Salma seorang wanita karir di bidang entertainment, harus rela meninggalkan dunia karirnya untuk mejadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya.
Menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak kembar sangat tidak mudah baginya yang belum terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Salma harus menghadapi tuntutan suami yang menginginkan figur istri sempurna seperti sang Ibunda.
Saat Salma masih terus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik,ia harus menghadapi sahabatnya yang juga menginginkan posisinya sebagai istri Armand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aveeiiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah baru
"Kamu yakin sudah cari yang benar, Mand?" tanya Ibunya tak percaya.
"Sudah, Bu. Aku tanya sama tetangga kanan dan kiri, mereka bilang sudah seminggu ini rumah si Bimo itu kosong." Armand mengebulkan asap rokoknya ke langit-langit rumah.
Entah sudah berapa batang rokok ia habiskan sehari ini. Mencari keberadaan mantan istri dan kedua anak kembarnya, membuat kepalanya semakin pening. Ia tidak seberapa peduli dengan si kembar, ia hanya ingin Salma ada dalam jangkauannya. Ia baru merasa istri barunya itu sama sekali tidak bisa menggantikan Salma dihidupnya.
"Kemana ya?" Ibu Armand juga ikut gusar dengan hilangnya Salma.
Walaupun terkadang kesal dengan Salma, tapi mantan istri putranya itu masih jauh lebih baik dari pada Tania. Sahabat Salma yang menjadi istri dari putranya itu sangat sombong, karena merasa memegang sumber keuangan. Ia merasa seperti mengemis hanya untuk meminta uang arisan dan biaya pengeluaran sehari-hari. Beda dengan Salma yang selalu patuh dengan apa yang dikatakannya. Memberi uang pun tanpa banyak tanya untuk keperluan apa.
"Ibu jadi curiga dengan laki-laki yang datang tempo hari, coba kamu tanyakan sama dia."
"Pak Iwan? Sudah, dia bilang ga tahu. Apa mungkin mereka berlibur?" Armand bertanya pada dirinya sendiri.
"Bisa jadi sih, Mand. Kalau begitu, pasti si Salma sedang banyak uang. Kalau mengandalkan kakaknya si Bimo dan istrinya itu, ga bakal mungkin mereka bisa berlibur selama ini." Ibu Armand mencibirkan bibirnya. Armand menganggukan kepalanya, ia setuju dengan apa yang diutarakan ibunya.
"Mas, merokok di luar aja. Ini area bersih untuk menyiapkan makanan. Lagi pula aku sedang hamil, ga baik hirup asap rokok," ujar Tania yang muncul dari balik pintu dapur.
"Berisik sekali sih kamu! sudah kamu lakukan ga, yang aku suruh tadi malam?"
"Ga bisa! Salma sudah blokir semua nomerku," sahut Tania sewot. Semalam Armand memintanya untuk menghubungi Salma dan menanyakan di mana sekarang posisi sahabatnya itu.
"Perempuan ga ada guna." Armand menggerutu kesal.
"Apa kamu bilang, Mas? Aku ga ada guna? Siapa yang menghasilkan uang di rumah ini, aku atau kamu? Apa kerjamu selain tidur, makan, merokok dan main game?" Tania berjalan mendekati Armand dengan perutnya yang sudah membuncit.
"Hahaha, aku hanya bercanda, Sayang. Kamu sejak hamil kenapa jadi suka ngambek, buat Mas tambah gemas." Armand berdiri dari duduknya lalu memeluk dan berusaha membujuk istrinya.
Armand sadar bahwa kelangsungan hidup dirinya dan Ibunya ada di tangan istri barunya. Apa yang dikatakan Tania semua adalah benar, jadi jangan sampai istrinya itu marah dan menggugat cerai dirinya seperti yang dilakukan Salma.
Ibu Armand mencibir saat putra tunggalnya itu menggiring istrinya masuk ke dalam kamar. Sudah jelas apa yang akan mereka lakukan. Tania yang menaruh hati pada anaknya sejak masih menjadi suami Salma, seolah buta jika Armand hanya memanfaatkan dompet dan tubuhnya saja.
Begitu anaknya dan Tania masuk ke dalam kamar, Ibu Armand bergegas masuk ke dalam dapur. Dengan cekatan tangan tuanya mengambil rantang dan memasukan beberapa jenis lauk ke dalamnya.
