Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.
Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.
Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Makanan Bayi
Ia tarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Yaudah… ayok jalan lagi.”
Xion mengangguk. “Iya.”
Ia kembali ke posisi semula, mengenakan sabuk pengaman, lalu menyalakan mesin.
Mobil pun meluncur lagi, menyusuri jalan yang kini terasa lebih ringan—setidaknya untuk Tiny.
°°°°
Mereka akhirnya sampai di depan sebuah supermarket yang cukup luas.
Lampu-lampunya terang, area parkirnya cukup ramai, dan papan nama toko itu menyala jelas di atas pintu kaca otomatis.
Xion mematikan mesin. Tiny hendak membuka pintu, tapi berhenti.
Ia buru-buru mengambil ponselnya, menyalakan kamera depan. Menatap wajah sendiri dengan cemas. Lalu mendekatkan wajah ke layar sambil berbisik panik,
“Aduh… bengkak nggak, sih…? Aduh… ini bengkak nggak? Kok kayaknya bengkak?”
Ia menoleh ke Xion. Lalu menoleh lagi ke ponsel.
Cek dari sudut kiri. Cek dari sudut kanan. Poni disingkap. Wajah dimiringkan. Mulutnya komat-kamit sendiri, panik tanpa suara yang jelas.
Xion menatap Tiny yang masih sibuk bercermin lewat kamera depan. “Bengkak dikit kok,” ucapnya pelan.
Tiny langsung manyun. “Ih gimana nih? Kan jadinya nggak cantik.”
Tangannya mencubit pipi sendiri yang memang sudah chubby dari lahir. “Mana pipinya aja udah gini, bulat banget. Tambah bengkak, auto kayak bakpao.”
Xion melirik. Ekspresinya tetap datar. Tapi kalimatnya keluar cepat,
“Cantik kok.”
Tiny langsung diam. Ia mematung sebentar, lalu melirik pelan ke Xion—mencoba mencari ekspresi di wajah suaminya itu.
Tapi Xion sudah menoleh ke depan lagi. Seolah yang barusan keluar hanya komentar netral seperti “cuaca hari ini cerah”.
Padahal... ya, barusan ia mengakui sesuatu.
Tiny mendekatkan wajah ke kaca, mencoba menutupi rasa senangnya dengan suara datar.
“Yaudah deh. Aku keluar dulu. Kamu tunggu di sini, kan?”
Xion mengangguk sekali. Tak berkata apa-apa.
Tiny pun keluar dari mobil, menutup pintu pelan, lalu berjalan menuju pintu masuk supermarket. Langkahnya ringan—bahkan sedikit melayang. Satu pujian kecil dari Xion cukup membuatnya lupa soal matanya yang bengkak.
Xion diam di dalam mobil. Melihat ke arah pintu supermarket. Tangannya terlipat, lalu ia menyandarkan kepala ke jok.
Beberapa menit berlalu. Dan tiba-tiba, matanya melebar sedikit. Baru ingat sesuatu.
“Bentar…” gumamnya. Ia mendudukkan diri tegak.
“Lupa ngasih duit.”
Mana harga dirinya sebagai suami?
Xion mengusap wajah pelan, frustasi pada diri sendiri. Sudah membuat istrinya menangis karena sikap diam dan dinginnya tadi… Sekarang malah nyaris membiarkan Tiny yang membayar belanja bulanan?
Itu… keterlaluan. Bukan Cuma di mata Tiny. Tapi di mata dirinya sendiri.
Ia cepat-cepat mengambil dompet dari tas kerja di jok belakang. Lalu keluar dari mobil, menutup pintu agak keras karena kesal pada dirinya sendiri.
Langkahnya mantap. Tegas.
“Jangan sampai keburu dia bayar duluan...” gumamnya, setengah kesal, setengah panik.
Pintu otomatis supermarket terbuka. AC langsung menerpa wajahnya. Tapi Xion tidak peduli. Dan ia juga tak peduli dengan kemejanya yang agak basah karena ulah istri kecil nya itu.
Matanya menyapu lorong demi lorong, mencari satu sosok mungil berkemeja pink dan rok jeans yang—entah kenapa—terlihat paling mencolok di tengah keramaian.
Lalu…
Ketemu. Di lorong snack. Tentu saja.
Tiny sedang jongkok, menimbang-nimbang dua bungkus camilan di tangan.
Wajahnya serius. Mulutnya sedikit mengerucut. “Yang ini enak, tapi yang itu lebih murah… tapi yang ini ada rasa rumput laut… tapi yang itu—”
Ia tidak sadar sedang diperhatikan.
