Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayap Yang Dipatahkan
Malam itu sunyi. Langit menggantungkan bintang-bintang pucat di antara gelap yang lembab. Angin puncak berhembus pelan membelai rambut panjang Althea yang terurai bebas. Ia berdiri di balkon kamar pribadinya di mansion milik Aleron Rafael Moonstone—rumah yang kini ia tinggali bersama putra kecilnya, Abercio Nathaniel Moonstone dan lelaki yang perlahan mengisi hatinya kembali.
Namun malam ini, tak ada senyum di wajah Thea. Matanya kosong menatap jauh ke arah hamparan pepohonan dan lampu kota di kejauhan. Ia seperti membeku dalam kesunyian. Hatinya tenggelam, jatuh ke lubuk masa lalu yang berusaha terus ia kubur, namun malam seakan tak membiarkannya lupa.
Kenangan itu datang lagi. Kenangan saat keluarganya sendiri mematahkan sayapnya.
Dulu, semua orang melihat Althea Reycecilia Rosewood sebagai gadis sempurna dari keluarga kaya ternama. Anak perempuan dari Antonio Rosewood dan Dayana Rosewood, cucu dari Petrus Rosewood dan Lana Rosewood, darah biru penuh reputasi. Banyak yang iri—berkata hidupnya pasti mudah, bahagia, tanpa cela.
Padahal hanya Thea yang tahu seperti apa rasanya tumbuh dalam rumah besar yang dingin. Sejak kecil, ia harus sempurna. Harus selalu jadi yang terbaik. Harus tahu diri dan tidak banyak bicara. Kesalahan kecil menjadi bahan amarah, sedangkan pencapaian besar dianggap hal yang memang sudah seharusnya ia lakukan. Dari luar, semua tampak sempurna, mansion besar, prestasi akademik, prestise nama keluarga, dan segala standar tinggi yang dibanggakan. Tapi bagi Thea, itu bukan rumah. Itu penjara sunyi yang memaksanya tumbuh lebih cepat dari usia seharusnya. Sejak usia dini, Thea sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat seperti,
"Kenapa kamu tidak bisa?"
"Baju kamu terlalu simpel untuk anak keluarga Rosewood."
"Jangan banyak alasan, Thea."
"Kamu harus kuat. Kita keluarga besar. Tidak ada waktu untuk lemah."
Dan kalimat yang paling membekas, dari ibunya sendiri,
"Kalau kamu tidak bisa seperti yang kami harapkan, lebih baik kamu jangan pulang dulu."
Mommy dan daddynya selalu sibuk dengan kariernya. Waktu-waktu makan malam keluarga yang seharusnya penuh tawa, lebih sering sunyi, atau dipenuhi percakapan kaku, formal, bahkan keributan sering terjadi.
Galen, kakak kandungnya, yang lima tahun lebih tua, adalah representasi ekspektasi orang tua. Sukses, disiplin, dan nyaris sempurna di mata keluarga. Tapi tak banyak yang tahu, hubungan Thea dan Galen sebenarnya dipenuhi jarak yang tumbuh karena tekanan yang sama. Galen tak pernah benar-benar membela Thea. Ia lebih sering diam atau justru ikut menyalahkan.
Ketika Thea jatuh, tidak ada pelukan. Ketika Thea takut, tidak ada tangan yang menggenggam. Ketika Thea ingin bicara, yang ia dengar adalah,
“Kamu terlalu sensitif.”
“Masalah sepele saja dibesar-besarkan.”
“Kamu itu keras kepala, selalu mau menang sendiri.”
Semua yang dilakukan Thea selalu terasa salah. Tidak ada yang benar-benar mau mendengar prosesnya. Tidak ada yang benar-benar peduli betapa keras ia mencoba.
Yang mereka inginkan hanya satu: hasil. Pencapaian. Gelar. Nama baik. Semua harus sempurna.
Bahkan ketika ia menolak untuk mengambil jurusan bisnis seperti yang diinginkan ibunya, dan memilih desain perhiasan, ia dianggap pembangkang. Thea mengingat betapa cintanya pada dunia seni dan desain perhiasan justru dianggap angan-angan kekanakkan. Ia ingin membuat sesuatu yang indah, sesuatu yang punya makna… tapi semua orang memaksanya masuk jurusan bisnis agar bisa terjun ke perusahaan keluarga. Ia menolak.
Menjadi desainer perhiasan adalah impian Althea Reycecilia Rosewood sejak kecil. Bukan karena glamornya dunia fashion, bukan pula karena kemewahan berlian. Tapi karena sejak usia 8 tahun, Thea kecil pernah menghabiskan waktu seharian bersama opanya, Petrus Rosewood, di ruang kerja tua berisi koleksi jam tangan dan cincin-cincin antik milik oma.
