Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran Gerald
Abimanyu dikejutkan dengan kehadiran Almira yang tiba-tiba. Dia tahu kalau wanita itu akan pergi bersama dengan beberapa dosen yang lainnya. Namun, sekarang wanita itu justru pergi bersamanya, karena Almira mengatakan kalau yang lain lebih dulu pergi.
Sepanjang perjalanan, Abimanyu diliputi perasaan cemas karena Infiera sama sekali tidak membalas pesannya. Sampai mobil yang dikendarainya berhenti di gedung serba guna, di mana pesta pernikahan Bu Gina dilangsungkan.
Abimanyu turun dari mobil, dia mencari keberadaan Infiera di luar gedung, tapi wanita itu sama sekali tidak terlihat keberadaannya.
“Nunggu siapa, Bi?” tanya Almira saat melihat Abimanyu yang mengelilingkan pandangannya dan terlihat tidak tenang.
“Tidak ada,” jawabnya, tapi pandangannya masih mencari.
“Kalau kamu nyari dosen yang lain, sepertinya mereka sudah masuk.” Almira menunjuk beberapa mobil milik rekannya yang sangat ia kenali.
Abimanyu akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Dia sempat melirik ponselnya, tapi tidak ada balasan sama sekali dari istrinya, membuat perasaannya semakin tidak karuan.
Sial!
Abimanyu merasa kalau dirinya tidak bisa hanya diam saja, dia harus kembali ke tempat sebelumnya. Bagaimana kalau Infiera tidak membaca pesannya? Bagaimana kalau wanita itu tetap menunggu.
Saat Abimanyu hendak kembali masuk ke dalam mobilnya, dari arah pintu masuk parkiran, motor yang ditumpangi Bimo dan juga Anisa terlihat masuk. Mereka memarkirkannya di tempat khusus kendaraan roda dua.
“Pak, Bu,” sapa Bimo pada dua dosennya yang masih berdiri di dekat mobil Abimanyu.
“Kalian hanya berdua?” Abimanyu bertanya dengan tidak sabar. Dia semakin cemas memikirkan Fiera masih menunggunya di salon. Bukankah dia mengatakan kalau pergi ke salon dengan temannya ini?
“Iya, Pak, Fiera menyusul naik ojol katanya.” Anisa menjawab, seraya menoleh ke arah belakang, memastikan kalau temannya segera tiba. “Kenapa belum muncul, ya? Padahal, dia bilang kalau ojolnya akan segera tiba saat kita pergi.”
Ucapan Anisa itu semakin meyakinkan Abimanyu kalau Fiera masih menunggunya di salon. Dia hendak mengatakan sesuatu pada yang lainnya, tapi sebuah mobil jenis sedang masuk ke area parkir, mobil itu Abimanyu kenal milik rekannya, Gerald.
Namun, yang mengejutkan semua orang adalah seseorang yang keluar dari pintu sampingnya.
“Wah, ternyata dia bareng Pak Gerald. Tau begitu, gue juga nebeng tadi.” Anisa berseru keras, lalu dia melambaikan tangannya ke arah wanita itu.
“Jadi, lo nyesel datang bareng gue?” Bimo terdengar jengkel di sampingnya.
“Hehe... canda, Bim. Ayo, kita ke sana.” Anisa menoleh pada Abimanyu yang kini mematung di tempatnya, melihat ke arah sang istri yang mengenakan gaun berwarna peach dengan rambutnya yang berubah keriting dan diikat ekor kuda. Terlihat sangat cantik dengan make up flowless. “Kami duluan, Pak.”
Abimanyu tidak menyahut, dia hanya diam saja, menatap Infiera yang menjauh.
“Bi.” Suara Almira menyadarkan Abimanyu dari lamunannya. “Ayo, kita juga harus segera masuk.”
Abimanyu hanya mengangguk, matanya terus terarah pada Fiera yang sama sekali tidak melirik ke arahnya. Padahal, Gerald memarkirkan mobilnya tidak jauh dari mobil milik Abimanyu.
Semua orang mulai berjalan ke arah pelaminan setelah mengisi buku tamu dan meletakkan kado di penerima tamu.
“Bu Gina.” Anisa, langsung memeluk wanita yang bekerja sebagai petugas perpustakaan itu. Banyak mahasiswa memang cukup dekat dengannya karena Bu Gina adalah orang yang sangat ramah pada siapa pun.
“Hai, Nis. Makasih sudah datang, ya. Semoga kamu juga cepet menyusul.”
