NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:12.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Shtt... Hayaning Sebenarnya...

Rumah utama Adhijokso mendadak gempar ketika sang putra tertua mengamuk, suaranya menggema memenuhi ruangan.

"Kamu membawa adik saya pergi selama satu bulan, brengsek!"

Satya dan Farel mati-matian menahan Bara yang nyaris menerjang. Ini pertama kalinya mereka melihatnya begitu meledak-ledak—dan semua itu karena adik tiri bungsunya.

Di sisi lain, Hayaning hanya menunduk, jemarinya sibuk memainkan cincin peninggalan mendiang ibu tirinya. Diamnya bukan tanpa alasan, tetapi dadanya terasa begitu sesak di bawah tekanan ini.

Ben, di sisi lain, tetap berdiri tegak. Sorot matanya tajam, kepalanya terdongak percaya diri, sama sekali tidak gentar menghadapi luapan emosi Bara.

"Saya tidak memiliki urusan dengan Pak Bara," kata Ben, suaranya tetap tenang, tak tergoyahkan sedikit pun. "Saya bekerja atas perintah pak Brata, dan beliau sendiri yang mengizinkan saya membawa putrinya."

"Bajingan!" Bara semakin kehilangan kendali, tetapi Satya dan Farel masih berusaha menahannya agar tidak menerjang Ben.

Di tengah ketegangan yang memuncak, suara lembut namun tegas milik Hayaning menyela. "Benji..."

Refleks, Ben langsung merespons. "Ya, Nona." Gerakannya cepat, ia segera melangkah mendekat, tetapi sebelum jaraknya semakin dekat, Bara yang melihatnya langsung meledak lagi.

"Jangan dekati Hayaning!"

Ben sama sekali tidak mengindahkan peringatan itu. Matanya tetap fokus pada Hayaning. "Kenapa, Nona?" tanyanya, tetap dengan nada santai seolah tak ada yang terjadi.

Hayaning menarik napas pelan. "Ben, aku ingin ke kamar. Aku ingin istirahat."

Tanpa ragu, Ben langsung menanggapi, "Mari saya antar, Nona."

"Sialan kamu! Mau apa kamu, hah?!" Bara kembali menggeram, tetapi Ben bahkan tidak meliriknya sedikit pun.

Dibelakang sana Bara berteriak kencang sementara Ben masa bodo, peduli amat dengan keluarga perempuan ini yang isinya iblis semua.

Ketika mereka sampai didepan pintu, Hayaning segera melepaskan tangannya yang digenggam oleh Ben. "Terimakasih untuk hari ini, Ben... tolong jangan ganggu aku untuk sementara, aku benar-benar butuh waktu untuk redam sejenak. Tolong ya..."

Tetapi Ben tak membiarkannya masuk begitu saja, ia mencekal pergelangan tangan Hayaning sehingga sang empu kembali menatap kearahnya.

"Jika lebih dari satu hari maka saya akan nekat melakukan apapun demi bertemu dengan Nona,"

Haya tak lagi menjawab, ia melepaskan tangan itu dan segera menutup pintu rapat-rapat. Menguncinya dengan terburu-buru seolah takut seseorang akan masuk kedalam.

Ben menghela napas panjang, kedua tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya masih tertuju pada pintu yang baru saja tertutup rapat di hadapannya.

Ia melangkah mundur, bahunya menegang saat otaknya masih mencerna ucapan Hayaning barusan.

Rahangnya mengeras. Ada keinginan besar untuk mendobrak pintu itu dan memaksa perempuan itu menatapnya, berbicara dengannya—tetapi tidak. Bukan begitu caranya.

Ia menatap pintu sekali lagi sebelum akhirnya berbalik, melangkah pergi dengan kepala yang dipenuhi keruwetan.

Jika lebih dari satu hari perempuan itu masih mengurung diri, ia bersumpah akan nekat melakukan apapun untuk bertemu dengannya.

•••

Hayaning mengatur napasnya, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tak karuan saat matanya menelusuri tiap huruf di atas kertas lusuh itu. Jemarinya gemetar, mengusap permukaannya yang telah menguning, seakan ingin menyentuh jejak terakhir dari sosok yang telah pergi.