Kala itu, opa memperlihatkan cincin warisan oma yang patah cangkangnya. Dengan mata berbinar, opa bercerita bagaimana cincin itu dibuat khusus, setiap ukirannya menyimpan makna cinta, kekuatan, dan harapan.
“Benda kecil ini bisa menyimpan banyak cerita, Thea. Lebih dari sekadar hiasan.”
“Opa, The juga ingin membuatnya. Tapi bukan cuma untuk hiasan, tapi untuk kenangan,” ucap Thea kecil dengan polos.
Sejak hari itu, Thea tak pernah melepaskan mimpi itu. Ia mulai mencorat-coret desain cincin, kalung, dan bros di buku gambarnya. Saat teman-temannya sibuk dengan boneka atau gawai, Thea justru sibuk menggunting kertas, meronce manik-manik, dan membuat prototipe kalung dari benang dan kawat bekas.
Namun, ketika ia menyatakan ingin mengambil jurusan Desain Perhiasan untuk kuliah, respon keluarga—terutama mommynya, Dayana—adalah penolakan tegas.
“Kamu pikir hidup ini bisa dijalani dengan menggambar-gambar perhiasan? Itu cuma hobi, bukan karier.”
“Ambil saja bisnis, nanti kamu bisa lanjut mengelola usaha keluarga. Atau kerja di kantor besar. Desain? Tidak realistis, Thea.”
Galen, kakaknya, hanya terdiam, seolah tak berani membela. Sedangkan sang ayah, Antonio, hanya berkata pendek, “Ikuti yang terbaik untuk masa depanmu.”
Tekanan dari keluarga membuat Thea sering kali menangis diam-diam di balik pintu kamar, membekap suara agar tak terdengar. Ia belajar mencintai kesendirian bukan karena ia nyaman, tapi karena itu satu-satunya tempat ia bisa menjadi diri sendiri tanpa penilaian.
Thea akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang kuat di luar, tapi penuh luka yang terbungkus rapi di dalam. Ia belajar bahwa satu-satunya cara agar tak disakiti adalah dengan tidak menunjukkan kelemahan.
Ia berjuang sendiri, diam-diam ikut seleksi beasiswa desain di universitas ternama dalam negeri, dengan portofolio yang ia susun sendiri sejak SMA. Doa dan nekat menjadi kekuatan utamanya. Lolos. Ia kuliah sambil bekerja—freelance desain, jual karya, jadi asisten dosen. Tidak minta uang sepeser pun. Tak ada yang bangga. Tak ada ucapan selamat.
Kaget dan marah, keluarganya awalnya menolak memberikan restu, tapi Thea tetap pergi. Ia berkata, “Kalau kalian tidak bisa mendukungku, setidaknya biarkan aku berjuang sendiri.”
Dan benar, sejak kuliah, Thea membiayai hidupnya sendiri. Ia mengambil berbagai freelance—dari ilustrasi desain, proyek perhiasan custom, hingga menjadi asisten desainer senior. Ia belajar dari bawah, dari mendesain bros kecil hingga akhirnya diminta membuat prototype untuk pameran kampus.
Setelah menyelesaikan S1-nya dengan prestasi gemilang, Thea mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan S2-nya di London, jurusan Desain Luxury Jewelry. Di sana, dunia mulai mengenalnya. Desainnya mulai dilirik di pameran kecil, ia mulai bekerja part-time di butik-butik mewah Eropa, dan portfolio-nya berkembang pesat. Hidupnya penuh perjuangan diam-diam. Bertahun-tahun menahan rindu dan kecewa. Hanya bisa membaca surat dari mendiang opanya, Petrus Rosewood, satu-satunya yang dulu melihat Thea dengan mata penuh kasih, yang pernah berkata, "Buatlah sesuatu yang bisa jadi warisan hatimu, bukan sekadar hartamu."
Tapi tetap, saat ia pulang ke Indonesia, tidak ada sambutan, tidak ada pelukan hangat.
Yang ia dengar hanya:
“Oh, akhirnya pulang juga? Jadi kamu tetap tidak mau ambil alih bisnis keluarga?”
“Kalau kamu gagal di dunia perhiasan itu, jangan salahkan siapa-siapa ya, Thea.”
Namun bagi Thea, keberhasilan bukan soal pengakuan mereka. Ia bersyukur atas jalan yang ia pilih, walau penuh luka dan air mata. Karena itu jalannya. Bukan pilihan orang lain.
