"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Merebut Kebahagiaan
Arina melangkah ke dalam rumah,isaknya tak lagi ada.Hanya menyisakan sembab sedikit di bawah mata.Tapi sorot matanya berbinar , di tangannya sebuah kotak kecil berisi kabel USB baru pemberian Arkan.
Arina tersenyum kecil,memandangi kotak itu.
“Akhirnya bisa beli juga... tinggal cas malam ini, baterai aman.”
Suaranya lirih,sambil menaruh tas di atas meja belajar di kamarnya.
Setelah mengganti seragam dengan pakaian santai di rumah ia melangkah ke ruang tempat ia biasa menonton Tv.Tapi langkahnya berhenti tiba-tiba.
Di bawah meja TV,ponselnya tergeletak dengan layar retak, nyaris menutupi seluruh permukaannya.Arina mendekat, kaget
“Lho... ini kenapa ponselku?”
Dari arah dapur terdengar suara sendok beradu dengan gelas.
Raka muncul sambil minum teh, wajahnya santai seperti nggak terjadi apa-apa.
“Oh, itu ya? Tadi jatuh. Kupikir nggak rusak.”
Arina berjongkok, menatap ponselnya yang kini diam.
Ia tekan tombol power cuma muncul kilatan sebentar, lalu mati total.Suara Arina bergetar.
“Kamu...yang jatuhkan? Jatuh dari mana,Mas?”
Raka menghela napas seolah malas,dengan santai menyeruput teh di tangannya.
“Ya dari meja. Kan cuma jatuh dikit. Nggak usah lebay,deh.”
“Lebay? Kamu tahu nggak, ini satu-satunya ponselku! Aku baru aja beli kabel baru supaya bisa ngecas normal!”
Raka diam sebentar, lalu nyengir kecil.
“Ya udah,aku minta maaf. Nggak usah sedrama itu juga lah.”
Arina terdiam. Jemarinya gemetar saat menggenggam ponsel itu.Kabel USB di tangannya ikut terjatuh, bunyinya pelan tapi nyaring di hati.
“Kamu gampang banget ya ngomong 'maaf'... ”
Raka mengangkat bahu,
“Ya udah sih, nanti aku bilangin Mamak kalo ponsel kamu rusak.”
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Raka melangkah ke kamarnya sambil menutup pintu.
Arina hanya berdiri mematung di ruangan itu,menatap layar yang kini gelap total.Air matanya jatuh perlahan.
Di luar...suara motor lewat terdengar samar, tapi di dalam rumah, hanya ada suara napas Arina yang berat dan harapan kecil yang retak, sama seperti layarnya.
***
Ruang makan keluarga Evan seperti biasa, sunyi.
Hanya denting sendok dan aroma steak yang belum sempat disentuh.
Mama Evan menatap anaknya dari seberang meja, ekspresinya lembut tapi matanya penuh kehati-hatian.
“Evan…”
Evan yang duduk bersebrangan dengan Mamanya,menghentikan kegiatannya.Menatap ke depan.
“Hmm?”
“Kamu, masih berteman dengan Arina?"
Evan menghela nafas pelan,sebenarnya dari tadi ia ingin sekali menanyakan tentang apa yang Arina katakan padanya tadi siang.Tapi ia masih menimbang-nimbang.
“Kenapa nanya gitu, Ma?”
“Nggak apa-apa. Mama cuma… penasaran aja.”
"Iya,dia akan menjadi temanku selamanya"
“Oh…”
Nada ‘oh’ itu tipis, tapi dinginnya terasa.
Beberapa menit hening.
Evan pura-pura fokus memotong daging, padahal hatinya sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Nak, Mama nggak melarang kamu berteman. Tapi kamu harus tahu… lingkungan kita berbeda.”
“Berbeda?”
“Kamu tahu sendiri, posisi Papa di perusahaan, nama keluarga kita… semua itu mudah disorot orang.
Kadang… satu kesalahan kecil, satu pergaulan yang salah, bisa bikin orang salah paham.”
Evan menatap Mamanya, nada suaranya datar tapi tajam.
“Arina bukan kesalahan, Ma."
“Mama nggak bilang dia salah.”
“Tapi Mama takut orang salah paham, kan?”
“Evan…” suaranya menurun, tapi tetap tegas
“Mama cuma nggak mau kamu kasih harapan ke seseorang yang mungkin nggak akan bisa kamu perjuangkan nanti.”
