Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Di Penghujung Jalan
Di kamar yang sederhana, Ralf duduk di atas kasur dengan semangkuk sup hangat di tangannya. Luka-luka yang ia derita sudah membaik berkat pengobatan yang diberikan oleh Lisa.
Pintu kembali terbuka, menampakkan Nielz dengan pakaian serba hitamnya. Ia kembali dengan beberapa bercak darah di pakaiannya.
"Sudah bangun? Kamu terlihat sudah sehat," ucapnya sambil menarik sudut bibirnya.
Ralf hanya diam menatap Nielz sambil menyuap sup hangatnya. Sedangkan Nielz duduk di kursi tepat di samping kasur yang ditempati oleh Ralf.
"Kita perlu pindah ke tempat lain malam ini jadi, bersiaplah."
Tangan Ralf terhenti saat itu. Ia menatap Nielz dengan ekspresi rumit. "Kenapa?"
"...? Tentu saja karena pekerjaan."
"Maksudku, kenapa aku harus ikut denganmu?"
Nielz menatap Ralf dengan dingin. Tatapannya seakan menusuk seperti sebuah bilah pisau. "Apa kamu bertanya karena tidak tahu atau ingin mengujiku?" tanyanya dengan nada serak, membuat punggung Ralf merinding.
Ralf akhirnya mengalihkan pandangannya dan tidak bisa menolak. "Tapi, biarkan aku memberi pesan kepada orang tuaku. Mereka pasti khawatir karena aku sudah menghilang selama beberapa hari," pinta Ralf dengan nada memohon. Pegangannya mengerat di sendok kayu, seakan menguatkan dirinya.
Nielz yang menyadari wajah mengeras Ralf akhirnya mengalah untuk kesekian kalinya. "Baiklah, baiklah. Tulis dan berikan ke Robert nanti." Setelah mengatakan hal itu akhirnya Nielz bangkit dari duduknya lalu pergi keluar dari kamar.
Wajah Ralf terlihat lega. Ia tidak bisa pulang ke rumah jadi, setidaknya ia harus mengatakan bahwa ia hidup dengan nyaman diluar sana.
...★----------------★...
Saat ini Mega sedang sibuk merawat ibunya yang semakin hari semakin melemah ketika Ralf meninggal. Rambut ungunya terlihat begitu berantakan karena berlari kesana kemarin untuk membawa air dari sumur di belakang rumah.
Batuk yang di derita oleh Hana semakin parah, dan obatnya telah habis.
"Ibu, obatnya telah habis. Mega perlu membelinya ke kota bersama ayah. Apa ibu tidak apa di tinggal sebentar?" tanya Mega dengan lembut. Ia menyingkirkan poni yang berada di kening Hana dengan lembut.
"Tidak apa... UHUK!! Maaf merepotkanmu, Mega...." Suara Hana terdengar begitu lirih. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya.
"Mega akan segera kembali!"
Mega akhirnya berlari ke arah ayahnya yang sedang mengayunkan pedang di halaman. Rutinitas setelah kehilangan Ralf, Glen selalu mengayunkan pedang tanpa istirahat hingga membuat Mega khawatir dengan keadaan kedua orang tuanya.
"AYAH!!"
Glen terkejut dengan panggilan keras dari putrinya. Ia menghentikan kegiatannya dan bertanya pada Mega, "Ada apa Mega?"
"Obat ibu sudah habis. Kita perlu membeli obatnya lagi ke kota."
Glen yang memahami maksud putrinya akhirnya mengangguk. "Baiklah, ayah akan meminta tetangga untuk menjaga ibumu dulu."
Glen akhirnya mendatangi salah satu rumah tetangganya untuk meminta tolong menemani Hana saat ia pergi membeli obat ke kota.
Setelah semuanya sudah selesai, Glen dan Mega berangkat menggunakan satu kuda agar lebih cepat sampai. Tidak memakan waktu 2 jam dari desa mereka telah sampai di kota Drugen.
"Ayah akan tunggu disini, belilah obat ibu dan beberapa makanan yang kamu mau." Glen memberikan sekantung koin perak.
Mega mengangguk dan mendekap dengan erat kantung koin yang di berikan oleh Glen.
Ketika Mega berlari menyusuri jalan kota yang tidak begitu ramai. Sekilas, ia merasakan sesuatu yang familiar melewatinya. Mega dengan cepat menoleh namun, yang lihat hanya sekelompok orang menggunakan jubah yang menutupi wajah mereka.
"...."
Karena tidak ingin berurusan pada sesuatu yang terlihat berbahaya, Mega akhirnya tidak menghiraukan perasaannya dan melanjutkan langkahnya.
Andai saja. Ia berbalik dan menangkap bahu kecil itu. Mungkin saja ada yang berubah.
Tapi semua sudah berlalu. Mereka berjalan di takdir yang berbeda sekarang. Namun, saudara itu pasti akan dipertemukan kembali suatu saat.
Cring!
Suara bel pintu berbunyi ketika pintu terbuka. Mega memasuki sebuah toko obat yang terkenal dengan kualitas dan harganya yang lebih murah dari yang lain.
"Paman, apakah Paman ada obat demam dan batuk?" tanya Mega.
"Oh, sebentar ya nak." Penjual itu masuk ke dalam ruangannya lalu kembali dengan sekotak bubuk yang sepertinya adalah obat.
"Ini paman!" Mega menaruh lima koin perak di atas meja lalu mengambil kotak obat itu.
"Nak, tunggu!"
Mega yang awalnya ingin langsung pergi jadi mengurungkan niatnya. "Ada apa, paman?"
