Hidup dalam takdir yang sulit membuat Meta menyimpan tiga rahasia besar terhadap dunia. Rasa sakit yang ia terima sejak lahir ke dunia membuatnya sekokoh baja. Perlakuan tidak adil dunia padanya, diterima Meta dengan sukarela. Kehilangan sosok yang ia harap mampu melindunginya, membuat hati Meta kian mati rasa.
Berbagai upaya telah Meta lakukan untuk bertahan. Dia menahan diri untuk tak lagi jatuh cinta. Ia juga menahan hatinya untuk tidak menjerit dan terbunuh sia-sia. Namun kehadiran Aksel merubah segalanya. Merubah pandangan Meta terhadap semesta dan seisinya.
Jika sudah dibuat terlena, apakah Meta bisa bertahan dalam dunianya, atau justru membiarkan Aksel masuk lebih jauh untuk membuatnya bernyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hytrrahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Mengejar Bayangan
"Betah, nggak, lo jatuh cinta sama orang yang nggak mau jatuh cinta?"
Dua pasang kaki melangkah perlahan menuruni anak tangga terakhir, dengan cowok berparas agak kebule-bulean idaman para cewek berada di depan. Aksel. Disusul oleh cowok berbadan tegap dan kokoh bagai bodyguard di drama Korea di belakang. Pandu namanya, yang baru saja mengajukan pertanyaan atas usaha sahabat segengnya untuk memperjuangkan cintanya.
Karena Aksel tak kunjung menjawab, Pandu berseru lagi. "Gue liat-liat, Meta sulit ditaklukkan, Sel. Nggak kayak cewek lo pada umumnya yang terbilang murahan, justru dia jadi jagoan di Gemilang. Lo nggak mikir dua kali buat pacaran sama cewek kayak Meta? Ya, lo tau lah gimana sikap dia ke lo."
Kali ini senyuman miring diperlihatkan oleh Aksel, agak tersinggung dengan ucapan Pandu untuk mewakili Meta. Sang gebetan sialan yang mengatainya sebagai hama. "Cewek kayak Meta? Kayak lo udah kenal lama aja sama tu cewek. Sejauh ini gue belum bisa menyimpulkan apapun, tapi gue akan buat Meta bertekuk lutut di hadapan gue," tekadnya.
"Lo yakin Meta nggak akan berbalik nyerang lo? Ntar malah lo yang ngejilat ludah sendiri."
"Dua tahun gue ngejar-ngejar dia, sampe sekarang belum ada perkembangan, sih, Ndu."
"Nggak usah aneh-aneh, deh. Berurusan sama Meta kayak lagi berurusan sama tentara, dan lo terorisnya! Ribet, sumpah!" Pandu gemas sendiri akan rencana Aksel yang menurutnya tidak berguna dan buang-buang waktu. "Lagian lo punya dendam apa, sih, sama Meta? Dua tahun ngejar-ngejar, gila aja masih suka."
Keduanya berbelok, masih bercengkerama bersama meski disepanjang jalan ditatap dengan sebuah kekaguman dan kalimat puja, oleh siswi yang tak sengaja berpapasan dengan mereka. Tak terasa, Aksel dan Pandu hampir sampai di ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi.
"Sekarang nggak terlalu suka. Cuma gue mau bales apa yang Meta perbuat ke gue. Biar dia tau, rasanya ditolak selama dua tahun itu kayak apa."
"Salah elo juga jatuh cinta nggak kira-kira. Kalau udah ditolak mentah-mentah, seharusnya dilepehin, nggak usah dikejar-kejar lagi."
Aksel tertawa ringan mendengar ucapan Pandu yang dengan entengnya berkata seperti itu, tanpa tahu rasanya seperti apa. Meski begitu, Aksel tetap menghormati pendapat Pandu, lagipula ia juga memang masih memiliki sedikit perasaan untuk Meta. Dua tahun tak cukup untuk mengikis habis perasaan itu, sungguh! Namun ia juga sakit hati karena ditolak, dipermalukan, juga dihina di depan orang banyak. Alangkah baiknya jika Aksel menggali lebih dalam tentang alasan Meta bersikap seperti itu padanya.
