Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 3
"Ya jangan mau, lah, tolol."
Ganesha mendengus keras-keras saat tolol kembali dijadikan panggilan untuk dirinya. Pelakunya sudah jelas adalah Kafka. Tidak pernah ada manusia tidak sopan di muka bumi ini yang akan memanggilnya tolol selain cowok berbadan kekar itu.
"Dia mohon-mohon, gue mana bisa nolak?"
"Alah, alasan. Emang susah kalau udah bucin! Otaknya nggak dipake, sialan banget!"
Desahan panjang lolos dari belah bibir Ganesha. Memejamkan mata, ia berusaha untuk tidak balik menyerang Kafka karena sudah kadung berjanji tidak akan protes ketika sedang dimarahi oleh lelaki itu.
Perdebatan kali ini lagi-lagi disebabkan oleh Tenggara. Yah, memangnya siapa lagi yang bisa membuatnya dikatai tolol kalau bukan lelaki itu?
Masalahnya kali ini bermula ketika Ganesha meminta izin kepada Kafka untuk absen dari pertemuan rutin di kafe yang lelaki itu kelola. Biasanya, mereka dan satu kawan mereka yang lain akan berkumpul setiap satu minggu sekali di sana, sekadar ngobrol-ngobrol dan bertukar cerita.
Absennya Ganesha untuk pertama kalinya dalam sejarah jelas menimbulkan tanda tanya, sehingga Kafka kemudian menyelidik, apa sekiranya yang membuat Ganesha si bucin tolol itu tidak bisa datang ke pertemuan mereka?
Dan jawaban yang Ganesha berikan sudah serupa ultimatum untuk dimulainya perang ketiga.
Ganesha menjawab sejujurnya, bahwa dia harus menemani Tenggara pergi ke luar kota untuk menjenguk ibunya. Jaraknya dari Jakarta cukup jauh, hampir 12 jam bolak-balik sehingga Tenggara membutuhkan seorang teman untuk gantian menyetir. Sebagai si bucin tolol, Ganesha tidak bisa menolak ketika lelaki itu mengajaknya. Tentu saja.
Kesediaan Ganesha yang terlalu gampang itulah yang akhirnya menyulut kemarahan Kafka. Menurut lelaki itu, Ganesha terlalu lembek sehingga Tenggara tidak henti-hentinya bersikap seenaknya.
"Sekelas playboy busuk kayak dia mah temennya pasti banyak, Sha. Aneh banget kalau dia alasan nggak bisa ngajakin yang lain selain lo!" gerutu Kafka lagi setelah ada jeda yang cukup lama.
Ganesha menarik napas dalam-dalam, membuka kembali matanya untuk sekadar mengamati hamparan langit buram tanpa bintang. "Masalahnya, tempatnya lumayan jauh. Temen-temen dia juga mostly adalah orang-orang sibuk. Lo kan juga tahu sendiri di antara kenalan dia, cuma gue yang nggak punya banyak hal buat dilakuin setiap hari. Selain manggung, gue cuma gegoleran di rumah, kan? Kadang-kadang ngerecokin lo di kafe, sih, tapi kan nggak sering. Jadi, ya--"
"Basi, lah. Percuma juga sih gue ngomong sama bucin tolol kayak lo, nggak bakal didenger. Udah lah, terserah lo aja. Kalau ada apa-apa, lo jangan nangis-nangis ke gue ataupun Selena, ya. Lo makan deh tuh si Tenggara!"
"Kaf--"
Tutt... Tutt... Tutt...
Sambungan telepon telah diputus secara sepihak oleh Kafka, dan Ganesha tidak bisa berbuat apa-apa selain menghela napas pasrah. Ponsel tak berdosa yang telah menjadi saksi bisu betapa ia dikatai tolol dengan begitu brutal oleh Kafka malam ini diletakkan di atas nakas, lalu dia kembali melayangkan pandangan ke luar jendela.
Bermenit-menit, yang Ganesha lakukan hanya diam memandang langit malam yang gelap. Hingga kemudian, dia lelah sendiri dan memutuskan untuk menarik gorden hingga akses pandangannya terhadap dunia luar seketika terputus. Ia kemudian merebahkan dirinya di kasur, langsung memejamkan mata meski tahu tidak akan mudah baginya untuk tidur.
