Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Langit senja mulai menghilang, digantikan dengan gelapnya suasana malam. Aroma masakan yang menyeruak memenuhi ruangan, seharusnya dapat membangkitkan selera makan siapapun. Namun, bagi Luna, suasana dalam rumah ini selalu tampak asing setiap kali ia datang.
Di ruang makan sederhana, sebuah meja kayu panjang dengan berbagai macam hidangan telah tersedia. Enam orang dewasa dan dua anak telah duduk untuk mengelilinginya.
David tampak begitu antusias, pria itu duduk tepat di sebelah sang Ibu, wanita paruh baya berusia hampir 65 tahun yang bernama Galuh. Mereka tampak begitu akrab, bahkan sang Ibu tidak henti-hentinya meletakkan beberapa macam masakan dan lauk pauk di meja putranya.
Tatapan hangat Bu Galuh hanya ditujukan untuk David dan kedua cucunya, Sarah dan Siena yang duduk di seberang Ayah mereka. Sedangkan kepada Luna, tak ada satu katapun yang keluar hanya untuk sekedar mempersilahkan menyantap makanan.
“Sarah, Siena, ayo dimakan. Nenek sengaja memasak ayam goreng yang banyak untuk kalian.” ucap Bu Galuh pada dua cucunya sangat ramah.
Luna yang duduk di ujung meja, hanya bisa meremas sudut baju terusan panjang yang dipakainya. Kehadirannya di rumah ini seakan hanya sebagai bayangan tak kasat mata.
“Luna, silahkan dimakan. Maaf jika hidangan di kampung memang hanya seadanya saja,” suara berat pak Helmi, sang Ayah mertua terdengar.
Membuat rasa canggung itu seketika semakin terasa. Luna membalasnya dengan mengangguk, serta merasa lega atas ucapan Ayah mertuanya. Sedangkan tatapan Bu Galuh padanya, tampak begitu sinis, menyapu segala kenyamanan yang baru terasa.
Tatapan yang seolah mengatakan,
‘Kamu tidak perlu ada di rumah ini’.
Di sudut lain meja, Maria, istri dari Doni, juga menatap ke arah Luna dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Ada sesuatu di dalam tatapan wanita itu yang membuat Luna merasa semakin terasing.
Apakah mungkin jika hal itu ada hubungannya dengan wanita itu yang belum kunjung dikaruniai seorang anak. Jadi, kehadiran Sarah dan Siena membuat luka dalam itu semakin terasa.
Luna memilih untuk mengalihkan tatapannya ke arah lain. Satu gelas air putih di harapkan bisa meredakan rasa sesak di dalam dada. Bahkan, sendok di tangannya hanya berperan sebagai hiasan. Karena setiap suap makanan yang masuk ke dalam mulutnya, terasa seperti beban yang sangat berat.
***
Pintu kamar yang ditempati Luna dan David baru saja tertutup dengan suara samar. Suasana malam yang seharusnya mengantarkan ketenangan, berubah menjadi ketegangan yang semakin menekan dada.
Luna yang baru saja hendak duduk di tepian ranjang untuk segera beristirahat, harus dihentikan oleh suara dingin yang berasal dari sang suami.
“Ada apa denganmu? Kenapa sikapmu begitu tidak sopan pada Ibu dan yang lain?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut David.
“Memangnya apa yang sudah aku lakukan?” tanya Luna bingung.
“Kamu sengaja bersikap seperti tadi, agar semua orang tahu jika kamu sebenarnya tidak suka tinggal di rumah ini.”
Ucapan pedas David sangat melukai perasaan Luna, pria itu seakan tak ada habisnya melimpahkan kesalahan padanya.
“Seharusnya kamu lebih tahu apa yang terjadi di ruang makan tadi. Dan kamu…hanya diam seolah tidak terjadi apa-apa.” ungkap Luna.
David mendengus kesal, merasa tak terima jika Luna menyalahkan keluarganya. “Luna, Ibu itu sudah masak untuk kita semua. Apa itu masih kurang bagimu? Setidaknya jika memang tak suka, kau bisa menyembunyikannya dan tetap bersikap ramah agar Ibu tidak merasa kecewa.”
“Jadi, kamu lebih memilih bertengkar denganku….lagi?” tanya Luna dengan mata yang sudah memanas. “Aku hanya minta kamu bisa bersikap adil. Jika tak bisa berpihak padaku, setidaknya jangan pernah menyakiti hatiku.”
Akan tetapi, David tetap tak bisa menerima alasan yang diberikan oleh Luna. Pria itu tetap menganggap jika istrinya memang sengaja membuat ulah untuk membalas dendam padanya. Dengan langkah cepat, ia meraih gagang pintu lalu berucap, “Aku lelah berdebat denganmu.”
David keluar dari dalam kamar, menyisakan suara dentuman samar di udara. Untuk kesekian kalinya, ia pergi tanpa berniat untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Jika David merasa lelah, maka Luna sendiri justru telah muak dengan sikap kurang dewasa yang dimiliki oleh pria itu.
Dalam keheningan kamar, Luna kembali duduk sendirian. Memikirkan apa yang baru saja terjadi. Berusaha mengalah, rupanya tidak cukup untuk bisa meruntuhkan prinsip keras kepala yang dimiliki oleh David.
***
Keesokan harinya,
Pagi ini, David tampak berpakaian sangat rapi, begitu pula dengan kedua putrinya. Luna yang baru saja keluar dari area dapur, melihat mereka turun secara bersamaan dari lantai atas sambil sesekali bercanda.