“Bu, doain aku lulus kuliah dan dapat kerja dulu kek, main nikah saja. Dia dulu, ah.” Anisa menunjuk Fiera yang berdiri tepat di belakang.
“Haha ... pokoknya kalian, cepet nikah. Fiera juga, Bimo juga, Pak Gerald tentunya.”
Pria blasteran itu tertawa kecil, lalu menunjuk Fiera yang berdiri tepat di depannya. “Bagaimana, Bu, sudah cocok belum? Kalau cocok kayanya sekalian juga tidak masalah.” Gerald berkelakar, menaik-turunkan alisnya.
“Haha ... Pak Gerald, memang udah punya mas kawinnya?” tanya Anis, dia tertawa dengan ucapan Gerald itu.
Gerald mengangkat tangannya yang sedang memegang sebuah centong nasi yang terbuat dari kayu. “Fier, kalau ini dulu mas kawinnya bagaimana? Ga apa-apa, kan? Nanti pas habis akad, saya belikan kamu sebongkah berlian.”
Meski hatinya sedang sangat rumit, mau tak mau Fiera tertawa dengan ucapan dosennya itu.
“Pak Gerald, kenapa engga sekalian saja gunung berliannya?”
“Ah, ide bagus. Ya sudah, kita akad saja hari ini, bagaimana?” tanyanya, “Bu Gina, penghulu belum pergi, kan?”
Sontak semua orang tertawa mendengar hal itu, kecuali Abimanyu yang wajahnya semakin kelam. Dia mengepalkan tangannya. Ingin sekali dia menarik Fiera ke sampingnya, tapi dia ingat di mana sekarang mereka berada. Apa lagi, saat melihat wanita itu tertawa lebar.
“Sudah, Pak, lebih baik kalian semua makan dulu. Soalnya, halu juga butuh tenaga, kan?”
“Ah, Bu Gina benar.” Gerald menyalami Bu Gina dan suaminya, lalu tanpa peringatan dia menggandeng tangan Infiera dan membawanya menuju meja prasmanan.
Bimo hanya menggeleng melihat dosennya itu. Dia menoleh pada Anisa. “Lo butuh gandengan, ga?”
“Ogah!”
Anisa berjalan cepat menyusul Fiera dan juga dosennya. Dia jadi gemas dengan keduanya. Kayanya memang Pak Gerald menaruh hati pada Fiera, pikirnya.
Banyak kursi sudah terisi tamu undangan yang hadir. Apa lagi, banyak dari rekan dosen yang datang bersamaan. Beruntungnya, ada satu meja kosong yang diperuntukkan tamu VIP. Gerald mengajak Fiera dan juga dua mahasiswanya untuk duduk di sana. Posisinya tepat di paling pojok.
“Pak Gerald, tau ga kalau bapak serasi banget sama Fiera? Baju kalian juga kaya couple.”
Gerald berbinar mendengar hal itu. “Benar, kan, kami cocok? Itu, Fier, denger.”
Fiera hanya tergelak sebagai tanggapan.
“Haha... benerlah kalian cocok banget. Berarti nilaiku A, kan, Pak?”
“Oh, tidak bisa. Kalau itu kau harus mengerjakan tugas selama satu bulan full.”
Anisa langsung mengerucutkan bibirnya, ternyata sekali pelit tetap pelit. Sejujurnya, untuk nilai lebih baik Abimanyu. Tapi, kelasnya selalu serius dan juga menegangkan.
“Haha ... sabar, Nis.”
Fiera menimpali, suasana hatinya membaik berkat mereka berdua yang terus berdebat sejak tadi. Sejenak dia bisa melupakan sakit yang tadi di rasakannya. Melihat Abimanyu bersama dengan Almira, sungguh mengoyak harapan satu-satunya.
“Apakah kami boleh bergabung?” tanya Almira yang muncul membawa makanannya bersama dengan Abimanyu.
Fiera yang melihat hal itu langsung menundukkan kepalanya dan meneruskan makannya. Dia bersikap seolah tidak mengenal suaminya.
“Tentu saja, kebetulan masih ada meja kosong.”
“Terima kasih.”
Almira dan juga Abimanyu duduk di kursi kosong, berseberangan dengan Infiera.
“Bi, sekarang yang paling serasi bukan kalian, tapi kami.” Gerald menunjuk dirinya dan juga Fiera bergantian. “Bener, kan, Nis?”
Menahan tawa, Anisa mengacungkan jempolnya setuju. Sedangkan Bimo lagi-lagi hanya menggeleng, karena baginya Gerald dan juga temannya itu sungguh lucu. Kadang mereka bisa kompak tanpa janjian terlebih dahulu, tapi juga bisa saling menghujat.