"Kamu teman si anak laki-laki berambut merah muda itu, kan? Aku pernah melihatmu datang bersamanya beberapa kali kesini. Dimana anak laki-laki itu sekarang? Dia jarang terlihat sekarang." tanya sang penjual itu dengan semangat.
"Anak laki-laki?" Mega berpikir sejenak. "Ah! Maaf, paman. Dia anak perempuan. Mungkin karena penampilannya seperti itu jadi orang-orang berpikir dia seorang laki-laki," jelas Mega dengan senyum canggung yang terlihat dipaksakan.
"Oh! Maafkan aku! Ternyata dia perempuan, ya."
"Iya, paman. Tapi, beberapa hari lalu ia mengalami kecelakaan dan tidak selamat...." Nada suara Mega terdengar lirih, menggambarkan perasaannya yang masih dilanda kesedihan.
"Ah... A-aku turut berduka cita, nak ...." Sang penjual terlihat merasa tidak enak menanyakan sesuatu yang sensitif.
"Tidak apa, paman. Kalau begitu aku pergi dulu, paman." Mega melambaikan tangan sebagai tanpa perpisahan lalu, ia bergegas kembali ke Glen.
Pulang pergi dari desa ke kota dan kembali lagi ke desa memakan waktu sekitar 5 jam. Saat itu, langit sudah menguning menandakan matahari akan segera terbenam dan akan digantikan oleh rembulan.
Mega bergegas masuk ke dalam rumah sembari membawa obat yang telah ia beli di kota. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang dengan jubah hitam berada tepat di samping Hana yang tengah tertidur.
"AAAA!!!!" Teriakan Mega mengundang derap kaki buru-buru Glen.
"ADA APA, MEGA??!"
Saat Glen sampai, ia melihat sosok yang familiar.
Sosok yang ia lawan saat malam mengerikan itu.
Mata mereka bertemu, dan saat itulah Glen langsung menarik pedangnya dan mengalahkan tepat di leher pria misterius itu.
"Apa yang kamu lakukan disini!!?" Suara Glen sarat akan amarah mengingat semua yang telah dilakukan oleh orang-orang ini saat malam itu.
"Aku hanya ingin mengantarkan sebuah surat," ucap pria itu sembari menyodorkan sepucuk surat tanpa nama pengirim.
Glen melirik ke arah surat yang terlihat mencurigakan. Pegangannya di gagang pedang mengerat, tidak berniat untuk menurunkan seinci pun bilah tajam itu dari leher pria itu.
"Kamu akan menyesal jika membunuhku tanpa melihat isi surat ini."
Mega yang melihat situasi menegangkan itu hanya bisa terdiam di depan pintu kamar, tidak berani untuk mendekat. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya begitu marah ketika melihat orang asing itu di dalam rumah karena, yang ia tahu ayahnya bukanlah orang yang dengan sembarangan mengayunkan pedangnya pada orang tak bersalah.
"Setelah melakukan semua itu... Kamu masih berani menampakkan wajahmu disini!!?"
Merasa Glen tidak bisa diajak bekerja sama. Pria itu akhirnya mengeluarkan belati yang tersembunyi di balik jubahnya, membuat suara dentingan antara benda tajam yang saling bertubrukan.
"Berani-beraninya kamu!!!" Glen terlihat begitu marah hingga menyerang pria itu di dalam kamar yang dimana mungkin saja dapat membahayakan nyawa Hana.
Namun, sedetik kemudian entah apa yang dilakukan oleh pria itu. Ia memakai sebuah trik untuk mengalihkan pandangan semua orang lalu menghilang begitu saja, meninggalkan sepucuk surat yang menjadi tujuannya datang ke rumah itu.
"TUNGGU!! Apa yang—!!" Glen melihat kesekitarnya dan tidak ada siapapun lagi. Ia juga langsung tersadar dan melihat kondisi Hana.
Ia bernapas lega setelah memeriksa bahwa Hana tertidur dengan lelap tanpa terluka sedikit pun. Saat itulah, lengan bajunya ditarik oleh seseorang.
"Ayah... Siapa orang tadi...?" tanya Mega dengan wajah takut. Jarinya masih gemetar ketika melihat ayahnya bertarung dengan orang tadi.
"Mega, sayang! Kamu tidak apa-apa?" Glen langsung menyadari kecerobohannya akibat tidak bisa menahan emosinya. Ia hampir saja menghancurkan segalanya lagi.
"Maaf, Mega. Ayah gegabah." Glen memeluk Mega dengan erat, membuat Mega sedikit kebingungan. Namun, ia hanya membalas pelukan ayahnya dengan lembut.
"Ayah, orang itu meninggalkan ini di lantai." Mega menyerahkan sepucuk surat itu pada Glen.
Awalnya, Glen merasa ragu untuk membukanya. Ia berpikir itu semacam surat ancaman ataupun jebakan. Namun, melihat orang itu pergi tanpa melukai siapapun, sepertinya surat ini bukan ancaman.
Dengan perlahan Glen membukanya namun, ia baru menyadari kalau ia tidak begitu mahir dalam membaca. Maka dari itu, ia memberikan surat itu pada Mega yang sangat mahir dalam membaca.
Mega terdiam dengan mata terus bergerak, membasahi setiap huruf yang ditulis di atas kertas lusuh itu.
Saat itulah matanya terhenti sejenak. Bibirnya gemetar dan di detik kemudian air matanya jatuh, membuat Glen kebingungan. "Ayah... Kakak... Kakak masih hidup...."
To Be Continued: