"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 20 seseorang yang datang
Pagi itu, Lita terbangun dengan perasaan campur aduk—antara gugup dan bersemangat. Hari ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di kampus, dan ia sama sekali tak ingin menodai momen penting itu dengan datang terlambat. Setelah mandi dan merapikan diri, ia memilih gaun selutut yang sederhana namun manis. Rambutnya ia kuncir setengah, dihiasi pita kecil yang membuat penampilannya tampak begitu imut dan segar.
Begitu semuanya siap, Lita menarik napas panjang, lalu melangkah keluar dari rumah. Udara pagi yang masih sejuk menyambutnya, jalanan belum terlalu ramai, dan jarak kampus yang tak begitu jauh membuatnya memilih berjalan kaki.
Di area parkiran kampus, mobil-mobil sudah berjejer rapih, memenuhi hampir setiap sudut. Lita menatap bangunan tinggi yang menjulang di depannya. Megah, jauh melampaui bayangannya selama ini.
Namun justru bukan gedung itu yang jadi pusat perhatian. Tatapan-tatapan asing mulai mengarah kepadanya. Cahaya matahari pagi menyorot wajahnya, membuat kecantikannya semakin jelas terlihat.
“Hai, boleh kenalan?” Suara riang seorang gadis berambut pendek memecah lamunannya. Senyum manisnya menular, membuat suasana tak lagi kaku.
“Boleh. Nama aku Lita,” jawab Lita, membalas jabatan tangan yang terulur.
“Cantik banget, kamu! Pasti pindahan dari luar negeri, ya?” ucap gadis itu dengan tatapan kagum.
“Enggak kok, aku asli dari desa,” sahut Lita tanpa ragu, matanya berbinar.
“Serius? Tapi mukamu kayak blasteran, lho.”
Lita tersenyum kecil. “Banyak kok yang lebih cantik daripada aku.”
“Enggak ada!” Gadis itu terkekeh ringan. “Di kampus ini, nggak ada yang bisa nyamain kecantikan kamu.”
“Ah, kamu lebay deh.” Meski merendah, hati Lita hangat. Belum sehari di sini, ia sudah menemukan sosok yang membuatnya merasa nyaman.
“Kamu fakultas apa?” tanya gadis berambut pendek itu.
“Fakultas kedokteran,” jawab Lita singkat.
“Serius? Sama dong!” Mata gadis itu berbinar girang. “Aku Devi, ya. Ayo, kita masuk. Panas banget di luar.”
Lita mengangguk, mengikuti langkah Devi. Senyum tak lepas dari wajahnya hari pertamanya di kampus ternyata dimulai dengan pertemuan yang menyenangkan.
Mereka melangkah masuk ke auditorium yang luas, bangku-bangku sudah penuh dengan mahasiswa baru. Suasana riuh berubah hening ketika suara Rektor menggema lewat pengeras suara. Semua mata tertuju ke panggung, mendengarkan sambutan panjang tentang perjalanan mereka yang baru dimulai di kampus itu.
Beberapa jam kemudian, setelah pidato dan arahan usai, para mahasiswa baru akhirnya diperbolehkan keluar. Tugas berikutnya langsung diumumkan: mencari tanda tangan kakak tingkat, minimal sepuluh orang, dengan syarat—namanya harus sama.
Lita dan Devi saling pandang, lalu serempak berlari menuju lantai empat. Nafas mereka terengah, namun semangat masih penuh.
“Kita cari nama Putra, katanya gampang ditemuin,” ujar Devi cepat.
Tak lama kemudian, Lita menghampiri seorang senior tinggi dengan wajah serius.
“Permisi, Kak. Nama kakak siapa, ya?” tanyanya sopan.
“Putra,” jawabnya singkat, matanya menyapu Lita dari ujung kepala hingga kaki.
Lita tersenyum lega. “Kebetulan banget. Boleh minta tanda tangan, Kak, buat tugas ospek?”
Putra menatapnya lebih lama, lalu tersenyum miring. “Boleh… tapi kasih nomor WA kamu dulu.” Suaranya terdengar setengah bercanda, setengah menggoda.
Lita tertegun sejenak, lalu menggeleng halus. “Maaf, Kak, itu pribadi.”
Wajah Putra berubah. Nada suaranya merendah, seakan menakut-nakuti. “Di dunia ini nggak ada yang gratis. Kamu mau dihukum di hari pertama, hah?”
Hati Lita mencelos, ragu menelannya. Demi menyelesaikan tugas ospek, ia akhirnya menghela napas. “Baiklah, Kak.”
Putra dengan cepat menyodorkan ponselnya. Lita mengetikkan nomornya dengan tangan gemetar, lalu segera menyodorkan bukunya. “Sudah ya, Kak. Tolong tanda tangan di sini.”
Putra mencoret kertas dengan santai, sembari berucap pelan, “Makasih, manis.”
Tanpa menoleh lagi, Lita buru-buru pergi. Langkahnya cepat, dadanya masih terasa sesak. Ia menemukan Devi yang sudah menunggunya di ujung koridor.