"Bu, itu mau dikirim," ujar Siti, salah satu karyawan yang membantu Tania untuk usaha kateringnya.
"Sstt, diam aja kamu. Saya cuman ambil sedikit aja, lagian apa susahnya sih kamu masak lagi," cetus Ibu Armand sewot.
Bukan hanya sekali ini Ibu mertua bosnya meraup lauk yang sedang ia persiapkan untuk dikirim ke pelanggan. Kalau hanya sedikit mungkin tidak ada masalah, tapi ibu mertua Tania itu mengambil untuk jatah lebih dari lima orang. Ibu Armand suka mengundang kawan-kawannya makan di rumah dan memamerkan menantunya yang punya usaha katering.
"Saya pulang dulu, ingat seperti biasa ga usah kamu bilang saya ambil banyak makanan. Masih banyak waktu kamu masak lagi, ga usah malas kalau ga mau dipecat," cetus Ibu Armand sembari menyusun kotak demi kotak ke dalam tas besarnya.
Sementara itu di sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana, Salma bersama keluarganya sedang menikmati pagi hari yang sibuk di Ibu kota.
Baru beberapa hari mereka sampai di Jakarta, tapi Salma sengaja tidak memberitahukan pada Pak Iwan ataupun Angkasa perihal kepindahannya ke Ibu kota. Ia tidak mau menjadi beban untuk orang lain, biarlah apa yang menjadi keputusannya akan ia pertanggungjawabkan sendiri.
"Kapan kamu kerja, Salma?" tanya Bimo curiga. Sudah lebih dari tiga hari mereka di Jakarta, tapi adiknya itu belum ada tanda-tanda punya aktifitas selain di dalam rumah.
"Aku masih mempelajari rute angkutan umum, Bang. Lamaran juga sudah aku masukan sebelum kita berangkat kemari jadi tinggal tunggu panggilan aja," jelas Salma. Sebenarnya yang terjadi ia sedang mengatur kata untuk bertanya pada kawannya yang di Jakarta, apakah ada yang bisa ia kerjakan di kota besar ini.
"Kalau kamu terlalu lama menganggur, bisa habis uang tabunganmu," lanjut Bimo.
"Abang jangan khawatir, aku yakin sebentar lagi pasti ada jawaban," ujar Salma sembari berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Kalau mau balik duluan juga ga apa-apa, Mas. Kami bakal baik-baik aja di sini, lingkungannya juga ramah," timpal Tia.
"Kamu mau usir aku?"
"Astagaaa, kenapa jadi suka ngambek gini si Bapak?" Tia mencubit pinggang suaminya. Salma tersenyum memperhatikan Bimo dan istrinya bersenda gurau. Ia menarik nafas panjang ketika kenangan manis bersama Armand melintas di benaknya.
Tidak bisa berlama-lama seperti ini, Mba Tia dan Abang punya kehidupan mereka sendiri. Aku harus mandiri. Batin Salma. Ia segera mengirim pesan singkat pada Bian dan Jeni.
"Aku di Jakarta, ingin bertemu kalian. Kangen." Seuntai kalimat ia kirimkan kepada dua kawan barunya.
Sebenarnya ia merasa malu, selain belum terlalu akrab ia juga tidak ingin merepotkan orang lain. Namun benar apa yang Bimo katakan, jika ia tidak cepat mencari pekerjaan tabungannya akan segera habis untuk biaya di kota metropolitan ini.
Tanpa disangka kedua teman baru Salma langsung memberikan respon baik dari pesan yang ia kirimkan. Bahkan Bian langsung meneleponnya saat itu juga.
"Halo?"
"Salmaaa, kamu di mana sekarang? Menghilang gitu aja seperti hantu, ga kasih kabar apa-apa. Dasar sombong!" Bian membesarkan matanya begitu Salma menjawab panggilan videonya.
"Maaf," ucap Salma sembari tersenyum. Ia bingung akan berkata apa lagi. Gaya hidup dan cara berbicara temannya yang tinggal di kota besar sangatlah berbeda.
"Eh, itu siapa?" Bian terpekik senang saat kepala kecil milik Cakra menyembul ingin bergabung.
"Ini Cakra, yang itu Candra. Bilang halo tante Bian." Salma melambaikan tangan kecil Cakra di kamera.
"Iih, kok tante sih. Fix, besok kita harus ketemu!"
...❤️🤍...
Mampir ke karya temanku ya