Dengan senyuman, Luna tampak mendekat dan memeluk si bungsu Siena yang tampak sangat cantik dengan balutan baju berwarna merah muda.
“Kamu hendak membawa anak-anak kemana?” tanyanya pada David.
“Aku akan mendaftarkan Sarah dan Siena sekolah.” jawab David datar.
“Secepat ini? Kenapa kamu tidak membicarakannya terlebih dulu padaku?”
David kembali membuang nafasnya kasar. Ia menganggap Luna semakin hari bertambah semakin menyebalkan. “Apanya yang harus dibicarakan. Kau harusnya sudah tahu jika mereka berdua akan segera masuk sekolah.”
“Di tempat mana mereka akan sekolah?” tanya Luna lagi, masih menjaga nada suaranya.
“Tidak jauh dari rumah ini.” jawab David merasa tidak terlalu penting untuk membahasnya dengan Luna. “Aku juga bersekolah disana saat masih kecil.”
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi, David langsung mengajak kedua putrinya untuk segera bergegas. Bahkan ia sama sekali tidak menunggu jawaban dari Luna, terkait pendaftaran sekolah putri mereka.
Luna yang menganggap jika semakin hari, David semakin berbuat sesuka hatinya. Padahal ia sudah berusaha menjadi istri yang diinginkan oleh pria itu. Seperti saat ini, sejak pagi buta, Luna telah bangun untuk membantu Ibu mertua dan kakak iparnya memasak.
Tapi apa boleh buat, semua usahanya seolah sama sekali tak berarti di mata David.
***
David melaju di atas sepeda motornya, membelah jalanan yang tak begitu ramai di kota kecil tempat kelahirannya. Suasana sejuk dan nyaman seperti ini yang sangat dirindukan. Kedua putrinya juga tampak menikmati perjalanan mereka pagi ini.
Hanya saja, ketenangan itu terusik saat matanya menatap seorang wanita yang berdiri di tepian jalan sambil menatap putus asa ke arah motornya.
Dengan cepat David menarik rem, lalu menghentikan laju motor tepat di pinggir jalan. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Motor saya tiba-tiba saja mogok,” jawab si wanita dengan raut wajah panik.
“Coba saya lihat dulu,” tanpa ragu David mulai berjongkok di samping motor wanita itu. Memeriksa kondisi mesin dengan pengetahuan seadanya. Beberapa kali tangannya memutar kunci kontak, memeriksa bagian kabel, dan tidak membutuhkan waktu yang lama motor itu sudah bisa menyala kembali.
“Wah, terima kasih banyak. Saya tidak tahu harus berbuat apa tadi,” wanita itu langsung membuka dompet miliknya, mengeluarkan lembaran uang dan menyerahkannya pada David. “Maaf, tapi ini sebagai tanda terima kasih saya.”
“Tidak perlu. Hidup di sini memang harus saling tolong menolong,” ujar David masih dengan senyuman.
Hal yang sangat aneh untuk dilihat. Karena David selalu tampak ramah kepada orang lain, sedangkan kepada Luna? Jangankan bersikap ramah, mau mendengarkan ucapan istrinya saja dia tak mau.
“Kalau begitu terima kasih. Saya permisi dulu,” si wanita mulai kembali melanjutkan perjalanannya.
“Ayah, kenapa uang dari Bibi tadi tidak diterima? Kan lumayan bisa untuk jajan,” ucap Siena dengan polosnya.
“Jangan seperti itu ya, sayang. Kita harus ikhlas jika ingin menolong orang lain.”
“Wah, Ayah hebat. Aku mau jadi orang baik seperti, Ayah.”
David terkekeh mendengar ucapan Siena. Mereka mulai naik ke atas motor dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah.
Setibanya di sekolah, David menggandeng tangan Sarah dan Siena menuju kantor kepala sekolah. Proses pendaftaran berjalan dengan lancar, hingga sang kepala sekolah mulai memanggil dua orang guru wali kelas untuk memperkenalkannya pada David dan dua putrinya.
Tak lama kemudian, dua orang wanita berseragam mulai masuk ke dalam ruangan.
“Pak David, perkenalkan ini Bu Kumala, wali kelas tiga, dan Bu Dina, wali kelas satu,” ucap kepala sekolah memperkenalkan.
David memandang kedua wanita itu. Saat matanya bertemu dengan sosok Bu Kumala, hatinya sedikit terkejut. Ia mengingat jika wali kelas Sarah rupanya adalah wanita yang sempat ia tolong tadi pagi.
Kumala pun tak kalah terkejut, tapi wanita itu mencoba untuk bersikap biasa saja dan tetap tersenyum ramah.
David maju satu langkah. Dimulai dengan menjabat tangan Bu Dina terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan Bu Kumala. Saat tangan mereka saling bersentuhan, entah mengapa sebuah getaran aneh terasa di dada Kumala meski hanya sekejap.
“Senang bisa bertemu dengan Anda Bu Kumala,” ucap David sangat singkat namun masih terasa hangat.
“Saya juga, Pak David. Selamat datang di sekolah kami,” balas Kumala.
Pertemuan keduanya memang hanya sebatas ketidaksengajaan. Meski dalam hati kecil Kumala mempertanyakan, apa yang terjadi dengan dirinya? Kenapa hatinya berdebar begitu cepat saat menatap ke arah mata pria ini.
BERSAMBUNG