Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Alya menggeliat pelan di atas ranjang sebelum membuka mata. Sinar matahari menembus tirai dan membuatnya sedikit silau. Ia menoleh ke sekeliling kamar. sunyi, Reihan tidak ada di sana.
Perlahan, ingatan tentang semalam muncul begitu saja. Sentuhan Reihan yang hangat, membuat tubuhnya tak mampu menolak. Ciumannya, begitu dalam hingga pertahanan dirinya runtuh. Alya cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri. Kenapa aku bisa terbawa suasana seperti itu?
Tubuhnya masih terasa lelah, apalagi ada sedikit nyeri di pangkal pahanya. Dengan langkah pelan, ia masuk ke kamar mandi. Air hangat menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit rileks, tapi justru membuat pipinya memanas saat kembali teringat apa yang terjadi semalam.
Selesai mandi, Alya berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut. Ia masih bisa melihat rona merah samar di wajahnya.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Alya membuka pintu dan mendapati seorang pelayan muda berdiri di depan.
“Nyonya, Tuan Rehan sudah menunggu di ruang makan untuk sarapan bersama,” ucap pelayan itu sopan.
Alya mengerutkan kening.
“Jangan panggil aku nyonya. Aku tidak nyaman. Panggil saja Alya,” katanya tegas.
Pelayan itu mengangguk, lalu pergi.
Beberapa menit kemudian, Alya turun ke ruang makan. Rehan sudah duduk rapi dengan kemeja putih, celana hitam, dan rambut yang disisir ke belakang. Wajahnya tampak segar dan, entah kenapa, terlihat lebih tampan dari biasanya.
“Selamat pagi, sayang.Apa tidur mu nyenyak?” tanya Rehan sambil tersenyum menggoda.
Alya tidak menjawab. Ia langsung duduk di hadapannya dengan wajah masam.
Rehan terkekeh. “Masih marah, ya? Gara-gara semalam kamu nggak bisa menolak aku?”
Alya melirik tajam. “Jangan kepedean,” jawabnya singkat.
Rehan hanya tersenyum puas. Bagi pria itu, diam dan pipi merah Alya pagi ini sudah cukup untuk membuatnya merasa menang.
Alya menunduk, pura-pura sibuk mengoles selai di roti panggang nya. Ia sama sekali tak ingin menatap Rehan, apalagi setelah ucapan pria itu barusan.
Rehan memperhatikan istrinya sambil tersenyum tipis.
“Kenapa cuma makan roti? Telurnya dimakan juga, dong,” katanya sambil mendorong piring berisi telur mata sapi ke arah Alya.
“Aku nggak mau,” jawab Alya singkat, tanpa menoleh.
Rehan mendesah pelan, lalu tiba-tiba mengambil garpu, menusuk sedikit telur itu, dan menyodorkannya langsung ke mulut Alya. “Ayo, makan.”
“Pak Rehan, aku udah bilang, aku nggak mau,” protes Alya sambil menggeser kursinya sedikit.
Rehan menghentikan gerakannya. Alisnya terangkat, tatapannya berubah tajam namun masih tenang. Perlahan ia meletakkan sendok kembali ke piring, lalu menatap Alya dalam-dalam.
“Sayang…” suaranya datar, tapi ada nada tegas.
“Jangan panggil aku pak. Aku ini suamimu. Panggil aku .sayang.”
Alya terdiam, pura-pura menelan roti meski sebenarnya ia nyaris tersedak.
Rehan melanjutkan, bibirnya sedikit melengkung nakal.
“Atau… kalau mau terdengar lebih romantis, panggil aku .Mas. Coba deh, aku pengen tahu rasanya kalau kamu panggil aku begitu. Pasti manis banget.”
Ucapan itu membuat Alya langsung menunduk, menyembunyikan pipinya yang mulai memanas. Ia berusaha fokus pada rotinya, tapi hatinya berdebar tak karuan.
Tanpa membalas satu kata pun, Alya mempercepat makannya. Begitu rotinya habis, ia langsung meraih tas di kursi sebelah dan bangkit.
“Mau ke mana?” tanya Rehan sambil berdiri.
“Sekolah,” jawab Alya singkat.
“Aku antar,” tawar Rehan.
“Nggak usah. Aku naik ojek aja,” balas Alya ketus.
Tapi bukannya membiarkan, Rehan malah melangkah cepat, meraih tangan Alya, dan menggenggamnya erat.
“Nggak ada cerita istri kepala sekolah naik ojek,” katanya sambil menarik Alya menuju halaman depan.
Tanpa memberi kesempatan untuk membantah, Rehan membukakan pintu mobil mewahnya dan menuntun Alya masuk. Alya hanya bisa mendengus kesal, tapi hatinya sendiri tak bisa memungkiri, genggaman tangan Rehan barusan terasa hangat.
...
Sepanjang perjalanan, Alya memilih diam. Matanya menatap keluar jendela, mengikuti pemandangan yang berlalu. Lebih baik begitu daripada harus menatap wajah Rehan yang akhir-akhir ini, selalu membuat hatinya kacau.
Tiba-tiba, Rehan memecah keheningan. “Sayang, bagaimana kalau kamu kembali saja ke sekolahku?”
Kata-kata itu langsung membuat Alya menoleh cepat. Tatapannya tajam.
“Kamu serius? Mau aku kembali ke sana supaya mereka bisa menghinaku lagi? Supaya mereka menertawakan aku? Apa kamu mau aku kembali cuma untuk berlindung di balik nama kamu?”
Rehan terdiam sesaat, menarik napas dalam. “Kali ini aku pastikan, kamu nggak akan mengalami itu. Aku janji akan menjagamu.”
Alya menggeleng keras. “Aku nggak akan kembali ke sana.”
Mata Rehan sedikit menyipit.
“Atau, jangan-jangan kamu mau tetap di sekolah itu karena ada Bagas di sana?”
Alya langsung menatapnya tidak percaya. “Apa maksudmu?”
Rehan menatap lurus ke jalan, tapi suaranya dingin. “Kamu menyukainya, ya?”
“Jangan bawa-bawa Bagas. Dia nggak ada hubungannya dengan ini,” tegas Alya.
“Aku tanya sekali lagi, kamu suka sama dia?”
Alya mendengus, mulai kesal.
“Aku sudah bilang, jangan bawa-bawa Bagas.” Ia terdiam sejenak, lalu dengan nada menantang berkata.
“Lahi pula, kenapa jika aku menyukainya?”
Rehan menoleh cepat, rahangnya mengeras.
“Karena dari awal, pernikahan ini nggak seharusnya terjadi,” ucap Alya pelan tapi mantap.
Kata-kata itu seperti api yang menyulut emosi Rehan. Tanpa pikir panjang, ia menginjak rem mendadak. Mobil berhenti di pinggir jalan.
“Jaga ucapanmu, Alya!” suara Rehan meninggi.
“Kamu itu istriku. Nggak pantas bicara begitu.”
Napasnya terdengar berat. Matanya menatap Alya dalam-dalam, tajam, seolah berusaha menahan amarah.
“Aku ingatkan kamu, kalau kamu masih dekat-dekat dengan pria bernama Bagas itu, aku nggak akan ragu untuk melukainya lagi.”
Alya terdiam. Ia tahu Rehan tidak main-main. Kenangan saat Rehan memukul wajah Bagas dulu terlintas jelas di kepalanya, pukulan keras yang membuat darah mengalir. Ia tidak ingin hal itu terulang.