"Tidur, bestie, mencintai dalam diam juga butuh energi." Bisiknya, kepada diri sendiri.
......................
Ada yang pernah bilang, kematian adalah sebuah bentuk perpisahan yang paling menyakitkan. Sebab katanya, tak peduli sebanyak apa pun kita menangis karena merindukan sosoknya, ia tidak akan pernah bisa kembali datang untuk memeluk rindu kita yang menyesakkan. Pada akhirnya, kita hanya bisa meratap. Meraba bayang-bayangnya yang mulai pudar dari dalam ingatan, seiring dengan berlalunya waktu.
Ganesha sendiri belum pernah merasakan seperti apa merindukan seseorang yang telah mati. Sebab satu-satunya perpisahan yang pernah dia alami hanya ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai saat usianya genap 17 tahun dan keduanya memulai hidup masing-masing tanpa sudi menoleh ke belakang sekali lagi, membiarkan putri mereka hidup seorang diri.
Semuanya terasa sulit di awal, namun sebagaimana hidup harus terus berjalan, Ganesha mulai terbiasa tanpa kehadiran kedua orang tua di sisinya. Ia terbiasa sendirian, menjadi wonder woman setidaknya untuk dirinya sendiri.
Kendati demikian, Ganesha rasa ia bisa mengerti mengapa Tenggara kini terlihat begitu rapuh di depan rumah sang ibu. Karena jika Papa ataupun Mama meninggal suatu hari nanti, dia juga pasti tetap akan merasakan kesedihan yang serupa. Bahkan mungkin, dirinya akan jatuh lebih parah daripada apa yang ia saksikan hari ini.
Di bawah temaram senja yang hangat, Ganesha menyaksikan betapa Tenggara telah sepenuhnya menanggalkan image sebagai laki-laki tangguh dan ceria. Di depan matanya, lelaki itu menangis tersedu-sedu, tersendat-sendat mengucapkan rangkaian kalimat rindu tak berbalas. Telapak tangannya bergerak naik turun, mengusap epitaf berukir nama sang ibunda.
Beberapa kelopak bunga Kamboja berwarna putih dengan semburat kekuningan jatuh ke atas pusara. Seperti sebuah jawaban tak langsung atas air mata yang Tenggara tumpahkan untuk mendiang ibunya.
Sementara di tempatnya berdiri, Ganesha tak berani mengambil sikap apa pun. Ia ingin mendekat, sekadar memberikan tepukan di bahu lelaki itu untuk menyuarakan bahwa masih ada dia di sini untuk berbagai kesedihan.
Namun, Ganesha tidak melakukannya. Sebab tiba-tiba saja, ia menjadi sedikit tahu diri. Ia bukan siapa-siapa untuk Tenggara. Tidak ada hak untuk menyentuh lelaki itu seenaknya.
Melihat tangis Tenggara yang tak kunjung reda meski sudah lewat beberapa menit, Ganesha memilih menarik diri. Dia berjalan menghampiri mobil Tenggara yang diparkir persis di depan pintu masuk area pemakaman, memutuskan bersandar di kap mobil sambil menunggu lelaki itu selesai dengan kesedihannya.
Untuk beberapa lama, Ganesha masih betah melayangkan pandangan ke tempat di mana Tenggara berada. Merekam segala hal yang tampak di depan matanya, lantas menyimpannya di satu bagian kepala yang dia buat khusus hanya untuk Tenggara.
Sampai kemudian, ponselnya berdenting nyaring, memecah konsentrasi.
Ganesha merogoh saku jaket, mengeluarkan ponsel dengan case warna biru muda itu untuk memeriksa siapa gerangan yang mengiriminya pesan.
Dan ternyata, itu adalah Kafka.
Udah mau malam, buruan ajakin Tenggara masuk ke mobil. Udaranya juga makin dingin, nanti lo sakit.
