Aku mengingat semua kehidupanku, tapi yang pasti aku tidak ingat kehidupan pertamaku, dan firasatku aku buka mahkluk bumi ini, siapa aku?
Lagi lagi aku menjadi seperti ini, terjebak di putaran dunia. kehidupan ku yang ke 1002
Besok ngapain ya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuuuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Belajar!
Harmes sudah pergi dari pagi hari, tanpa ia ketahui lilac sudah memantaunya dari tadi bahkan sebelum ia pergi.
Dinginnya pagi hari membuat lilac terus berada di kamar hingga siang hari
"Ayolahhh, ayooooo" Luca berusaha menarik lilac untuk pergi keluar
"Tidak, aku tidak mau" Lilac terus memegang selimutnya erat
"Liii" Luca memanggil saudara kembarnya
"Hadehh, biarkan saja luca. Dia lelah menghadapi tamu kemarin" Ucap li menarik luca
"Ishhh, tapi... Kita harus belajar, aku akan mengajari adik" Luca mengerutkan bibirnya kebawah
"Baiklahh baiklahhh" Aku beranjak dari kasur dan mengambil beberapa buku
"Ayoo, ayoo ikuti akuu" Luca menarik ujung baju lilac dan pergi ke perpustakaan. Li menatap saudara saudaranya dengan senyum bangga.
Sesampainya di perpustakaan, Cora sudah berada disana dengan beberapa buku yang melayang
"Lilac!! Eheheh, lihat!! Aku menemukan diary milik ibu"
“Diary Ibu?” Aku menerima buku
“Iya! Kau harus membaca ini. Ini… tentang cinta Ibu pada Ayah. Aku tak percaya Ibu menuliskan semua ini dengan begitu indah.” Cora mengangguk semangat!
Cora dan lilac membuka halaman pertama, membacakan potongan kalimat yang seolah masih mengandung kehangatan masa lalu:
"Hari ini aku melihatnya lagi—pangeran kedua, Alexsander Lystuad Rajeev. Matanya memancarkan warna keemasan seperti matahari terbenam. Ah, bagaimana mungkin seorang pangeran memandang seorang wanita biasa sepertiku?"
"Aku tak sengaja menabraknya di taman istana. Saat ia menatapku, jantungku terasa berhenti berdetak. Tangannya hangat ketika menolongku berdiri. Aku bodoh sekali karena hanya bisa terdiam seperti batu."
"Alexsander memberiku bunga hari ini. Ia bilang bunga ini mekar hanya di malam purnama, sama seperti hatinya yang diam-diam mekar untukku. Aku… tak tahu harus menulis apa lagi. Apakah aku pantas merasakan ini?"
"Kami berbicara di tepi danau. Ia menceritakan impiannya—bukan tentang tahta, bukan tentang perang, tapi tentang kebebasan. Ia ingin menjadi pria biasa yang bisa tertawa bebas, jauh dari beban istana. Dan untuk pertama kalinya… aku ingin menjadi bagian dari mimpi itu."
"Hari ini ia menggenggam tanganku. Tidak ada kata-kata yang terucap, tapi aku tahu… aku sudah jatuh terlalu dalam."
Lilac memandang halaman-halaman diary itu dengan tatapan lembut, seakan membayangkan kembali masa muda ibunya.
“Jadi… Ibu benar-benar mencintai Ayah dari dulu?” gumam Lilac.
“Iya,” Cora tersenyum,
“dan lihat ini…” Ia menunjukkan halaman terakhir yang terbuka:
"Jika takdir memisahkan kami, aku ingin dunia tahu bahwa Alexsander Lystuad Rajeev adalah rumahku, satu-satunya tempat hatiku berlabuh."
"AWWWWWW" Ucap lilac dan Cora bersamaan
Akhirnya mereka berakhir pada halaman terakhir
"Hari ini, Ly berkata padaku… ‘Jika takdir memberiku pilihan antara mahkota dan dirimu, aku akan meletakkan mahkota itu tanpa ragu. Apa gunanya dunia jika tidak ada kau di sisiku?’"
"Ia memandangku dengan mata yang tak pernah berbohong. ‘Aku tidak tahu apakah aku pantas untukmu,’ katanya, ‘tapi aku tahu, dunia ini terasa lebih indah setiap kali aku mendengar suaramu.’"
"Sebelum pergi berlatih, ia menatapku sambil tersenyum lembut. ‘Aku ingin menjadi tempat pulang mu, seperti kau yang selalu menjadi tenang ku.’ Ah… hatiku bergetar mendengarnya."
"Ketika aku khawatir tentang masa depan, Ly menggenggam tanganku dan berbisik, ‘Selama aku hidup, aku akan pastikan tak ada air mata yang jatuh di wajahmu, kecuali karena tawa.’ Kata-katanya… selalu menenangkan."