Dan kini, saat ia menjadi kepala desainer proyek Phoenix di MS Corporation, saat karyanya dipajang dan diperebutkan kolektor, saat ia mendampingi Baby Cio—anak yang begitu ia cintai—Thea tahu, bahwa seluruh luka masa lalu, seluruh tekanan dari keluarganya, telah mengukir dirinya menjadi kuat, berani, dan berdiri tegak atas pilihannya sendiri.
Malam itu, air mata Thea menetes tanpa suara. Tangannya menggenggam pagar balkon erat.
Banyak yang iri pada hidupnya, tapi tak ada yang tahu bahwa hidup yang mereka anggap sempurna itu justru telah dipatahkan sayapnya sejak dini. Dan malam ini, ia hanya ingin diam. Menghela napas dalam-dalam. Sampai sebuah suara pelan terdengar dari balik pintu yang terbuka sedikit.
“Thea…” suara Aleron lembut, nyaris berbisik.
Thea tak menjawab. Ia tahu itu Al. Tapi ia belum bisa berbicara.
Langkah kaki Al mendekat, lalu berhenti tepat di sampingnya.
Tanpa sepatah kata, Al menyampirkan selimut rajut hangat di bahu Thea, lalu memeluknya dari samping. Tak mencoba menyela pikirannya. Hanya menemaninya diam-diam. Malam itu, Thea tidak sendiri lagi. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, luka di hatinya terasa… sedikit lebih ringan.
♾️
Malam itu angin berhembus lembut, menggoyang pelan tirai balkon yang terbuka. Langit hari ini cerah bertabur bintang, seolah turut menjadi saksi dua jiwa yang sedang mencoba menyembuhkan luka lama. Di balkon kamar pribadi Thea di mansion milik Aleron, keduanya duduk berdampingan dalam keheningan yang panjang namun tidak canggung.
Thea memeluk lututnya, mengenakan selimut rajut hangat yang sempat disampirkan Al sebelumnya. Aleron duduk di sampingnya, mengenakan hoodie hitam, satu tangan memegang secangkir teh yang mulai kehilangan hangatnya. Baby Cio telah lama terlelap di dalam, dijaga oleh kamera pemantau bayi dan nanny yang siap siaga. Namun malam ini bukan tentang bayi mungil mereka. Ini tentang dua orang dewasa yang sedang berusaha menutup luka lama.
“Hey, Al…” suara Thea pelan, nyaris hilang terbawa angin. Aleron menoleh, memberi perhatian penuh meski tak menjawab.
“Bolehkah aku… iri pada kehidupanmu, Stella, dan Enne?” tanya Thea, pandangannya tetap lurus ke depan, menatap langit gelap. Senyum kecil namun getir tersungging di bibirnya.
Al menatap wajahnya yang temaram dalam cahaya lampu gantung balkon. Ia tak bicara. Ia tahu ini bukan waktunya menyela. Ia tahu kemana arah ucapan Thea mengalir.
“Kalian punya keluarga yang… hangat. Yang saling mendukung, saling menjaga, saling berbagi dan mendengar satu sama lain. Kalian tumbuh dengan cinta yang begitu nyata. Hangat”
Thea menarik napas dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
“Aku iri sama Stella dan Enne, mereka punya daddy yang menganggap mereka 'putri kecilnya', mommy yang menemani setiap langkah cerita kehidupan mereka, dan… kakak laki-laki yang selalu menjadi garda depan bagi mereka dalam hal apapun.”
Suaranya mulai bergetar. “Kamu hebat, Al.”
Aleron masih diam. Ia tahu Thea hanya ingin didengarkan malam ini.
“Kamu tahu Al? Kamuadalah kakak yang hebat. Kamu berhasil jadi panutan buat Stella dan Enne, kamu berhasil menjawab ekspektasi keluargamu. Kamu berhasil menjadi seorang putra pertama, seorang kakak, bahkan sekarang berhasil menjadi seorang ayah. Perjuangan dan pengorbananmu… dihargai, diapresiasi. Dan ingat… kamu nggak pernah sendiri.”
Aleron menatap dalam-dalam perempuan di sampingnya. Ucapan itu membuat hatinya bergetar. Thea tahu betul berat langkah yang ia ambil selama ini. Ia mengangguk perlahan.
Lalu dengan suara tenang, ia membuka mulutnya, “Thea… yang kamu katakan semuanya benar.”
“Tapi aku juga iri padamu.” Thea menoleh padanya dengan pandangan bertanya 'apa yang bisa membuat orang iri dalam kehidupannya' .