Surat itu ditulis bertahun-tahun lalu, jauh sebelum ibunya dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Fakta bahwa ibunya masih menyimpan surat ini untuk diberikan padanya langsung, membuat hati Hayaning semakin nyeri.

Ia menarik napas panjang, lalu mulai membaca.

Kepada putriku, tersayang.

Yang pertama ingin Ibu katakan adalah permintaan maaf atas segala kesalahan dan dosa Ibu sebagai ibumu.

Nak… sungguh, Ibu menyesal karena pernah memiliki niat jahat terhadapmu. Bukan karena Ibu membencimu, bukan karena Ibu ingin menyakitimu, tapi karena Ibu ingin menyelamatkanmu dari dunia yang kejam ini.

Ibu menyadari, sejak ayah kandungmu merampas hak asuhmu, tak ada satu malam pun yang berlalu tanpa harapan bisa bertemu denganmu. Ibu berusaha mengupayakan segalanya, mencoba segala cara, tetapi hasilnya selalu nihil.

Ibu sangat rindu padamu, Hayaning. Ibu tidak tahu bagaimana kabarmu di sana. Ibu takut… takut jika kamu disakiti, takut jika kamu tersesat tanpa tahu jalan pulang.

Hayaning menggigit bibirnya, menahan gemuruh yang mulai memenuhi dadanya. Perlahan, ia membuka lembaran berikutnya, matanya yang mulai berembun kembali menyusuri setiap kata yang tertulis di sana.

Nak, jika nanti kamu menemukan surat yang tak pernah sampai ini kepadamu, semoga kamu sudah tumbuh menjadi perempuan yang kuat.

Semoga kamu hidup dengan baik, meskipun tanpa Ibu di sisimu. Semoga kamu tidak merasa sendiri, semoga ada seseorang yang selalu menjagamu.

Nak, ada begitu banyak hal yang ingin Ibu ceritakan padamu, begitu banyak hal yang ingin Ibu jelaskan. Tapi waktu tidak pernah berpihak pada kita, dan sekarang pun, Ibu tak tahu apakah surat ini akan sampai padamu atau hanya akan menjadi selembar kertas lusuh yang terlupakan.

Ibu ingin memberitahumu bahwa kehidupan layak untuk diperjuangkan. Kamu layak untuk bahagia, kamu layak untuk mencintai dan dicintai. Jangan biarkan apa pun di dunia ini membuatmu merasa sebaliknya.

Ibu tahu mungkin kamu telah melalui banyak hal, mungkin kamu pernah merasa sendirian atau terluka. Maaf, Nak, karena Ibu tidak ada di sana untuk menggenggammu. Maaf karena Ibu tidak bisa menjadi pelindungmu, seperti yang seharusnya dilakukan seorang ibu.

Hayaning, jika suatu hari kamu merasa kehilangan arah, jika dunia terasa begitu kejam dan membuatmu ingin menyerah, tolong, tetaplah bertahan. 

Ibu tidak bisa menjanjikan kehidupan yang mudah, tapi Ibu berdoa semoga kamu selalu memiliki keberanian untuk melanjutkan perjalananmu, meskipun jalannya terasa sulit.

Jadilah perempuan yang tidak hanya kuat, tetapi juga tahu kapan harus melindungi dirinya sendiri. Jangan takut untuk memilih jalanmu sendiri, jangan takut untuk berkata tidak pada hal-hal yang menyakitimu.

Dan... Ibu ingin kamu tahu, jangan begitu terbuai dalam arus percintaan kepada seorang pria. Nak, itulah kesalahan yang Ibu lakukan, dan karena itulah Ibu menderita.

Jangan pernah terperdaya oleh janji-janji manis yang bisa mematikan akal sehatmu. Jangan biarkan hatimu sepenuhnya bergantung pada seseorang hingga kamu lupa bagaimana cara berdiri sendiri. Cinta bisa menjadi hal yang indah, tapi cinta juga bisa menjadi jerat yang paling berbahaya jika kamu tidak berhati-hati.

Jangan menyerahkan segalanya hanya untuk seseorang yang mungkin suatu hari akan pergi. Jika kamu mencintai seseorang, pastikan cintamu tidak membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Jangan ulangi kesalahan Ibu, Hayaning.

