejak dulu menjadi tempat persinggahan para petani sepulang dari sawah.
Warung kecil itu tak besar, hanya berupa bangunan kayu beratap seng. Tapi selalu ramai di waktu sore seperti ini. Beberapa petani duduk santai di bangku panjang, menyesap kopi buatan Yu Kastun yang terkenal mantap.
Ada yang mengudap gorengan, ada pula yang hanya duduk sambil mengisap rokok kretek, mengobrol ringan membahas harga pupuk, cuaca, dan kondisi padi yang mereka tanam.
Ki Ratmoyo tersenyum melihat suasana itu. Kehangatan yang sederhana tapi tulus. Ia segera menyandarkan sepedanya di pohon ceri dekat warung, lalu berjalan pelan mendekati kerumunan.
"Lho, lho, Ki Ratmoyo rawuh...!" seru salah satu petani sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Monggo pinarak, Ki. Kopi masih panas iki."
"Wah, kebeneran. Sikilku minta ampun pegele." jawab Ki Ratmoyo sambil tertawa kecil dan duduk di antara mereka.
Warung angkringan itu pun menjadi saksi dari obrolan hangat senja hari. Tentang tanaman, wayang, politik, dan kadang juga tentang nasib.
Di sela tawa dan tegukan kopi, Ki Ratmoyo merasa hidupnya masih menyatu dengan denyut desa, meski arus globalisasi melaju dengan cepatnya.
"Habis olahraga, Ki," sapa Makde Nasirun, lelaki tua berjenggot putih yang tengah menyeruput kopi dari lepek kecil di depannya.
"Oh, nggih Makde," jawab Ratmoyo sambil tersenyum. Ia bergeser ke kursi kayu panjang, duduk di sebelah Nasirun. "Gimana kabarnya, Makde? Tanamannya sae?"
"Alhamdulillah tanamannya subur, tapi harganya jeblok," keluh Nasirun sembari menggeleng pelan. Ia kembali menyesap kopinya, dalam-dalam.
"Sama saja," sahut Marjoko, yang baru datang. Badannya masih berkeringat, topi gunung tergantung di lehernya. "Tahun ini saya nanam bawang merah. Waktu masih bibit harganya tiga ribu per kilo. Eh, giliran panen turun drastis, tinggal seribu lima ratus. Tekor, Ki. Ibarat budhal wedhus, mulih tikus."
Tawa kecil terdengar dari warung, meski jelas itu tawa getir. Yu Kastun, si empunya angkringan, ikut menyahut dari balik selambu warungnya.
"Walah, kok semuanya pada sambat. Lha terus saya ini harus sambat ke siapa?" tanyanya sambil melipat lengan daster.
"Tenang wae Yu, bank plecit masih buka kok," goda Marjoko, sambil mengunyah tahu isi.
"Lambemu!" Yu Kastun menyeringai sambil nyengir hidungnya. "Utangku yang kemarin belum lunas, tak pakai buat modalin angkringan ini malah belum balik. Ndilalah, sekarang kamu malah nyuruh ngutang lagi. Memangnya kamu mau bayarin?"
"Lailahaillallah... ampun Yu," Marjoko angkat tangan. "Saya juga pusing. Gara-gara nambah modal tanam, sertifikat rumah nyangkut di bank. Belum lagi motor masih nyicil."
Angkringan sore itu menjadi ajang tumpah ruah keluh kesah. Obrolan yang berputar-putar di antara kegelisahan dan harapan yang nyaris pudar.
Ki Ratmoyo, yang sejak tadi hanya menyimak, mengangguk-angguk kecil. Ia paham betul: para petani inilah yang selama ini menopang hidup kesenian tradisional.
