Elina wanita terkuat di akhir zaman yang paling ditakuti baik manusia, zombie dan binatang mutan tiba-tiba kembali ke dunia tempat dia tinggal sebelum-nya!
Di kehidupan pertamanya, Elina hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya dihancurkan oleh obsesi cinta dan keputusan-keputusan keliru.
Sekarang, dengan kekuatan kayu legendaris dan ruang dimensi yang memberinya kendali atas kehidupan, Elina ingin memulai kembali hidupnya dengan membuat pertanian besar dan melakukan siaran langsung bersama bayinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Si kecil pemimpi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa itu?
Sudah seminggu Elina tinggal di rumah bersama bayinya, Alex. Setiap hari, mereka menghabiskan waktu di rumah, terkadang Elina pergi ke gunung untuk mencari sayuran liar atau jamur.
Elina selalu suka sayuran liar; rasanya lebih manis dan lembut setelah dimasak.
Dia teringat awal-awal di akhir dunia, ketika hanya makan makanan kompres—sebuah pilihan praktis karena mengisi ulang ruang membutuhkan banyak inti kristal.
Beruntung, di dalam ruang ini, waktu seakan-akan berhenti, sehingga makanan tetap segar meski sudah lewat tanggal kedaluwarsa.
Hari ini, Elina ingin mengajak Alex keluar, menikmati udara segar desa ini. Pemandangan di desa sangat indah, berbeda jauh dari kota yang panas dan penuh polusi.
Di kota, udara terasa begitu kotor oleh asap kendaraan dan pabrik.
Dulu, demi cinta, Elina rela tinggal di gedung tua yang bobrok dan bau, yang berada di samping pembuangan limbah bekas pabrik. Sekarang, dia berpikir, mungkin dulu otaknya sempat tertimpa durian hingga membuatnya bertindak sebodoh itu.
Elina berjalan menuju desa bersama Alex. Oh ya, rumah mereka terletak di ujung desa, agak jauh dari pusat pemukiman warga.
Bukan karena dia dikucilkan, melainkan karena neneknya memang menyukai lokasi ini.
Rumah mereka diapit oleh pegunungan, dengan sungai yang mengalir jernih di sebelahnya. Saking jernihnya, batu-batu di dasar sungai terlihat jelas.
Sungai itu penuh dengan ikan dan udang. Ada jembatan kayu kecil di atas sungai, yang memudahkan mereka melintas ketika ingin mandi atau mencuci di sana.
Dulu, Elina dan nenek sering mandi di sungai itu; airnya dingin tapi menyegarkan.
Di halaman depan rumah, ada pohon beringin besar yang daunnya lebat, memberikan keteduhan sepanjang hari.
Di bawah pohon, ada meja dan kursi yang terbuat dari semen, tempat mereka duduk dan minum teh sore hari.
Ada juga ayunan yang dibuat untuk Elina. Di sebelah pohon beringin, ada taman bunga yang dulu penuh warna, tapi sekarang sudah layu karena tidak pernah dirawat.
Untungnya, Elina masih menyimpan banyak bibit bunga di dalam ruangnya. Nanti, dia akan menanamnya lagi.
Elina mulai berjalan menyusuri desa, menyapa para tetangga yang baru pulang dari sawah. Suasana pedesaan selalu membuatnya tenang—sederhana dan damai, tanpa kebisingan dan kerumitan seperti di kota.
Di sini, kebanyakan penduduknya adalah orang tua, sementara anak-anak mudanya pergi merantau, bekerja atau sekolah di kota.
“Elina, ini bayi siapa?” tanya Bibi Ruan, tetangga yang baru pulang dari sungai setelah mencuci pakaian.
“Ini anakku, Bi,” jawab Elina sambil tersenyum.
Bibi itu tampak terkejut. Beberapa warga yang mendengar juga terlihat heran, tetapi Elina hanya tersenyum lembut menanggapi.
“Kamu… sudah punya anak?” Bibi Ruan tampak bingung, tapi Elina hanya mengangguk.
“Ya, begitulah,” jawabnya singkat.
Bibi Ruan menghela napas. “Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang ke bibi, ya.”
“Terima kasih, Bi. Aku akan ingat itu,” jawab Elina dengan senyum yang lebih lebar.
“Siapa nama anakmu?”
“Alex, Bi.”
“Nama yang bagus. Bayinya juga tampan sekali, ini pertama kalinya bibi melihat bayi setampan dan seputih ini,” katanya sambil mengelus pipi Alex yang ada di gendongan Elina.
Elina tersenyum, merasa bahagia mendengar pujiannya. Setelah itu, Bibi Ruan berpamitan dan berjalan pulang.
Sepanjang jalan, banyak warga yang bertanya tentang Alex, dan Elina dengan sabar menjelaskan bahwa dia adalah anaknya.
Perasaan hangat menyelimuti hati Elina setiap kali mereka memuji Alex.
Bayinya sering tersenyum sepanjang jalan, membuat banyak orang gemas melihatnya.
Saat matahari mulai tenggelam, Elina memutuskan untuk pulang.
Di desa ini, ada tradisi bahwa anak kecil tidak boleh berada di luar rumah saat magrib.
Meski pun dia tidak sepenuhnya percaya, tetapi sebagai seorang ibu, Elina merasa lebih baik mengikutinya.
Setelah sampai di rumah, Alex langsung tertidur. Elina meletakkannya di kasur, lalu masuk ke ruang.
Elina punya rencana untuk menjual sebagian emas yang disimpannya di sana.
Dia butuh uang untuk merenovasi rumah dan membeli tanah.
Meskipun ada ruang, Elina tidak bisa selamanya bergantung padanya. Siapa yang tahu kapan ruang ini akan hilang atau tidak bisa digunakan lagi?
Keesokan paginya, Elina menitipkan Alex ke Bibi Ruan. Setelah mencium pipinya, dia berangkat menuju kota naik angkutan umum.
Pemandangan di sepanjang perjalanan begitu akrab. Di sinilah Elina bahagia dan di sinilah juga dia menangis.
Dari desa hingga ke kota hanya membutuhkan waktu 40 menit. Setibanya di kota, Elina langsung menuju toko emas.
Dia menjual emas senilai 50 juta rupiah. Terlihat banyak, tetapi sebenarnya belum cukup.
Harga tanah di desa mencapai 10 juta per hektar, jadi dengan uang itu, Elina hanya bisa membeli tiga hektar.
Sisanya akan dia simpan untuk renovasi rumah dan kebutuhan darurat.
“Sepertinya aku harus mencari cara lain untuk mendapatkan lebih banyak uang,” gumam Elina pada dirinya sendiri.
Setelah urusan emas selesai, dia mampir ke Alfamart untuk membeli kebutuhan Alex seperti popok dan susu.
Kemudian, Elina pergi ke toko pakaian untuk membeli beberapa baju baru, baik untuknya maupun untuk Alex.
Ketika dia sedang sibuk memilih pakaian, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari belakang.
“Elina…”
Dia berhenti sejenak, terkejut mendengar suara yang begitu familiar.
Dengan hati-hati, Elina berbalik dan melihat seseorang yang tak pernah dia sangka akan temui lagi.
---
Elina sm andra cptn nkah dong,biar halal...scra mreka msh sling cnta...