Evan terdiam.
Kata-kata itu seperti bilah halus yang mengiris dalam tanpa darah.
“Mama pikir aku segitu kejamnya?"
“Mama cuma realistis.”
Evan bangkit pelan dari kursinya.
Langkahnya tenang, tapi rahangnya mengeras.
“Kalau jadi realistis artinya harus menyingkirkan orang baik cuma karena dia nggak kaya…”menatap Mamanya dalam
“Aku nggak mau se-realistik itu, Ma.”
"Tapi,Semua orang tahu bagaimana Keluarga kita.Kita keluarga terpandang,dan Papamu namanya terkenal di kalangan pembisnis"
Mendengar itu,Evan tersenyum sinis.
"Pembisnis termasuk juga seseorang yang pengecut karna menyembunyikan istri simpanan?"
Mamanya melotot,tidak menyangka kalimat itu keluar dari bibir Evan.
"Jaga ucapanmu Evan,walau bagaimana pun dia adalah Papamu"
"Iya aku tahu,hanya kalian orang dewasa yang boleh melakukan kesalahan.Tapi tidak pernah benar-benar meminta maaf untuk berbenah.Mama tidak berhak berkata seperti itu tentang Arina,karna Papa tak lebih baik dari itu.Saat aku merasa sendiri,saat aku merasa di tinggalkan hanya Arina yang menghiburku untuk terus semangat...hal yang aku nggak pernah dapatkan dari Papa lalu kenapa Mama melarangku berteman dengannya? Apa Mama merasa kalian lebih baik dari Arina untuk ku? Mama tidak tahu seberapa kuat aku mau bertemu dengan Papa,dengan Arkan.Aku pergi ke sekolah melihatnya tumbuh bersamaku.Aku ingin berhenti,tapi ada Arina yang menjadi sebab aku semangat pergi lagi.Lalu,Mama pikir Mama tahu apa yang lebih baik untukku?,setidaknya itu yang aku pikirkan tentang Mama"
Mama Evan terdiam,air mata menggenang di sudut mata.Sesak yang teramat dalam menghantam dadanya.Kenyataan jika suaminya menikah lagi dan memiliki anak yang seumuran dengan Evan masih menyisakan luka yang teramat dalam.
Mama Evan tak menjawab.
Air mata yang tertahan akhirnya jatuh diam-diam di atas meja makan yang berkilau.
Evan membalikkan badan,melangkah menuju tangga yang menghubungkan ke kamarnya.Meninggalkan Mamanya sendiri,duduk terdiam dengan jari jemari gemetaran.Bahunya naik turun menahan Isak.
Suara langkah Evan menghilang di tangga.
Yang tersisa hanyalah keheningan, dan detik jam dinding yang berdetak seperti sindiran.Setiap detiknya terasa seperti menekan dada Mama Evan lebih dalam.
Wanita itu masih duduk di kursinya.Punggungnya tetap tegak,seperti kebiasaannya menjaga wibawa tapi jemarinya gemetar halus di atas meja.
Piring di depannya sudah dingin, steak yang tadi masih berasap kini hanya menyisakan aroma besi dan minyak.
Matanya menatap kosong,tatapan yang awalnya tegas kini mulai retak.Bibirnya bergetar tanpa suara, seolah ingin membantah sesuatu… tapi kalimatnya tak pernah jadi keluar.
“Luka itu…meski sudah lama,tapi masih menganga di hati anakku”
Suara hati itu bergema di kepalanya, membuat dadanya semakin sesak.Air matanya kembali menggenang, meski sudah ia seka dengan tisu...
“Aku cuma ingin melindungimu,Van… tapi kenapa rasanya malah aku yang menghancurkanmu?”
Dia menatap foto keluarga di meja sisi,foto mereka bertiga tersenyum,namun senyum di foto itu terasa seperti kebohongan paling indah yang pernah ia pertahankan.
Mama Evan menunduk, menekan dadanya pelan dengan tangan.
Tangisnya pecah tanpa suara.
***
Evan menutup pintu dengan keras,lalu menjatuhkan dirinya di kasur.Badannya telentang,mata menatap ke plafon kamar.
"Ibunya merebut Papa,sekarang Arkan ingin merebut Arina.Ibu dan anak itu sama-sama ingin merebut kebahagiaan yang aku miliki"
*
*
*
~Salam hangat dari penulis 🤍