Di desa Wonosari, para petani adalah kekuatan budaya. Saat panen raya tiba, mereka urunan untuk nanggap wayang kulit, tayuban, atau campursari. Saat bersih desa, merti dusun, atau sedekah bumi,
Ki Ratmoyo menghela napas. Di tengah zaman yang semakin digital, hanya para petani ini yang masih setia menghidupi warisan leluhur. Merekalah penyangga kesenian tradisional. Dari merekalah, dalang seperti dirinya masih bisa berharap rejeki.
"Sabar dulu, Kang," ujar Ratmoyo akhirnya, mencoba menguatkan. "Siapa tahu tahun depan keadaan membaik. Tanaman panjenengan subur dan harganya naik. Wong sabar, rejekine jembar. Sopo sing nandur, mesti bakal ngundhuh."
Mereka semua terdiam. Kata-kata Ratmoyo meresap seperti kopi pahit yang diseruput perlahan.
Di desa Wonosari, ucapan seorang dalang seperti wejangannya seorang kyai. Terlebih Ratmoyo juga perangkat desa, ia menjabat sebagai Kamituwo. Sosoknya dihormati, dianggap sebagai priyayi desa, tempat orang menggantungkan harapan sekaligus nasihat.
Dalam pakeliran, Ratmoyo kerap menyisipkan petuah-petuah luhur. Lewat bahasa kias, ia menghidupkan wayang menjadi cermin kehidupan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu: tidak semua yang ia ucapkan mampu ia jalani sendiri. Ia sadar, bahasa seni kadang mengandung banyak tipu muslihat—seperti halnya novel ini.
********
Senja telah menepi di ufuk barat. Pancaran jingganya memulas langit, memantul lembut ke atap-atap rumah dan pepohonan di seluruh desa Wonoasri.
Di sebuah warung kecil milik Mak Sri, seorang wanita paruh baya masih sibuk melayani beberapa pelanggannya. Di antara antrean itu, berdiri seorang pemuda jangkung berkaos hitam, Wiji Santoso namanya.
"Beli rokok, Mak," ucap Wiji, sambil mengacungkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.
"Oh iya, Le. Rokok apa?" sahut Mak Sri sambil mengelap tangan ke celemek lusuhnya.
Wiji menunjuk ke arah rak di belakang si penjaga warung. "Gudang garam Surya 12."
Saat Mak Sri tengah mengambilkan pesanan, tiba-tiba datang suara ceria dari samping kiri Wiji.
"Mak Sri, aku beli sampo!"
Seorang gadis berambut panjang melangkah ringan masuk ke warung. Ia berdiri tepat di sebelah Wiji, membawa aroma harum dari tubuhnya yang seolah mengusik udara sore yang tenang. Asmarawati.
"Eh, gendhuk, cah ayu, denok deblong... sebentar ya sayang," seru Mak Sri dengan nada ceria penuh keakraban.
Asmarawati hanya tersenyum manja, menggoyangkan kepalanya dengan gaya khasnya yang menggoda dan polos dalam waktu bersamaan. Namun senyumnya meredup saat ia menoleh ke kanan dan mendapati sosok Wiji berdiri di sampingnya. Seketika, wajahnya membeku. Ia menunduk malu.
"Mas...," sapa Asmarawati, lirih.
"Iya...," jawab Wiji agak kaget, suaranya bergetar tak tentu. Lalu buru-buru ia menerima uang kembaliannya duaribu lima ratus rupiah, dan melangkah cepat keluar dari warung, meninggalkan aroma canggung yang menggantung.
Ia menyebrang jalan menuju motornya, sebuah GL-MAX yang setia menemaninya. Ia duduk di atas joknya, diam sejenak, lalu menoleh kembali ke arah warung. Di sana, Asmarawati masih berdiri, menatapnya dari kejauhan. Rambut panjangnya menjuntai di punggung, berayun lembut diterpa angin sore.
Namun saat Asmarawati membalikkan badannya, Wiji buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, pura-pura tak melihat. Ia mencoba menghidupkan motornya — namun gagal. Berkali-kali ia menginjak pedal starter, tapi mesinnya tak juga menyala.
