Seorang gadis yang menikah dengan seorang Ustadz paling populer di pesantren nya, Dia begitu tidak menyukai dengan pernikahnya itu di karenakan ia masih belum ingin membina rumah tangga, dialah Siti Maura Mubarokah, yang lebih akrab di sapa Sima, singakatan dari Siti Maura.
Akan kah dia bisa ikhlas menjalani dan menerima pernikahanya, atau kah dia memilih mangakhiri saja hubungan pernikahan nya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shuci Icuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggilan Sayang
Maura dan Bejo sampai di Rumah Abah pukul tiga tiga puluh, sudah banyak kerabat yang datang sehingga suasananya sangat ramai.
Husni dan Diana menyambut kedatangan Maura dan Bejo dengan senyuman hangat, Maura langsung menuju ke kamarnya untuk meletakkan barang barangnya yang ia bawa karena ia sudah bilang pada Bejo jika ia ingin tinggal beberpa hari disini.
Sementara Bejo membawa buah buahan yang mereka beli tadi ke dapur agar bisa di hidangkan dan di makan.
Saat masuk ke dalam dapur semua orang heboh karena melihat kedatangan Bejo.
"Masya Allah, aku kira semua cerita itu cuma hoax ternyata benar nyata, dia sangat tampan persis kayak aktor korea ya." Celetuk salah satu santri yang ikut membantu memasak untuk acara nanti malam.
Bejo yang mendengar hanya tersenyum dan menunduk, ia segera pergi dari dapur karena merasa horor di tatap oleh semua orang yang tengah memegang pisau untuk masak masak itu.
"Muka kamu kenapa, kok kayak ketakutan begitu?" tanya Maura saat berpapasan dengan Bejo.
"Iya takut di cincanng." Sahut Bejo yang membuat Maura bingung.
"Maksudnya?"
"Gak ada maksud apa apa, kamu mau kemana?" tanya Bejo melihat Maura.
"Mau nemuin Ummik, mau soanlah."
"Ya sudah, ayo." Bejo mendorong Maura untuk jalan lebih dulu.
Maura tidak menghiraukan sikap Bejo tersebut dan memilih abai saja. Di depan pintu kamar Ummik, Maura mengetukknya serta mengucap salam.
Tak berselang lama pintu pun di buka oleh Marsya. ternyata Marsya tengah berada di dalam kamar Ummik.
Dengan tatapan tidak suka Marsya bertanya.
"Nagpain kamu datang kesini, sudah gak ada tempat kamu disini." ketus Marya yang membuat Maura mengela nafasnya berat.
"Aku hanya mau bertemu sama Ummik."
"Ummi gak mau ketemu sama kamu, lagian kamu itu bukan bagian keluarga ini lagi, gak perlu kamu datang kesini lagi." Tukas Marsya dengan nada yang tajam.
"Maaf, bisakah anda tidak berbicara kasar pada Siti walau bagaimanapun, dia dibesarkan disini kalaupun Siti harus pergk dari sini, setidaknya, biarkan dia pamit pada Ummik yang sudah membesarkanya selama ini." Sahut Bejo yang mau tak mau harus ikut campur dalam urusan keluarga Siti, melihat wajah sedih Maura entah mengapa ada rasa tidak tega di hatinya dan ingin sekali ia membelanya.
"Ummi tidak ada di dalam, Ummi lagi pergi ke makam Abah, sama mbk ani. Baguslah kalau kamu sadar diri mau pergi daru sini, dan jangan kembali lagi setelah itu." Marsya membanting keras pintu kamar Abah yang sekarang hanya di tempati oleh Ummik saja.
"Kamu yang sabar ya, kita tunggu ummi pulang, atau kamu mau menyusulnya sekalian kita ziarah ke makam Abah sekarang?" tanya Bejo yang diangguki oleh Maura.
"Sebentar aku ambil bunganya dulu." Bejo bergegas pergi mengambil bunga untuk menyekar ke makam Abah yang mereka beli dalam perjalanan tadi.
Sesampainya di makam, Maura melihat Ummik dan Mbk Ani tengah duduk di samping makam Abah, terlihat isak tangis Ummi, Maura jadi ikutan menangis, tapi sebisa mungkin ia tahan agar tidak terlihat di depan Ummik.
"Assalamu alaikum Ummik, Mbak Ani." Sapa Maura begitu sampai di Makam Abah.
Mereka berdua menjawab seraya memandang pada Maura.
Ummik terus memandang Maura kemudian mengajak Ani pulang, tetapi sebelum itu ia berkata.
"Nanti malam setelah acara temui Ummi ada yang ingin Ummi sampaikan padamu." setelah mengatakan hal itu Ummi dan Mbak Ani lantas pergi dari area makam.
Maura hanya bisa menganggukkan kepalanya serta menangis di depan makam sang Abah.