Xion berdiri beberapa langkah di belakang. Melipat tangan, memandangi istrinya yang sedang tenggelam dalam dilema snack seolah sedang memilih saham di bursa efek.
Ia diam sebentar. Lalu melangkah pelan ke samping Tiny.
Tiny kaget. “Hah?! Bang?!”
Ia buru-buru berdiri, nyaris menjatuhkan salah satu snack.
Xion berkata pelan, “Nggak apa-apa, aku kawanin. Nanti nyasar.”
Tiny langsung memelotot sedikit. “Ih! Aku bukan bocah!”
Nada suaranya naik setengah oktaf, cerewet khas Tiny. Tangannya bahkan ikut mengepal, seolah mau menjelaskan panjang lebar soal kemandiriannya.
Xion hanya diam. Senyap. Ekspresinya datar. Tapi di balik itu… ada sedikit geli.
Karena kenyataannya... Kalau hanya melihat dari belakang, Tiny memang tampak seperti anak SMA yang nyasar ke lorong supermarket.
Xion sempat memiringkan kepala sedikit, menatap Tiny yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk tiga bungkus snack.
Penuh tangan. Tapi tetap keras kepala.
“Bukan bocah, ya…” gumam Xion dalam hati. Lalu mengangguk pelan, seolah mengiyakan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri.
Tiny mengangguk mantap, “Nah, bener. Pintar juga dosennya.”
Ia melenggang santai ke lorong berikutnya, masih memeluk snack seperti pelukan bayi ke boneka favorit.
Xion mengikuti dari belakang.
Terdapat dua keranjang belanja, satu untuk bahan makanan sehari-hari, dan satu lagi—
Tatapannya mulai menyelidik ke dalam keranjang belanja itu yang kini mulai penuh. Satu per satu isi keranjang itu... membuatnya bertanya-tanya.
Snack asin. Snack manis. Cokelat. Permen.
Mi instan dalam bentuk lucu.
Minuman kotak rasa anggur.
Dan—
Xion sempat mengernyit—
Biskuit bayi?
Ia mendekat, menunjuk bungkus berwarna pastel dengan gambar bayi tertawa.
“…Ini?” tanyanya datar.
Tiny menoleh cepat. “Oh, itu biskuit bayi.”
Xion masih menatap kemasan biskuit bayi itu.
Ia tahu betul bentuknya—pernah lihat keponakan makan itu sambil ngences, bahkan kadang dilempar ke lantai karena bosan.
Tapi sekarang… di keranjang belanja mereka? Untuk siapa?
Xion diam. Tak mengomentari apa pun. Hanya matanya yang terus mengamati.
Sampai… ia melihat satu bungkus lain yang agak tersembunyi, tertimpa oleh tumpukan mi dan tisu.
Ia angkat perlahan. Kemasan warna cokelat lembut.
Tulisan besar di pojok: “Biskuit untuk Ibu Hamil”
Alis Xion langsung bertaut. Ia memutar badannya ke arah Tiny.
“Ini untuk siapa? Ini kan buat ibu hamil. Terus kamu juga beli biskuit bayi. Kamu ngidam?”
Pertanyaannya cepat. Beruntun. Datar, tapi penuh tekanan.
Tiny langsung mengerjapkan mata beberapa kali. “Ha?! Ih, mana ada aku ngidam! Emangnya kita ada ngapa-ngapain? Enggak, kan?”
Xion terdiam. Matanya berkedip sekali. Lalu kembali menatap Tiny.
Dan entah kenapa, ia justru terdiam bukan karena malu—tapi karena heran. Tiny menyebut kata itu… dengan mudah sekali.
Ngapa-ngapain.
Kalimat itu melayang di kepala Xion seperti gemuruh dalam ruang hampa. Padahal dia yang dewasa. Dia yang laki-laki. Tapi… sekarang malah dia yang speechless.
Tiny menghela napas. “Aku tuh suka rasanya. Waktu kak Layla sama kak Alicia hamil, aku sering nyicipin biskuit mereka. Enak! Terus suka makan biskuit bayi juga, punya Aney. Terus Elvan sama Elvi suka stock banyak, aku ikutan makan juga.”
Xion masih diam.
Tiny menyikut lengannya pelan, lalu nyengir. “Jadi bukan karena aku ngidam. Tapi karena... lidah aku cocoknya lidah bayi.”
Xion menghela napas. Pelan. Lalu menaruh kembali biskuit ke dalam keranjang.
“Lidah bayi, badan mini, otak kadang random. Lengkap.”
Tiny mengangkat dagu sedikit. “Biarin.”
Sama sekali tak tersinggung dibilang lidah bayi. Justru bangga. Karena memang—ya, itu kenyataannya.