Karena dari pandangannya, Meta bukannya tidak menyukainya, tetapi sengaja menolak tiap cinta yang datang padanya. Apa yang dia sembunyikan?
Sesampainya mereka di ruang guru, keduanya langsung berjalan ke arah meja yang diduga dihuni oleh Bu Yuli. Berhubung sang guru tidak ada, Aksel dan Pandu menitipkan pada guru yang ada di sebelahnya. Lalu setelah tanggung jawab mereka selesai, keduanya berpisah di lapangan. Sebab Pandu sudah tidak sabar ingin ke kantin untuk memberi makan cacing-cacing peliharaannya. Sementara Aksel harus kembali ke kelas, menjemput ponselnya yang ketinggalan di dalam tas.
"Kuat juga pukulan tu cewek. Untung nggak nambah, bisa rontok gigi depan gue."
Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Aksel bergumam sendiri sambil mengusap bibirnya yang pecah dan mengeluarkan darah yang kini sudah mengering. Perutnya terasa nyeri, punggungnya begitu sakit setelah menghantam dinding kelas secara cuma-cuma.
"Tapi gue nggak akan lepasin lo gitu aja, Ta. Karena lo harus jatuh cinta sama Aksel Daru Achilles. Gue mau, kita pacaran! Abis kita pacaran, lo gue putusin. Selesai!" ujarnya sambil tersenyum dan tertawa ringan, sesekali bersiul santai hingga membelokkan tubuhnya menuju kelas.
"Ngasih lo pembelajaran tentang cinta kayaknya lebih seru daripada jatuh cinta beneran sama lo, Ta. Gue akan cari tau dulu semua hal tentang lo, baru gue putusin untuk balas semua perbuatan lo, atau kita pacaran beneran."
Setibanya Aksel di mejanya, ia melihat ada sebotol cairan yang Aksel tahu berisi alkohol pembersih luka bersama teman-temannya yang lain. Obat merah, kapas dan cotton bat, yang biasanya digunakan untuk membersihkan dan mengobati luka. Seketika pikiran Aksel melayang pada Meta. Lelaki itu terdiam agak lama karena merasa bersalah terhadap niatnya yang salah pada Meta. Aksel menyingkirkan rasa bersalahnya, mengambil ponsel kemudian buru-buru mengumpulkan obat yang ada di atas meja dan meninggalkan kelas.
"Gue nggak berniat nyakitin lo, tapi kalau usaha gue kali ini gagal. Mungkin jalan terbaiknya adalah memberi hinaan yang sama terhadap lo, Ta."
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Meta baru saja bersin untuk yang ketiga kalinya, ia menggosok hidungnya sampai memerah. Sekarang rasanya cukup lega, namun Meta menerka-nerka siapa yang tengah membicarakan dirinya. Karena katanya jika kita bersin tiba-tiba, ada yang membicarakan kita di belakang. Benar atau tidaknya, Meta tidak tahu dan tidak ingin peduli. Namun rasanya akan sangat menyebalkan jika hal itu benar terjadi.
Selepas dari kelas, tepatnya setelah menaruh obat untuk mengobati luka di bibir Aksel di atas meja, Meta langsung bergegas menuju atap. Berdiri di dekat tembok pembatas, menikmati pemandangan indah SMA Gemilang dari sana. Sembari menghirup udara segar, seraya mengilas balik kehidupannya yang suram tanpa keluarga utuh layaknya anak-anak lain seumurannya.
Meta menghela napas, rasanya berat sekali. Pundaknya tak sekokoh yang orang lain lihat, Meta mengorbankan banyak hal dalam hidupnya yang gelap itu. Dadanya terasa dihimpit oleh batu besar disetiap ia membuka mata. Masalah yang datang tak selalu bisa ia atasi, ia ingin lari tapi tak punya kesempatan untuk pergi. Baginya hidup adalah sebuah misi yang harus diselesaikan sampai akhirnya menemui kematian. Meta tak punya banyak impian, ia hanya ingin hidup dengan tenang bersama Risa. Untuk masalah pendamping, mungkin ia tidak akan menerima siapapun di hatinya.