Bejo membiarkan Maura menagis untuk meluapkan rasa rindunya pada sang Abah, Bejo memilih diam mendengarkan keluh kesah Maura sepeninggal Abah Husain.
Tidak lupa Bejo menaburkan bunga yang telah ia bawa tadi.
"Abah, Maura janji sama Abah, Maura akan jadi orang yang lebih baik lagi, dan juga akan belajar menerima laki laki yang meburut abah pantas untuk Maura. Tapi untuk saat ini Maura masih belum bisa melakukan kewajiban Maura Bah, Maura masih takut, karena masih belum mengenal Bejo dengan baik," ungkap Maura dalam hati.
"Tapi Maura janji, seperti abah yang selalu setia, Maura juga akan berusaha mencintainya setra menjadi setia hanya bersama denganya." Lanjut Maura dalam hati.
"Sudah jangan melamun terus tar kesambet loh, ini kan kuburan kalau kamu kesambet aku tinggal disini." Kata bejo yang membuat Maura jengah.
Plak,
"Kamu ya, ada istri lagi sedih malah di ledekin terus mau di tinggalin pula, suami macam apa kamu." Kecam Maura dengan wajah garangnya.
"Siap suruh kamu melamun, Abah lihat putrimu ini suka melamun, gak papa kan ya kalau aku tinggal dia pas kerasukan hantu." Selorah Bejo yan membuat Maura semakin kesal.
Plak,
Plak,
Plak,
Maura terus menerus memukul lengan Bejo sehingga Bejo mengeluh kesakitan, tetapi dalm bibirnya tersunggingkan senyuman.
Bejo lebih suka jika Maura berbicara ataupun marah, dibanding kan melamun, kalau beneran kerasukan kan bisa gaswat.
Untuk menghentikan pukulan Maura Bejo memluknya, mendekapnya dengan hangat seraya berkata.
"Permintaan mu untuk tinggal di rumah abah berberapa hari, sepertinya tidak bisa aku kabulkan, melihat saudari mu yang seperti itu, aku sudah putuskan jika kita akan langsung bulang setelah kamu berbicara dengan Ummik."
"Tapi kan, itu akan sangat malam kalau kita pulang, apa gak ke malaman, belum lagi barang kita lumayan loh, satu koper." Maura mendongakkan keplanya dengan tetap berada di pelukan Bejo.
"Tidak masalah hanya satu koper saja kan, yang lainya tinggalkan saja disni, bawa yang penting saja, kamu sudah menjadi istriku yang berarti tanggung jawabku, aku tidak suka dengan perkataan saudarimu yang kasar itu, aku yakin Abah pun tidak akan marah jika aku mengambil keputusan ini."
"Baiklah, terserah padamu, aku nurut aja. Dan bisa gak jangan ambil kesempatan dalam kesempitan," ucap Maura yang mendapat kerutan kening dari Bejo.
"Kesempatan dalam kesempitan maksudnya?" tanya bejo gak paham.
"Ini bisa lepas gak pelukannya, malu kalau ada yang lihat, di kuburan main peluk pelukan."
Bejo langsung melepaskan pelukanya, meskipun sebenarnya ia tidak rela sih, entah mengapa ia tidak rela pelukannya berakhir, apa mungkin sudah ada benih cinta. Mungkin.
"Mana ada kesempatan dalam kesempitan, aku suamimu, gak ada namanya kesempatan dalam kesempitan, yang ada memanfaatkan setiap kesempatan."
"Sama aja itu mah," dengus Maura yang diam diam merasa lucu dengan perkataan Bejo yang hampir sama dengan orang mesum.
"Sudahlah udah sah, gak usah malu, malu kalau kita belum menikah. Oh iya kata Bang Husni surat nikah kita sudah jadi, dan sudah ada di tanganya nanti akan aku minta, kmu pegang satu dan aku pegang satu bagaiman menurut kamu, atau biar aku semuanya yang pegang."
"Kamu aja yang pegang, nanti kalau aku yang pegang mau aku taruh dimana tuh surat, di asrama pasti ketahuan sama anak anak, mereka suka seenaknya buka lemari ku."
"Baiklah, oh iya kamu belum pernah loh panggil saya dengan sebuah sebutan, hanya aku kamu saja. Atau gak Mas. Panggil deh yang lain sayang, baby, hany, atau apa gitu."
"Maksudnya apa?"
"Panggilan sayang Begitu," ucap Bejo seraya memainkan kedua alisnya.
"What, gak mau, ngarep ya kamu. aku panggil kamu ustadz aja," jawab Maura seraya berjalan duluan ke dalam mobil tidak mau ketahuan pipinya memerah karena malu, malu di suruh membuat panggilan sayang.
"Ah malah kabur, Sayang." Panggil Bejo menggoda Maura.
"Pasti wajahnya merah tu, penasaran semenggemaskan apa kalau dia lagi malu." Batin Bejo dengan senyum dibibirnya.