Sudut bibir Ganesha terangkat perlahan. Hatinya yang semula terasa ngilu melihat betapa sedihnya tangis Tenggara juga perlahan menghangat. Di dunia ini, selain dirinya sendiri dan abangnya, Kafka adalah orang lain yang sangat bisa dia andalkan.
Tentu Ganesha tidak akan lupa betapa Kafka mengatainya tolol semalam. Berteriak lantang mengatakan tidak akan peduli pada apa pun yang terjadi padanya selama perjalanan bersama Tenggara. Tetapi nyatanya, lelaki itu tidak benar-benar menutup mata dan telinga.
Pagi tadi, sebelum Ganesha berangkat, Kafka sudah lebih dulu meminta dikirimkan live location agar dia bisa mengekor di belakang mobil Tenggara. Sekadar berjaga, takut kalau-kalau Tenggara yang dia juluki playboy busuk akan membuat sahabatnya menangis lagi.
Alih-alih membalas pesan Kafka, Ganesha malah mendial nomor lelaki itu.
"Ngapain malah telepon?!" Suara Kafka yang sengak menyambut cepat.
"Lo parkir di mana? Gue nggak lihat ada mobil lo di sekitar area makam?" tanya Ganesha. Ia mengitarkan pandangan, lalu kembali tersenyum saat menemukan satu unit mobil SUV berwarna silver terparkir jauh di seberang jalan. "Oh, di sana rupanya."
"Masih kelihatan? Berarti kurang jauh gue parkirnya. Repot kalau si playboy busuk itu tahu gue ngintilin di belakang."
"Udah jauh, kok. Lagian, Kak Aga nggak akan ngenalin mobil lo. Dia nggak seperhatian itu."
"Udah tahu gitu masih aja lo bucinin, kan emang tolol."
Ganesha hanya terkekeh pelan, enggan menanggapi omelan Kafka yang topiknya tidak pernah berubah dari hari ke hari.
"Tutup teleponnya, si playboy busuk udah jalan ke arah lo tuh."
Seketika itu juga, Ganesha kembali menoleh ke arah dalam area pemakan. Benar yang dikatakan Kafka, Tenggara memang sedang berjalan ke arahnya dengan langkah yang diseret. Punggung tegapnya tampak jatuh, wajahnya pun masih terlihat sendu.
"Nanti gue telepon lagi. Jagain Selena, jangan dijahatin," pesannya, hanya untuk membuat Kafka memekik heboh di seberang sana.
Katanya, "Gue bukan Tenggara yang hobinya bikin nangis anak gadis orang!" lantas telepon ditutup detik itu juga.
Ganesha sudah tidak menghiraukan lagi perihal telepon yang ditutup tiba-tiba. Sebab kini, dia benar-benar fokus hanya pada Tenggara. Keinginannya untuk memeluk lelaki itu semakin besar saat sosoknya semakin dekat, terus mendekat hingga nyaris tidak ada lagi yang namanya jarak aman seperti yang biasa mereka terapkan.
"Kak Aga udah sele--" Ucapan Ganesha terputus, meninggalkan bibirnya setengah terbuka dengan lidah yang kelu tatkala tiba-tiba saja tubuhnya ditarik ke dalam pelukan Tenggara.
"Izinin gue peluk lo sebentar, ya, Sha. Gue bener-bener butuh," bisik lelaki itu, terasa begitu dekat dengan telinga Ganesha.
Tak mengiyakan, namun tak juga punya daya untuk menolak. Akhirnya, Ganesha hanya pasrah membiarkan tubuhnya didekap erat oleh Tenggara. Sembilan tahun, dan ini adalah kali pertama lelaki itu memeluknya.
Tapi, entah pertanda apa, hujan tiba-tiba saja turun ketika tubuh Ganesha masih didekap erat oleh Tenggara. Titik-titik air jatuh tanpa permisi, perlahan membasahi tubuh dua anak manusia yang isi kepalanya sedang berkeliaran mencari tempat aman.
Dan anehnya lagi, mereka sama sekali tidak beranjak. Seolah hujan yang turun bukanlah apa-apa. Seolah badai sekalipun tidak akan bisa memisahkan, kecuali memang mereka yang ingin menyudahi pelukan tersebut.
Bersambung...
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