“Kamu udah dapet?” tanya Devi penasaran.
“Udah. Tapi… tadi ada kating yang modus. Dia minta nomor WA dulu, terpaksa aku kasih.” Lita berusaha terdengar tenang, meski wajahnya masih menyimpan kegelisahan.
Devi langsung berdiri kaku, matanya menyipit. “Mana orangnya? Berani-beraninya cari kesempatan kayak gitu!”
Lita menggeleng cepat, meraih tangan Devi agar tetap duduk. “Udah, nggak apa-apa. Nomornya nanti bisa aku blok.”
“Tapi dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” tanya Devi, suaranya penuh kekhawatiran.
“Enggak kok.” Lita tersenyum kecil, berusaha menenangkan sahabatnya. Hatinya hangat melihat Devi begitu peduli,
“Nanti kalau ada yang gangguin kamu lagi, bilang sama aku,” ucap Devi sambil menggenggam tangan Lita, menuntunnya kembali ke lapangan.
“Apa sudah dapat semuanya?” suara lantang Kak Gista, senior kampus itu, terdengar jelas.
“Udah, Kak!” jawab mereka serempak.
“Kerja bagus. Tapi ingat, jangan sampai ada yang kecentilan sama senior di sini. Mengerti?” tatapannya tajam, penuh wibawa.
“Iya, Kak. Kami mengerti,” jawab mereka bersamaan.
“Sekarang taruh tas kalian di bawah, lalu pergi ke kelompok masing-masing,” lanjut Kak Gista.
Lita, Devi, dan kelompoknya pun mencari tempat yang agak teduh, berusaha menghindari panas terik.
“Kalian enak-enakan neduh di sini, sementara yang lain kepanasan di lapangan!” bentak Gina, tangan kanan Gista, dengan nada sok berkuasa.
“Tapi Kak… yang lain juga banyak yang neduh,” jawab Devi mencoba tenang.
“Kamu ini anak baru kok berani bantah?!” balas Gina, matanya menyipit penuh amarah.
“Udah, kita nurut aja,” bisik Lita, menenangkan.
Namun langkah mereka terhenti ketika Gina kembali menuding. “Eh, bukannya kamu tadi pagi jadi sorotan?!”
“Maaf, Kak, saya nggak tau,” jawab Lita sopan, menunduk.
“Besok-besok jangan sok caper deh. Merasa paling cantik di sini, ya?” sindir Gina dengan senyum meremehkan.
“Iya, Kak. Saya minta maaf,” ucap Lita pelan.
“Maaf, Kak, tapi teman saya nggak caper. Dia malah risih ditatap begitu,” Devi akhirnya angkat bicara, berusaha membela.
“Baru sehari di sini sudah berani melawan senior?!” bentak Gina, membuat semua orang menoleh.
“Sini kalian berdua!” perintah Gina, menyeret mereka ke tengah lapangan yang terik.
Tanpa ampun, mereka dipaksa memegang papan bertuliskan: ‘Saya mengaku salah karena sudah kecentilan di kampus ini’. Padahal mereka hanya ingin membela diri. Semua jelas-jelas hanya karena Gina merasa tersaingi.
Devi hampir kehilangan kesabaran, tangannya terangkat hendak menjambak rambut Gina, namun segera dicegah oleh Lita yang berbisik, “Jangan, Dev…”
“Ada apa ini?!” suara tegas Gista tiba-tiba terdengar, ia datang bersama para senior lainnya.
“Nih, mereka berdua calon penggoda kampus. Baru masuk aja udah berani menggoda senior!” lapor Gina penuh drama.
“Kalau gitu, jemur aja mereka sampai pulang!” ucap Gista dingin.
“Bener tuh! Biar kapok!” tambah para pengikutnya.
Dan begitu saja, Lita dan Devi dijemur di bawah matahari sampai sore.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5. Saat semua mahasiswa akhirnya pulang, Lita dan Devi bisa bernapas lega meski tubuh mereka terasa lemas dan perih.
“Aku anterin kamu pulang, ya? Kamu pasti capek banget,” ucap Devi lembut.
“Enggak usah, Dev. Rumahku deket, aku jalan kaki aja,” jawab Lita lemah.
“Sekalian, toh kita searah. Aku nggak mau denger penolakan,” kata Devi, setengah memaksa.
Akhirnya Lita menurut, dan mereka pun masuk ke mobil.
“Ini rumah kamu?” tanya Devi.
“Iya. Makasih udah nganterin,” jawab Lita dengan senyum tipis.
“Iya, santai aja,” balas Devi sambil tersenyum, lalu berpamitan.
Lita mengangguk. Setelah itu, ia merogoh tas mencari kunci, lalu membuka pintu rumahnya.
Begitu pintu terbuka, darahnya serasa berhenti mengalir.
Di ruang tamu, duduk seorang pria dengan kaki bersilang di sofa. Tatapannya tajam, senyumannya menyeramkan, seolah sudah menunggunya sejak lama.
“Roni…” bisik Lita, suaranya tercekat, tubuhnya membeku di ambang pintu.