“Kamu berani tegas mengambil langkah. Berdiri di kakimu sendiri dengan pilihanmu. Tanpa bayang-bayang siapapun. Menerjang dan melindungi semuanya sendiri. Kamu membuktikan dirimu sendiri. Kamu bisa menampar semua orang yang dulu ngeremehin kamu… dengan pencapaianmu sekarang.”
Thea terdiam. Tak ada yang bisa ia ucapkan.
“Stella dan Jovi, kamu tahu mereka sempat ditentang mommy. Dan seperti yang kamu lihat sekarang, mereka berhasil. Stella tetap maju. Seperti kamu. Lebih berani mempertahankan keinginannya. Perjuangan mereka juga tidak gampang. Karakter anak kedua mungkin dan tentunya kalian hebat. Sedangkan Enne… dia itu anak paling pintar di antara kami bertiga. Tapi karena itu, ekspektasi yang ada di pundaknya berat banget. Kadang, dia sendiri hampir hancur dan yang bisa kamu lakukan hanya mendukungnya, mendengarkannya, dan memastikan dia tidak sendiri”
Aleron menarik napas panjang.
“Maaf, Thea. Tapi memang benar, dari segi kehangatan, dukungan, dan perlindungan keluarga sebagai anak perempuan, Stella dan Enne lebih beruntung dari kamu. Tapi kamu… kamu jauh lebih kuat dari siapa pun. Thea yang kuat dan Thea yang hebat. Bahkan ketika kamu merasa nggak ada satu pun yang bangga sama kamu selain dirimu sendiri, kamu salah. Aku selalu bangga padamu, Thea. Sahabat-sahabatmu dan mungkin dalam hati kecil mereka juga bangga kepadamu. Tapi karena ada hal yang membuat tidak bisa mengatakan dengan lantang. Kita tidak tahu isi hati manusia, bukan?”
Thea mulai berkaca-kaca.
“Dulu kamu juga tahu Thea, aku juga punya mimpi. Aku ingin jadi pilot. Aku sempat masuk sekolah pilot… tapi aku berhenti. Aku memilih mundur dari cita-citaku la. Aku anak laki-laki pertama keluarga Moonstone dan aku seorang kakak bagi adik-adikku. Aku terlalu takut melangkah. Aku takut langkah yang ku ambil salah. Takut mengorbankan keluargaku dan membiarkan adik-adikku menanggung beban ini sendirian. Jadi aku berusaha ikuti takdir yang ditentukan—kuliah bisnis di US, lalu kembali terjun ke perusahaan. Dan kamu tahu kan, bagaimana kehidupan remajaku? Kacau. Banyak salah jalan.” Aleron terkekeh kecil, menertawakan kehidupan remajanya yang bisa dibilang kacau.
“Aku selalu takut perusahaan yang dibangun keluargaku selama ini akan hancur ditanganku. Aku cuma ingin perusahaan keluarga kami tetap berdiri. Aku selalu berjuang untuk itu thea. Aku selalu ingat ucapanmu waktu itu, 'Humans bring gold, advance to become diamonds, or regress to become silver.' Kata-kata itu menancap di kepalaku.”
Al menatap Thea dengan dalam. Hangat. Penuh ketulusan.
“Terima kasih, Thea. Sudah menemani langkahku selama ini secara tidak langsung. Maafkan aku…”
Thea memejamkan matanya, mencoba mengatur detak jantungnya yang berdegup tak karuan. Aleron lalu bergeser sedikit, mendekat.
“Thea… tolong beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Untuk kamu, dan untuk Cio. Aku ingin jadi segalanya untuk kalian. Tolong temani aku di setiap langkah kehidupanku selamanya. Aku membutuhkan kalian”
Thea menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia ragu. “Al, tapi—”
Belum selesai kalimat itu, Aleron memeluknya. Hangat. Erat. Penuh rasa yang tak butuh banyak kata.
“Kamu nggak perlu jawab sekarang,” bisik Al di telinganya.
“Kita masih punya banyak waktu. Aku akan selalu menunggumu.”
"Terimakasih Al" Ucap Thea sambil tersenyum.
Ia mengecup kening Thea lembut. Lama. Dalam. Sebuah isyarat bahwa ia akan tinggal, dan tak akan pergi.
Malam itu terasa hangat meski angin terus berembus. Dua hati yang lama saling menyakiti, kini saling mengisi. Meski belum sempurna, namun keduanya telah saling membuka luka, dan itu adalah awal dari sesuatu yang lebih indah.