Tidak akan pernah. Karena bagi Meta, hidupnya hanyalah untuk Risa.
"Thank's, obatnya. Cukup berguna buat luka yang udah lo kasih ke gue."
Seruan seseorang yang bersumber dari balik punggungnya membuat Meta terhening, menatap lemah lapangan dengan sekali lirikan ke belakang. Menoleh ke sumber suara yang ternyata berasal dari Aksel. Ya, siapa lagi jika bukan lelaki itu? Setelahnya, Meta tak berkutik, Aksel memojokkannya ke tembok pembatas.
Mata cewek itu membulat, cukup terkejut sekaligus takut akan reaksi Aksel. "Apa-apaan lo kayak orang mesum begini?!" teriknya sambil mendorong bahu Aksel untuk menciptakan jarak. "Jangan main-main sama gue, Sel. Lo akan menyesal!"
Sebelah alis Aksel terangkat. "Oh, ya? Gue nggak takut. Jawab dulu pertanyaan gue, muka lo kemaren kenapa? Kalau bener lo berantem, lo berantem sama siapa, Ta? Kasih tau, biar gue yang hajar dia!" ucap Aksel mendesak. Ia benar-benar ingin tahu banyak hal mengenai gadis yang sulit ia taklukkan itu.
"Buat apa lo ikut campur urusan gue? Denger, ya, gue nggak butuh belas kasihan dari lo. Urus aja diri lo sendiri!"
"Justru karena gue udah ngerasa mampu ngurus diri sendiri, makanya gue ngurusin lo juga sekarang," seloroh Aksel yang membuat Meta membuang muka ke samping. "Gue ngerasa punya tanggung jawab setelah jatuh cinta sama lo."
"Pake cara apalagi, ya, supaya lo bisa jauh-jauh dari gue dan biarin masa SMA gue berjalan dengan tenang?"
Aksel menyunggingkan senyum, kedua tangannya masih berada dikedua sisi tubuh Meta. Mengurung cewek itu agar tak bisa pergi kemana-mana.
"Sekarang gue jadi penghalang ketenangan lo gitu?"
"Kalau lo sadar diri, lebih baik mundur sendiri. Jangan nunggu gue usir!"
Akhirnya saat Aksel lengah, Meta bisa terbebas dari Aksel. Ia berhasil mendorong cowok itu agar menjauh darinya, untung saja pemuda itu tidak melakukan hal lebih yang akan membuat Meta melayangkan pukulan sebagai bentuk pertahanan diri. Kalau itu terjadi, mungkin ia akan terjerat masalah baru dan membuat Risa khawatir.
"Gue pikir lo lebih memerlukan obat ketimbang gue, Ta. Karena rasa sakit itu bisa merubah lo jadi lebih ganas dari piranha!"
"Nggak usah mancing emosi gue!" bentak Meta lalu berbalik memunggungi Aksel, ia sedang mencoba untuk tidak tersulut emosi. "Daripada di sini ngoceh nggak jelas, mendingan lo ke temen-temen lo sana!"
"Kenapa cara lo nolak gue terlalu menyakitkan, Ta? Suka sama lo bukan kejahatan, kenapa gue harus dihukum?"
Jantung Meta berdesir hebat, kedua tangannya mengepal kuat menyalurkan perasaan bersalah atas apa yang dahulu pernah ia lakukan pada Aksel. Tetapi itulah cara bagi Meta untuk bertahan, karena jika ia sudah jatuh cinta, hatinya akan lemah. Dan artinya, ia akan selalu kalah dalam hidupnya dan Meta tidak ingin hal itu terjadi.
"Gue nggak suka sama lo, jadi berhenti bilang suka sama gue!" ucap Meta masih dalam posisi yang sama. Di belakangnya, Aksel memandang lekat. "Seharusnya kalau udah ditolak sekali, lo berhenti!"