Hayaning semakin terisak membaca setiap kalimat yang tertulis pada surat itu. Ia meremas dadanya yang terasa sakit.

Nak, Ibu tidak ingin kamu hidup dalam ketakutan, tapi Ibu ingin kamu selalu waspada. Percayalah, dunia ini tidak selalu baik pada perempuan, dan sering kali, kita harus lebih kuat daripada yang kita bayangkan.

Berdirilah di atas kakimu sendiri, jadilah perempuan yang tidak hanya tangguh, tetapi juga tahu bagaimana mempertahankan dirinya.

Dan...tak lupa ibu selalu berdoa agar kamu dapat mengejar mimpi dan cita-cita mu, ibu percaya kepadamu sayang.

Dengan segala cinta yang tersisa,

Ibumu.

Hayaning mengerjap, matanya terasa  semakin panas. Surat itu bergetar di tangannya, seakan kata-kata ibunya menyusup jauh ke dalam relung hatinya.

Ia ingin mengulang waktu dan bertanya—kenapa? Kenapa ibunya tidak bisa bersamanya? Kenapa semua ini harus terjadi?

Namun, satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah meremas surat itu erat-erat di dadanya, memejamkan mata, dan membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.

Ia menangis dalam diam, membiarkan emosinya mengalir bersama setiap tetes yang jatuh. Hanya di saat seperti inilah ia mengizinkan dirinya rapuh, membiarkan semua ganjalan di hatinya luruh, tenggelam dalam kepedihan yang selama ini berusaha ia tahan.

Namun perlahan, genggaman Hayaning pada kertas lusuh itu mengendur. Dengan gerakan cepat, ia mengusap sisa air mata yang masih mengalir di pipinya, seolah ingin menghapus jejak kesedihan yang baru saja meluap.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, membiarkan udara memenuhi paru-parunya sebelum akhirnya menghembuskan perlahan.

"Aku sudah lama memaafkan Ibu... Aku mencintaimu. Jadi, beristirahatlah dengan tenang di sana, jangan khawatir lagi. Putrimu ini tidak akan mudah hancur Bu."

Hayaning menutup matanya sejenak, mengatur napasnya kembali yang terasa berat. Ia tengah menjalankan rencananya—sebuah langkah besar yang telah ia siapkan jauh sebelum ini.

Begitu pernikahannya dengan Adipta berlangsung, ia akan keluar dari rumah ini—dari tempat yang selama ini telah memenjarakannya.

Sejak awal, Hayaning tidak pernah takut pada pria yang akan menjadi suaminya itu. Menerima perjodohan dengannya adalah bagian dari rencananya. Ia bukan perempuan bodoh yang pasrah begitu saja. Tidak, ia sudah lama menyusun strategi. Diam-diam, ia mengumpulkan bukti atas kejahatan dan kebusukan Adipta. Jika pria itu berani berbuat jahat padanya, ia juga siap mengancam balik.

Bukti-bukti itu. Ia mendapatkannya sebelum mengenal Ben, dengan bantuan bodyguard sebelumnya—seorang pria tua yang telah ia anggap seperti ayah sendiri. Hardi.

Pria itu bukan sekadar pelindung, tetapi juga satu-satunya orang yang benar-benar membantunya tanpa pamrih. Namun sayang, ia telah tiada. Pak Hardi telah dileny*pk4n. Dib*nuh oleh seseorang dari keluarga Hayaning sendiri.

Dan orang itu… adalah seseorang yang paling Hayaning benci.

Ia menarik napas panjang, lalu bangkit dari ranjang, langkahnya tertuntun menuju kamar mandi. Begitu ia berdiri di depan cermin, pantulan dirinya menyambut—wajah yang lelah, mata sembab akibat menangis.

Perlahan, ia membasuh wajahnya, membiarkan air dingin meresap ke kulitnya, menghapus jejak kesedihan yang tersisa. Saat ia kembali menatap dirinya sendiri, senyum tipis terukir di sudut bibirnya—mengingat Benjamin.

Hayaning bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk merasakan perasaan Jatuh cinta ini—walau ia tahu, tidak semua yang ia harapkan bisa ia miliki.