Almira hanya tertawa, sedangkan Abimanyu hanya melirik dingin pada temannya itu. Tetapi, Gerald sama sekali tidak peduli dengan ekspresi Abimanyu.
Pria itu tetap berbicara ini dan itu dengan gayanya yang jenaka. Fiera yang awalnya enggan berekspresi karena keberadaan Almira dan juga Abimanyu. Akhirnya, dia juga berbaur ikut tertawa bersama yang lain.
Hanya Abimanyu di meja itu yang tidak dapat menikmati apa pun. Termasuk makanannya.
“Aku mau ambil asinan buah di sana. Kalian mau, ga?” Fiera menawarkan, seraya bangkit dari kursinya.
“Fier, bisa bawakan air minum saja buat saya.” Gerald berkata.
“Baiklah, Pak. Anis, kamu engga mau titip?”
“Fier, gue mau jeruk, ya?” Bimo memesan.
“Oke!”
“Kalau gue mau buah potong. Seger kayanyanya.” Anis akhirnya memesan.
“Heh, kalian ini. Kalau dia sendirian yang pergi, bagaimana cara bawanya?” Gerald menegur.
“Tenang saja, Pak. Saya, kan, strong!” Fiera mengangkat tangannya, lalu menunjukkan ototnya yang sama sekali tidak terbentuk karena tidak pernah berolah raga.
“Tetap saja, kamu bawa buah dan juga asinannya bagaimana?”
“Tenang, Pak, itu.” Fiera menunjuk nampan yang ada di meja prasmanan. “Saya bisa pakai itu.”
“Pinter!” Gerald mengacungkan jempolnya, bangga.
Fiera melangkah menuju stand pencuci mulut untuk mengambil pesanan teman-temannya dan juga dosennya. Selang beberapa saat, Abimanyu turut bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah stand pencuci mulut. Pria itu berdiri di samping Fiera yang sedang mengisi mangkok kecil dengan asinan buah dan sayur.
“Setelah ini, kita pulang bersama. Maaf, tadi benar-benar tidak disengaja. Aku bertemu dengan Almira.”
Saat mendengar suara Abimanyu di sampingnya, Fiera sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Dia meneruskan apa yang sedang dilakukannya—mengambil pesanan Gerald, dan juga yang lainnya.
“Aku tunggu di parkiran,” lanjutnya lagi.
Tanpa mengalihkan pandangannya, Fiera menjawab, “Itu tidak perlu. Bapak antarkan saja Bu Almira, kasihan. Saya tidak masalah, saya bisa naik ojek online seperti biasa.”
Saya? Bapak?
Infiera berbicara sangat formal. Padahal, beberapa hari terakhir wanita itu sering menggunakan panggilan mas padanya atau aku kamu. Sebelum Abimanyu bisa menimpali ucapan Infiera, wanita itu lebih dahulu melangkah pergi, meninggalkannya.
Abimanyu cukup tertekan dengan sikap Infiera, tapi dia sadar itu adalah kesalahannya. Baiklah, dia akan menunggu Fiera di parkiran. Dirinya yakin kalau Fiera tidak akan menolak jika dirinya menunggu.
Abimanyu menghela napas pelan, lalu kembali bergabung ke meja bersama dengan yang lainnya.
Abimanyu dan juga Almira menghampiri dosen yang lainnya, mereka berbicara cukup lama. Lalu, segera menghampiri kedua pengantin untuk berpamitan. Abimanyu melihat ke arah meja yang ditempati istrinya. Dia melihat yang lainnya masih ada di sana.
Setelah berpamitan, Abimanyu keluar dari gedung serbaguna itu. Dia berkata sebelum Almira mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditolaknya.
“Al, aku akan sudah memesankan taksi untukmu.”
Almira tertegun untuk beberapa saat. Dia terkejut karena sempat berpikir kalau Abimanyu akan mengantarnya. Dengan perasaan canggung Almira berkata, “Begitu, ya, terima kasih.”
Status Abimanyu yang sudah menikah, membuat Almira tidak bisa lagi memaksa pria itu. Dia segera naik ke dalam mobil begitu taksi online yang dipesan Abimanyu sampai.
Setelah kepergian Almira, Abimanyu berdiri, menyandarkan tubuhnya di samping mobilnya untuk menunggu Infiera. Dia tidak peduli lagi jika ada yang melihat asalkan masalahnya dengan sang istri bisa diselesaikan malam ini juga.
Abimanyu beberapa kali melirik ke arah pintu keluar gedung serbaguna itu. Masih belum ada tanda-tanda Infiera keluar dari sana.