"Gue nggak akan berhenti, Ta!" putus Aksel cepat. Membungkam Meta dengan tatapan tidak suka yang sepenuhnya diberikan pada Aksel. "Selama gue punya kesempatan, gue nggak akan pernah berhenti."
"Kalau gitu jangan salahin gue atas rasa sakit lo! Gue udah ngomong baik-baik, tapi lo keras kepala."
Jika detak jantung manusia bisa didengar, mungkin saat ini jantung Meta terdengar sangat berisik karena berdetak terlalu cepat. Barangkali organ di tubuhnya ikut bereaksi saat Aksel mengutarakan kekecewaannya. Tapi Meta tetap teguh pada keputusannya, ia tidak akan takluk pada siapapun. Sehingga setelah memberitahu Aksel untuk berhenti, ia mengangkat kaki dan meninggalkan Aksel sendirian di atap.
Dalam perasaan campur aduk, antara ingin mencinta dan tidak. Bayangan ketika dirinya dihina selalu menghalangi Aksel untuk terus menyayangi Meta. Apa yang harus ia lakukan?
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Pelajaran terakhir sedang berlangsung, setengah jam lagi bel pulang akan berdering memenuhi SMA Gemilang. Sejak duduk berdampingan dengan Aksel selepas jam istirahat berakhir, cowok itu tampak tidak bisa memusatkan perhatian. Selalu saja gelisah dan tidak bisa diam. Membuat Meta berpikir bahwa hal itu disebabkan oleh perkataannya yang tidak berperasaan. Meski ada rasa bersalah yang mengganjal di hatinya, Meta tetap bersikap seperti biasa. Ia seperti pilar kokoh yang akan tetap menopang meski hampir roboh.
Segala rasa sakit itu akan ia simpan sendirian, tersakiti sejak kecil membuatnya terbiasa asalkan ada Risa di sampingnya.
Diam-diam, Meta menatap Aksel kembali, cowok itu masih memainkan pulpen dan terus diam meski teman-temannya sudah mengajaknya bicara. Hal itu tetap tak berpengaruh, Aksel tidak memedulikan apapun bahkan sampai jam pelajaran berakhir. Saat kelas sudah dibubarkan oleh guru yang mengajar, barulah dia terlihat bersemangat dan membuat Meta menaruh curiga padanya.
Ketika Aksel menghampiri Pandu, Meta teringat akan perkataan cowok itu yang mengajak sahabat segengnya untuk berkelahi sepulang sekolah. Meladeni anak kelas sebelah yang katanya songong. Karena Meta tak ingin Aksel terlibat kasus perkelahian lagi, ia pun ikut mempercepat gerakannya mengikuti Aksel di belakang. Sebisa mungkin menghentikan Aksel sebelum terlambat. Namun sebelum itu, Meta sudah pamit kepada Renata dan Kayla.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
Sesampainya di parkiran sekolah, disaat Aksel tengah bercengkerama bersama dengan teman-temannya dari Destroyer. Meta menyerobot masuk ke dalam kerumunan para lelaki itu tanpa rasa malu, segan, apalagi takut. Meta sudah tak mengenal kata takut, dia sudah berteman dengan ketakutan sejak ayah serta saudara laki-lakinya tiada.
Kehadiran Meta menjadi tanda tanya bagi semua orang, termasuk Aksel dan Pandu yang cengo di tempatnya. Tubuhnya kaku, tak bergerak bahkan sampai menahan napas beberapa detik. Meta menyambar kunci motor di tangan Aksel, ia tidak peduli dengan tatapan merendahkan anggota geng paling disegani di SMA Gemilang itu. Yang ia tahu, Aksel tidak boleh terlibat perkelahian dalam bentuk apapun. Hanya itu alasan yang terkunci di kepalanya.