Ben telah hadir dalam hidupnya seperti cahaya yang singkat namun hangat. Ia tahu, mungkin pada akhirnya mereka tidak akan berjalan di jalan yang sama. Tapi setidaknya, saat ini… perasaan itu nyata.

Hayaning sadar, hidup tidak akan selalu berpihak padanya. Orang-orang datang dan pergi, meninggalkan jejak atau luka—terkadang keduanya sekaligus. Ia tidak ingin terlalu terikat pada perasaan ini, tidak ingin membiarkan hatinya terlena dalam sesuatu yang mungkin hanya sementara.

Ben mungkin telah membuatnya merasakan jatuh cinta, kehangatan dan dimanjakan yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari sosok ayahnya. Tapi Hayaning tahu, pada akhirnya, ia harus tetap berjalan sendiri.

Ia ingin berpikir realistis saja tentang cinta. Cinta, seindah apa pun rasanya, tetaplah sesuatu yang tak bisa digenggam selamanya. Itu dapat berubah, mengalir, kadang menghilang seperti angin yang pergi tanpa jejak.

Hayaning juga menyadari bahwa terlalu berharap pada seseorang sama saja dengan menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang rapuh. Hari ini, Ben mungkin ada di sisinya, tetapi siapa yang bisa menjamin esok hari? Tidak ada yang abadi, dan ia tidak akan membiarkan hatinya terluka lebih dalam hanya karena mimpi tentang sesuatu yang tak pasti.

Ia menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, menatap bayangannya di cermin. Mata yang lelah, tetapi masih menyimpan bara kecil yang enggan padam. Jika ia harus melangkah sendirian, maka biarlah begitu. Ia akan menjadi perempuan yang kuat, yang mampu bertahan meski tanpa genggaman tangan siapa pun.

Dan tentang Ben… jika takdir mengizinkan, mereka akan kembali bertemu. Namun jika tidak, ia akan mengingat pria itu sebagai seseorang yang pernah mengajarinya banyak hal.

Pria itu... Hayaning tak akan pernah melupakannya.

•••

"Rose..."

Ben bergumam pelan, menatap satu tangkai mawar merah yang terdiam dalam vasnya. Jemarinya yang kokoh menyentuh leher botol minuman beralkohol, menuangkan nya kedalam gelas lalu dengan gerakan lambat, ia kembali meneguk isinya. Rasa panas mengalir di tenggorokannya, tetapi tak cukup untuk menghangatkan kekosongan yang menguasai dadanya.

Malam semakin larut, tapi Ben tak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus dipenuhi bayangan Hayaning—wajahnya yang dingin, sorot matanya yang seolah membangun tembok tak kasatmata di antara mereka. Ada resah yang bersemayam di benaknya, sesuatu yang membuatnya gelisah.

Ben tidak menyukai ini—tidak menyukai bagaimana Hayaning mengasingkan diri, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesunyian seolah dunia di sekitarnya tak lagi berarti.

Ia menghela napas panjang, menekan rasa gelisah yang semakin menghimpit. Jemarinya secara refleks meremas gelas di tangannya, sementara pikirannya terus berputar pada satu nama.

"Hayaning..." gumamnya pelan. Entah sudah keberapa kali ia menggaungkan nama itu malam ini, namun tetap saja, ia tidak bisa berhenti.

1
Nurul Halimah
kok blum up2 ya bolak blik buka blom up2 juga penasarn kisah slanjutnya
Nurul Halimah
lagi nungguin up nya thor
Indah Widi
keren thor,,,👍
di tunggu bab selanjutnya 💪😊
yumi chan
km hrs bisa mjauhi ben haya...biarlh ben yg mndrita karna terluka dgn kt2nya sndri jgn jd wnita yg lmh karna cinta..
yumi chan
jgn bdh hya pergilh jauh..bt apa km berthn dgn orng yg gk mau srius dgn km...bknkh ben sm jga dgn adipti..bt apa km msh berhrp pdnya
yumi chan
dsr km bdh hya mau aja sm lk2 bjnign kyk bnji
Nurul Halimah
bagus bnget sampai ngerasain gmna jadi si little rose karakternya okeee
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!