"Lembaran ini seakan ibu sudah lebih dekat dengan Ayah, diawal ibu bilang Alexsander dan sekarang memanggilnya 'Ly'" Ucapku terharu
"Iyaa, aku juga mau punya suami yang baik seperti ayah" Ucap cora
"A-aku juga mau" Ucap Luca
"Luca? Kamu suka sesama pria?" Cora kaget
"T-tidak! Maksudku istri seperti ibuu!!" Ucapnya panik
"Hahahah, mari kita baca hal lain"
.
.
.
.
.
.
Perpustakaan terasa lengang, hanya ada suara kertas dibalik dan gumaman Luca yang berusaha menghafal. Li duduk di depannya, mencatat dengan rapi.
“Luca, jangan asal mengucapkan mantra, ini bukan resep roti,” ucap Li tanpa menatap.
“Resep roti justru lebih mudah! Kalau salah ucap, paling roti bantat, bukan ledakan,” protes Luca, memiringkan kursinya.
Sementara itu, di dapur, Lilac sedang memotong sayuran dengan teliti, aroma kaldu hangat menguar di udara.
“Cora, tolong awasi api, jangan sampai terlalu besar.”
“Siap, Koki tertinggi!!” sahut Cora sambil mengayunkan sendok kayu dengan gaya seperti tongkat sihir.
“Aku lebih suka dapur daripada belajar rune. Setidaknya, kalau salah bumbu, kita tinggal tambah garam.”
Lilac tersenyum kecil. “Kau bilang begitu karena kemarin Luca hampir membakar meja dengan mantra anehnya, kan?”
“Ya jelas! Kalau dapur kebakaran, kita tinggal panggil Li. Dia lebih jago memadamkan api daripada Luca membaca buku,” kata Cora sambil tertawa kecil.
Lilac menoleh, ikut tersenyum. “Tapi jangan bilang ke mereka. Kita harus tetap puji semangatnya Luca.”
Beberapa saat kemudian, aroma makanan memenuhi rumah. Luca dan Li masuk ke dapur, terlihat letih tapi puas.
“Waaah, sudah selesai masak?” Luca langsung mendekati panci.
“Cuci tangan dulu,” tegur Lilac. “Kalian belajar apa saja?”
Li menjawab, “Baris ketiga sudah lancar, tapi Luca… ya, dia perlu latihan ekstra.”
“Aku lapar, bukan butuh pelajaran tambahan,” rengek Luca sambil mencuri potongan roti, membuat semua orang tertawa.
Pelayan melihat dari balik pintu, mereka mengawasi mereka dengan baik
"Mengapa lady yang memasak?" Ucap kepala pelayan tiba tiba datang dengan wajah menakutkannya
"Lady mengusir kami" Ucap mereka memelas
"hadehh" Kepala pelayan memijat pelipisnya
Meja makan dipenuhi aroma sup hangat buatan Lilac dan roti panggang yang renyah. Namun, suasana bukannya santai. Beberapa buku tebal melayang di udara, membuka halaman dengan sendirinya.
“Luca, jangan cuma makan! Baca halaman ketiga itu,” perintah Lilac sambil menunjuk buku yang melayang tepat di depan adiknya.
“Eh, tapi aku lapar…” Luca mengunyah pelan, matanya setengah pasrah menatap huruf-huruf di buku.
"keknya tadi aku yang mau mengajari lilac? Mengapa aku yang belajar? Apa aku ada hal yang ku lewatkan? Hah?"
Cora tersenyum jahil, menggoyang sendoknya seperti tongkat sihir. Buku di depan Luca berputar satu kali di udara, membuatnya semakin pusing.
“Hahaha, fokus dong, ksatria masa depan!”
Li duduk paling tenang di ujung meja, dengan dua buku melayang di kanan-kiri, seolah pengawal. “Aku sudah hafal baris kedua,” katanya kalem sambil memotong roti.
Lilac hanya menghela napas. “Bagus. Luca, kalau kau tidak mau membaca, setidaknya dengarkan. Aku tidak mau pelajaran hari ini kacau hanya karena kau malas.”
“Aku bukan malas, tapi ini tidak adil. Siapa bisa belajar kalau ada makanan enak di depan mata?” protes Luca.
“Lihat aku,” Li mengangkat alis. “Aku bisa.”
Saudara lainnya menahan tawa dan fokus dengan buku
"IHHH, kenapa bahu kalian bergetar!" Luca menatap cora kesal
disisi lain
"Tuan li yang tidak suka sihir tiba tiba bisa menerima sihir disekitarnya?" Kepala pelayan pusing
"Tanpa Tuan Archduke dan Nyonya Archduchess, mereka makan sambil belajar gitu"
"Iya, itu kesempatan sih. Mereka juga besok setelah Debutante akan masuk Academy, kita harus mendukung mereka!!" Ucap Kepala pelayan berapi api
"G-gak salah sih..."