"Ta, lo mau ngapain? Balikin kunci motor gue!" Aksel mendekat, namun Meta bergerak untuk menaiki motor besar kesayangan Aksel. "Lo apa-apaan, sih? Rok lo kependekan kalau mau bawa motor ini."
Aksel menarik lengan Meta hingga membuat cewek yang tak kenal takut itu terhuyung ke samping. Untung saja Meta bisa mengendalikan diri hingga tidak tumbang ke pelukan Pandu. Cewek itu menepis tangan Aksel segera, dia memutar tubuhnya menghadap Pandu.
"Lo bisa bawa motor matic gue, nggak?"
"Lo ngomong sama gue?" Pandu heran dan refleks menunjuk dirinya sendiri, membuat teman-temannya terbahak. Pandu dan perempuan adalah dua hal yang bertolak belakang. Membuat teman-temannya geleng-geleng kepala.
"Karena gue sama Aksel mau ke Prismatrix Kafe, jadi lo bawain motor gue ke sana, ya. Gue mau ganti celana dulu." Tanpa menunggu jawaban Pandu, Meta kembali menarik tubuhnya untuk menghadap Aksel, yang baru saja mengode teman-temannya untuk membawa dirinya kabur. Seolah telah membaca pergerakan itu, Meta melirik ganas teman-teman Aksel satu per satu.
"Kalau sampai lo hilang dari penglihatan gue, siap-siap aja kehilangan motor kebanggaan lo ini!"
Setelah itu Meta berlalu meninggalkan Aksel dengan rencananya yang telah digagalkan oleh Meta. Peringatan cewek itu tidak pernah main-main, Meta selalu menepati ucapannya. Apalagi dalam hal seperti ini, Meta mewanti-wanti dirinya dalam kasus perkelahian sejak kelas XI. Tapi kali ini mengapa harus melibatkan Aksel?
"Kalau udah berurusan sama Meta, angkat tangan, deh, gue. Bukannya apa, gue males ngeladenin perempuan. Kayak nggak guna aja geng kita berurusan sama cewek." Devon berujar lebih dahulu, diikuti oleh teman-temannya yang memutuskan untuk menunda rencana mereka kali ini. Bagaimanapun juga, pada akhirnya, Aksel terpaksa mengikuti perintah Meta.
...ᴍᴇᴛᴀ & ᴛɪɢᴀ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...
"Lo bisa bawa motor yang bahkan lebih berat dari badan triplek lo, Ta?"
"Nggak guna mulut lo, ya!" maki Meta sambil berkendara di jalan raya, suaranya teredam oleh helm full face milik Aksel. Meta sengaja memakai itu agar Aksel tidak terlalu malu diboncengi olehnya. Seharusnya, kan, laki-laki yang membonceng perempuan, bukan justru sebaliknya. Seperti yang terjadi pada Meta dan Aksel.
"Boleh peluk, nggak, Ta? Gue takut lo nyasar ke kolong truk," teriak Aksel di belakang sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Meta. Karena bagaimanapun juga, Meta tetaplah perempuan yang tak pernah ia duga bisa mengendarai motor sebesar ini.
"Nggak usah kayak banci! Itu di depan kafenya Dewa, nggak usah peluk-peluk segala."
"Ya udah, gue percayakan semuanya sama lo," jawab Aksel pasrah hingga Meta tertawa receh.
Meta melirik ke arah spion motor, memastikan bahwa Pandu masih mengikutinya di belakang. Karena kalau sampai cowok itu menghilang, Meta akan terlambat pulang dan mendapat omelan dari Beni. Bisa bahaya baginya jika hal itu terjadi, karena Meta pasti akan dipukuli seperti anjing liar. Dari kaca spion itu, Meta melihat Pandu yang berkendara dengan santai. Membuatnya merasa lebih lega dan tenang.
Tak lama, kendaraan pun berbelok ke kanan dan langsung menuju parkiran khusus untuk motor milik Aksel. Beberapa karyawan yang sedang berada di luar langsung mengenali motor mahal dan pemiliknya. Mereka menyapa ramah, Aksel membalasnya dengan sekali anggukan beserta senyum tipis.