Mobil Gerald juga masih terparkir di tempatnya, artinya mereka masih berada di dalam.
Sampai sepuluh menit berlalu, barulah terlihat Gerald keluar dari gedung itu.
Abimanyu mengernyitkan keningnya karena tidak melihat keberadaan Infiera.
“Bi, lo masih di sini?” tanya Gerald pura-pura terkejut. Dia yakin kalau temannya itu sedang menunggu Infiera. Dia tidak tahu kalau Fiera sejak tadi sudah pergi, bahkan saat Abimanyu masih mengobrol dengan dosen lainnya yang masih ada di dalam sana.
“Lo cari siapa, sih?” Gerald tidak melihat siapa pun yang dikenalnya, hanya ada beberapa tamu undangan yang datang dan pergi dari pesta itu.
“Di mana yang lainnya?” tanya Abimanyu.
“Yang lain siapa? Rekan yang lainnya masih di dalam. Mereka sedang menikmati hiburannya sekarang. Katanya ada band yang akan tampil.”
“Bukan, maksudku... para mahasiswa yang bersamamu.”
“Ah, Bimo dan temannya? Itu mereka.”
Gerald menunjuk Bimo yang berjalan menuju motornya bersama dengan Anisa. Namun, mereka juga hanya berdua.
“Lalu satu lagi?”
“Maksud lo calon istri gue?”
Abimanyu melotot mendengar hal itu, membuat Gerald terkekeh geli. Dia bisa melihat dengan jelas kecemburuan di mata pria itu. Akan tetapi, dirinya sama sekali tidak peduli dengan hal itu.
“Haha ... baiklah. Dia sudah pergi setengah jam yang lalu, sendirian.”
“Sendirian?”
“Iya, kenapa lo kaget begitu? Lagian, dia juga udah gede, kan?”
“Lo bagaimana, sih? Bukannya lo yang datang sama dia?” Abimanyu terlihat marah karena Gerald membiarkan Infiera pulang sendirian. Padahal, hari sudah gelap. “Bukannya, lo harus tanggung jawab?”
Gerald berpura-pura mengerutkan kening. “Tanggung jawab? Memang apa yang sudah gue lakuin sampai gue harus tanggung jawab sama mahasiswa gue?”
Abimanyu terdiam mendengar ucapan Gerald.
“Gue datang bersama dia bukan karena gue sengaja ngajak dia. Tapi gue ngajak dia karena dia sendirian di pinggir jalan nunggu angkot, sambil nangis. Dia bilang teman-temannya lebih dulu pergi karena berpikir kalau dia sudah memiliki seseorang yang akan pergi bersamanya.” Senyum jenaka di wajah Gerald menghilang. “Jadi, gue rasa engga punya kewajiban buat nganter dia pulang. Justru gue sudah baik banget ngajak barengan tadi.” Senyum Gerald kembali muncul, tepatnya senyum puas melihat ekspresi Abimanyu saat ini.
“Siapa, sih, yang ninggalin dia di pinggir jalan kaya gitu, padahal udah dandan cantik. Picek matanya apa?” gerutu Gerald, mengabaikan ekspresi kelam Abimanyu.
“Harusnya, yang lo salahin itu orang yang sudah ngajak dia, tapi ninggalin gitu saja. Dasar brengsek emang!”
Setelahnya, Gerald tanpa rasa bersalah membuka kunci mobilnya hingga mengeluarkan suara. “Gue duluan, ya. Nyokap nitip nasi goreng.”
Tanpa menunggu jawaban Abimanyu, Gerald berlalu dan masuk ke dalam mobil. Dia tersenyum sangat puas.
Abimanyu tersadar. Dia segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Infiera, tapi ternyata ponselnya mati.
Lalu, Abimanyu juga masuk ke dalam mobil dan segera melajukannya, meninggalkan gedung acara pesta dilangsungkan.
Gerald yang sudah duduk di belakang kemudinya hanya menggelengkan kepalanya. “Ternyata umur hanya angka. Sebagian orang bisa dewasa untuk beberapa hal, tapi juga bisa bersikap sangat kenakan dalam waktu bersamaan.”
Sebagai orang yang masih melajang, Gerald sungguh tidak mengerti dengan sikap Abimanyu saat ini. Meski tadi sore sedikit kesal pada temannya itu saat melihat Fiera di pinggir jalan, tapi dia juga merasa kasihan dengan hubungan mereka berdua.
...Happy reading...
...Jangan lupa tap like sebelum pergi.......
...untuk info lainnya bisa follow ig author @yunism4...