Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Kehangatan Sandrina
Ruangan kerja itu senyap, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang mengalun lembut. Harry masih berdiri memeluk Sandrina, erat dan dalam, seolah tak ingin melepaskannya dalam waktu dekat. Aroma parfum lembut dari tubuh gadis itu menenangkan pikirannya yang sebelumnya berkecamuk. Ia menunduk, menatap wajah polos sekretarisnya yang masih terlihat bingung dan canggung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Maaf," ucap Harry pelan sambil mengusap rambut Sandrina. "Aku nggak bermaksud membuatmu tak nyaman. Aku cuma... butuh pelukan. Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya sekarang."
Sandrina menggeleng kecil, walau wajahnya masih memerah. "Aku nggak keberatan, Pak… eh, maksudku, Kak Harry. Kalau memang itu bisa bantu…"
Harry tersenyum kecil mendengar nada suara Sandrina yang begitu hati-hati dan tulus. Ia menarik gadis itu ke sofa kecil di sudut ruangan, menyuruhnya duduk di sampingnya. Sandrina menurut, masih agak gugup, tapi ia berusaha menjaga sikap. Harry meraih kotak manset di mejanya, membuka tutupnya, lalu memandangi huruf inisial mereka yang terukir di sana.
"Ini hadiah dari Raline," gumamnya lirih, nada suaranya datar. "Waktu itu dia bilang, 'Biar kamu inget aku terus, bahkan saat kerja pun.' Lucu ya? Aku pikir dulu itu sangat manis… tapi sekarang rasanya cuma sisa luka."
Sandrina menoleh perlahan. "Kamu masih sayang sama dia?"
Harry terdiam. Lama. Matanya menatap kosong ke arah manset itu, lalu ke foto di meja—ia dan Raline, tertawa bahagia saat anniversary terakhir mereka di restoran atap gedung. Sebuah kenangan yang sekarang justru menyakitkan.
"Aku gak tahu," jawabnya jujur. "Mungkin iya. Tapi, rasa sakitnya sekarang lebih besar dari rasa sayangnya."
Sandrina hanya menggenggam tangannya pelan, mencoba menguatkan. "Kalau kamu merasa gak kuat, istirahat dulu aja. Aku bantu urus laporan dan koordinasi hari ini."
Harry tersenyum samar, tapi justru menarik tubuh Sandrina ke pelukannya lagi. Kali ini, lebih hangat dan perlahan. Ia menunduk, mencium kening gadis itu… lalu turun sedikit, menyentuh bibirnya kembali—lembut, tidak seagresif sebelumnya, tapi terasa dalam dan nyata. Sandrina memejamkan mata, tak bergerak. Bukan karena terpaksa, tapi karena jantungnya berdetak terlalu kencang.
Ciuman itu berlanjut sesaat, sampai akhirnya Harry melepaskan dan menatap wajahnya. "Terima kasih, Sandrina. Aku butuh ketulusan kayak gini sekarang."
Sandrina hanya mengangguk pelan. Tangannya menggenggam jari Harry. Tapi sebelum sempat mereka kembali berbicara lebih jauh, tiba-tiba terdengar ketukan keras dari arah pintu.
Keduanya refleks menjauh. Sandrina segera berdiri dan merapikan blouse-nya, sementara Harry berdehem kecil, kembali duduk dengan sikap lebih formal meski jantungnya masih berdebar.
Dan itulah momen saat Malinda masuk… membawa angin baru yang membuat suasana berubah.
÷÷÷
Suasana di ruangan itu mendadak kaku. Harry masih berdiri begitu dekat dengan Sandrina, sementara gadis itu menunduk, pipinya merona merah karena keintiman barusan. Ia masih bisa merasakan sentuhan lembut Harry di bibir dan lehernya. Tapi momen itu sontak buyar ketika ketukan keras terdengar di pintu ruangan.
Harry menarik napas dalam dan membenarkan sedikit posisi duduknya, sementara Sandrina buru-buru merapikan blouse-nya dan kembali mengambil berkas di tangannya, berusaha terlihat tenang. Pintu pun dibuka, dan muncullah Malinda, salah satu manajer senior di perusahaan itu—wanita paruh baya yang anggun dan memiliki pandangan tajam. Tatapan Malinda langsung tertuju pada Sandrina yang terlihat gugup.
"Maaf mengganggu, Pak Harry. Tapi, Anda ada meeting dengan tim marketing 10 menit lagi, dan Anda belum mengonfirmasi kehadiran Anda," ujar Malinda sambil berjalan masuk, pandangannya sesekali bergeser ke arah Sandrina yang kini pura-pura membaca dokumen.
Harry hanya mengangguk pelan. "Ya, aku tahu. Aku akan ke sana sebentar lagi."
Namun Malinda tidak langsung pergi. Ia menatap Harry lebih lama dari biasanya, seperti sedang membaca isi pikirannya. "Anda kelihatan lelah. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya terdengar agak serak namun peduli.
Harry terdiam. Untuk sesaat ia hanya menatap wajah wanita itu. Ada rasa sesak di dadanya. Ia sebenarnya ingin berteriak, meluapkan semua amarah dan kesedihannya, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya, ia hanya menggeleng pelan dan berucap, "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, Malinda. Itu saja."
Malinda mengangguk pelan. "Kalau begitu, saya tinggal dulu." Ia melirik sekali lagi pada Sandrina sebelum keluar dari ruangan dan menutup pintu dengan pelan.
Begitu pintu tertutup, Sandrina melangkah pelan mendekati Harry yang kini duduk bersandar di kursinya. "Apa kamu mau cerita? Tentang apa pun yang mengganggumu..." bisiknya.
Harry hanya memejamkan mata dan menarik napas panjang. "Terkadang, orang yang paling kita percaya justru menusuk kita dari belakang. Dan saat kamu tahu siapa mereka, kamu merasa seperti orang paling bodoh di dunia."
Sandrina tidak menjawab. Ia hanya duduk di tepi meja, menatap Harry dengan iba. Ia tak tahu siapa yang dimaksud Harry, tapi dari tatapan pria itu, ia bisa merasakan kalau luka itu bukan luka biasa—itu luka yang dalam, menyayat, dan membuat seseorang kehilangan kepercayaannya pada cinta.
"Terima kasih, Sandrina... karena kamu ada di sini," ucap Harry pelan. "Aku gak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi yang jelas, aku gak akan membiarkan mereka terus bermain di belakangku."
Sandrina menggenggam tangan Harry, menguatkannya. Dan di saat itu juga, Harry menatap mata sekretarisnya, perlahan mulai menemukan ketenangan dalam tatapan itu—sesuatu yang bahkan tak lagi ia temukan dalam pelukan Raline.