"Turun!" titah Meta, gerakannya yang super cepat itu membuat Aksel dilanda kebingungan.
Setelah mereka berhasil turun dengan masing-masing helm yang sudah dilepas, Meta menarik sebelah tangan Aksel dan menaruh kunci motornya di sana. Wajah Meta tampak tegang akan sesuatu, apalagi ketika Pandu tiba, matanya langsung tertuju pada motor matic keberuntungannya itu.
"Jangan berantem lagi, nanti muka lo makin jelek! Emak lo kasian, pulang-pulang anaknya udah kayak kaleng penyok yang ditendang di jalan."
"Lo khawatir sama gue?"
Meta tertawa ringan. "Nggak! Gue duluan, ya. Thank's, ya, Ndu. Lain kali gue traktir di kantin."
"Gue enggak?" seru Aksel, mengingatkan Meta bahwa dirinya juga perlu ditraktir makan.
Cewek itu hanya membalas seruan Aksel dengan tawa sambil menaiki motornya. Sedangkan Pandu hanya bisa mengamati dua remaja itu sambil melirik ponselnya sesekali, memastikan bahwa tak ada pengumuman baru dari grup Destroyer atas kegagalan rencana hari ini.
"Ndu, lo tunggu sini dulu, ya. Gue mau ngikutin Meta, khawatir ada yang gangguin."
"Hati-hati lo, Bro! Gue tunggu di dalam."
Pandu membiarkan Aksel pergi menyusul Meta, lalu memboyong dirinya masuk ke kafe. Sedangkan Aksel kembali mengendarai motornya untuk mengejar ketertinggalannya dari Meta.
"Gue pengen tau rahasia dibalik semua keganasan lo terhadap kaum laki-laki, Ta. Siapa yang udah bikin lo kayak gini?" Aksel bergumam, mengambil jarak aman bagi kendaraannya agar Meta tak menyadari kalau sedang diikuti olehnya.
Perempuan setangguh Meta pasti telah melalui banyak hal hingga membatasi dirinya dalam segala hal. Entah mengapa pada kesempatan kali ini, saat dirinya bisa sekelas dengan cewek itu, rasa ingin tahu Aksel kian membesar. Hingga mampu melakukan hal segila ini meski telah ditolak berkali-kali. Seharusnya ia mundur seperti yang Meta inginkan, tapi Aksel tidak akan memutus perjuangannya sampai di sana sebelum tahu apa alasannya.
Meta melewati gang-gang sempit untuk mempersingkat waktu, Aksel masih setia menemani di belakang seraya menghapal rute baru yang ditunjukkan oleh Meta secara tidak langsung. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah yang selama ini punya banyak cerita terpendam tentang Meta. Aksel menepi, menunggu cewek itu turun dan membuka pagar tanpa perlu repot-repot memanggil ibunya.
Saat Meta sudah berhasil masuk ke dalam, Aksel kembali melaju bersama kendaraannya. Bersembunyi di dekat tembok untuk mengintip ke teras rumah, dimana saat ini Meta dihadang oleh laki-laki tinggi besar. Rambutnya agak panjang, memakai celana pendek selutut dan jaket kulit cokelat.
Belum sempat memahami situasi yang terjadi, Aksel mendapat kejutan dari laki-laki itu. Ia melayangkan pukulan pada Meta sebanyak dua kali, tetapi Meta tak melakukan perlawanan. Cewek itu hanya diam, menerima, tak bereaksi. Hingga Aksel bergegas mengeluarkan ponselnya, barangkali akan ia butuhkan jika nanti sudah menemukan jawaban yang jelas terhadap Meta.
"Sekarang gue tau kenapa hari itu ada luka di wajah lo, Ta. Semoga tindakan gue ini tepat untuk membantu lo suatu saat nanti." Aksel berujar sambil merekam aksi laki-laki yang tidak Aksel ketahui siapa itu. Yang jelas, ia harus punya bukti agar Meta tak terus-terusan menghindar darinya.