Baru setelah beberapa detik panik, ia sadar — kuncinya belum diputar ke posisi "on".
"Dobol...," umpatnya dalam hati, malu sendiri.
Akhirnya, setelah mesin hidup, Asmarawati tiba-tiba sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Mau dianterin, Dhek?” Wiji mencoba bergurau, meski dalam hatinya ia sadar—jarak rumah Asmarawati dengan warung Mak Sri hanyalah sepelemparan sandal. Hanya dipisahkan satu rumah. Tak sampai tujuh meter.
Asmarawati terkekeh kecil, senyumnya geli. “Nggak usah, Mas. Deket kok.” Jawabnya ringan, tapi manisnya mampu membelah ruang hening di antara mereka.
Wiji membalas dengan senyum seadanya.
“Monggo, Mas.” Pungkas Asmarawati.
Ia pun berlalu pelan, melangkah pasti menuju rumahnya. Sementara itu, Wiji masih terpaku di atas jok GL-MAX miliknya. Tatapannya membuntuti langkah gadis itu—langkah ringan yang entah mengapa terasa berat di dalam dadanya. Ia amati gerakan demi gerakan, hingga akhirnya sosok Asmarawati lenyap ditelan pagar tanaman di halaman rumah. Daun-daun menyembunyikannya perlahan, seolah menutup tirai sebuah pertunjukan yang terlalu cepat selesai.
Wiji menghela napas panjang. Asap rokok di mulutnya mengepul ke udara, menari melewati ujung rambut gondrong yang menutupi dahinya.
Tiba-tiba dua sepeda motor GL-MAX meraung dari arah belakang. Yang satu dikendarai oleh pemuda berbadan tambun—siapa lagi kalau bukan Untung, dan satunya lagi oleh pemuda cungkring berambut keriting—Tejo, kawan sehidup semotor Wiji.
Dua makhluk paling nyeleneh yang selalu tampil dengan pakaian senada: celana jins sobek di bagian lutut dan kaos oblong hitam dengan gambar-gambar band rock luar negeri. Seperti Metallica, Bon Jovi, Scorpions, The Cranberries, Avenged dan lain sebagainya.
"Eh, munyuk! Ngapain kamu di sini?" tanya Untung sambil mematikan mesin motornya.
"Lagi nungguin kalian." jawab Wiji santai, sembari menyibakkan rambut gondrongnya yang tertiup angin sore.
"Sudahlah, ayo kita jalan!" sambungnya, lalu menarik tuas kopling dan melesat tanpa aba-aba.
"Eh, eh, tunggu dulu! Lah ini mau kemana? Woi, Ji…!"
Untung panik mencoba menahan, tapi suara knalpot Wiji sudah jauh mendahuluinya.
Tejo hanya mengangkat bahu, menyeringai. "Sudahlah, kita ikuti saja, Tung. Namanya juga Wiji."
"Ah, munyuk!" Hardik Untung lagi, sebelum akhirnya ikut menancap gas.
Tejo pun mengekor dari belakang, dan mereka bertiga pun melaju kencang di jalan bebatuan perkampungan, mengentak senja dengan suara knalpot brong yang membelah udara.
Ketiganya saling berkejaran, menyalip satu sama lain, seperti hendak balapan meski tanpa garis akhir.
Sampai di sebuah tikungan pertigaan, mereka hampir bersenggolan dengan seorang bapak-bapak tua yang baru pulang dari sawah. Di belakangnya tergantung dua karung gabah. Hampir saja ia jatuh karena motor Untung melintas terlalu dekat.
"Heh! Anak-anak setan! Bocah urak’an! Kalian pikir ini jalan milik embahmu apa?" teriak si bapak, marah-marah sambil menoleh ke arah mereka yang sudah hilang dibawa deru motor.
Tapi suara teriakannya hanya menggema di udara, ditinggal debu dan asap knalpot anak-anak GL-MAX yang urak'an.