Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
AUTHOR POV – APARTEMEN
Amira nggak bisa duduk tenang. Sejak Zayn bilang mau keluar sebentar, HP-nya sepi. Satu jam lewat. Dua jam lewat. Chat cuma centang satu.
Rasa gelisah menjerat dadanya kayak tali yang kenceng. Dia jalan mondar-mandir, akhirnya ambil kerudung, niat keluar cari udara segar. “Aku harus tenang. Aku harus ke masjid,” bisiknya pelan.
Dia turun ke parkiran, pesan ojek online. Tapi begitu sampai di gerbang apartemen, sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depannya. Dua motor gede ikut mengapit, mesin meraung kayak singa lapar.
Jendela mobil perlahan turun. Dari dalam, muncul wajah Robi. Senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang bikin udara sekitar dingin mendadak.
“Amira…” suaranya rendah, nyaring di telinga. “Lo nggak pengen liat Zayn lagi?”
Amira membeku. “Apa… maksud lo?”
Robi ambil HP dari kantong jaket, tunjukin layar ponselnya.
Sebuah foto.
Foto itu jelas: Zayn duduk di sofa VIP Club Luna, kemeja hitam ketat, sorot mata dingin. Di sampingnya… Syifa. Gaun hitam pas badan, bahu terbuka, senyum sensual, jarak wajah mereka cuma sejengkal. Angle foto itu cukup bikin semua orang mikir yang nggak-nggak.
“Astagfirullah…” Amira gemetar. Jantungnya kayak berhenti berdetak.
“Gue tau lo nggak akan percaya... tapi gue yakin lo pengen bukti,” Robi melangkah keluar, bisikannya halus tapi beracun. “Gue bisa bawa lo ke sana. Sekarang. Biar lo liat sendiri apa yang dia lakuin di belakang lo.”
Air mata Amira jatuh. Tangannya gemetar sampai nggak bisa nekan layar HP. Dia lihat foto itu lagi.
“Enggak mungkin… Zayn nggak mungkin kayak gitu…” gumamnya, tapi hatinya goyah.
Robi ulur tangan pura-pura lembut. “Kalau lo pengen tau kebenarannya, ikut gue.”
Amira, dalam kekalutan, melangkah. Satu langkah… dua langkah… sampai tiba-tiba—
BRUK!
Pintu mobil dibuka kasar. Dua cowok Brightzone turun, serempak menarik lengannya.
“Eh! Lepasin!” Amira panik, meronta. “Robi! Lo bohong!”
Robi senyum dingin, menatapnya kayak mainan baru. “Gue janji lo bakal ketemu dia, Sayang… tapi setelah lo jadi senjata gue.”
Kain hitam nutupin matanya. Bau obat menyengat masuk hidung. Napasnya terputus, tubuhnya melemas. Dunia Amira gelap.
Robi bersandar ke pintu mobil, nyalain rokok. Api korek memantul di matanya yang dingin.
“Zayn…” gumamnya pelan, senyum setan merayap di bibirnya. “Lo pikir lo bisa menang dari gue? Lo bakal gue bikin ngemis malam ini.”
Dia ambil HP, rekam video Amira yang pingsan dengan ikatan di tangan dan kain di mata. Kirim ke Zayn dengan caption:
“Selamat datang di babak berikutnya, Bro.”
AUTHOR POV – CLUB LUNA, MALAM
Lampu ungu dan biru berganti, musik berdentum. Zayn baru mau keluar setelah Syifa gagal bikin dia bertahan. Tapi HP-nya bergetar. Notifikasi masuk.
Dia buka. Dan darahnya mendidih.
Video singkat: Amira di jok belakang mobil, tangan terikat, mulut disumpal, mata tertutup kain.
“Kalau lo cowok sejati, datang sendiri. Gue tunggu. Atau… cewek lo bakal balik tinggal nama.” isi pesan yang dikirim Robi ke Zayn.
Nafas Zayn memburu. Dunia seakan runtuh di atas kepalanya. Otot rahang mengeras sampai giginya berderak. Tangan yang menggenggam HP gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah.
“Robi… demi Allah, lo udah buka pintu neraka buat diri lo.”
Dia buang gelas di meja, berdiri mendadak. Syifa nyaris tersentak lihat tatapan mata Zayn yang berubah jadi bara.
“Zayn…” Syifa panggil, pura-pura polos. “Kenapa?”
Zayn cuma balas satu kalimat dingin:
“Lo salah orang buat lu mainin.”
Dia putar badan, keluar VIP dengan langkah panjang. Pintu dibanting keras. Musik club ketelan suara raungan mesin motor di luar.
AUTHOR POV – JALANAN MALAM
Jakarta larut malam. Jalanan basah sisa hujan. Lampu-lampu kota blur jadi garis panjang karena kecepatan motor.
Zayn ngebut kayak orang kesurupan. Speedometer mentok. Knalpot meraung kayak binatang buas lapar darah. Helm full-face nutup wajah, tapi sorot matanya merah membakar.
HP-nya di holder, masih nyala dengan video Amira. Nafasnya berat. Kata-kata doa terputar di kepalanya:
“Ya Allah… kalau malam ini harus ada darah yang jatuh, biar itu darah gue. Asal jangan dia.”
Suara interkom nyala. Fatah:
“BRO! Kita liat lo keluar kayak kesetanan. Lo pikir kita biarin lo mati sendirian?”
Zayn jawab pelan tapi penuh baja:
“Ini masalah gue.”
Reza nimbrung. “Kalau lo mati, kita bubar, Bro. Jadi jangan halangin kita.”
Zayn diem sebentar. Tarik napas, lalu jawab:
“Lo boleh ikut. Tapi lo semua bayangan. Jangan maju kalau gue nggak bilang.”
Empat suara ketawa dingin di interkom.
“Siap kapten.”
Lima motor Stardom melesat bareng. Lampu-lampu kota berkelebat. Jalanan Jakarta jadi trek menuju neraka.
Robi kirim pesan kedua ke Zayn:
“Lo punya waktu 30 menit. Kalau lewat, gue main kotor sama dia.”
Zayn gas lagi sampai jarum speedometer nempel di ujung.
MARKAS BRIGHTZONE
Lampu redup menyala samar. Bau rokok dan alkohol menusuk. Suara bass EDM menggetarkan lantai.
Di pojok, kursi besi jadi tahta siksaan malam ini. Amira duduk di sana. Mata tertutup kain hitam, tangan diikat kasar. Nafasnya memburu, pundaknya gemetar.
Ketika kain penutup mata dilepas, cahaya lampu redup langsung menusuk retina. Dunia kabur beberapa detik sebelum jadi jelas: dinding graffiti, meja penuh botol, dan wajah Robi yang duduk santai di depannya.
Robi senyum. Senyum itu… bukan senyum manusia biasa.
“Selamat datang di dunia gue, Amira.” Suaranya tenang, tapi dingin. “Gimana rasanya jauh dari zona nyaman lo?”
Amira tarik napas dalam, suara bergetar. “Kenapa… lo lakuin ini?”
Robi jongkok, sejajar mata. Sepatunya di hentakkan di lantai besi, bunyinya bikin bulu kuduk berdiri.
“Kenapa? Karena gue benci orang yang pura-pura suci. Dan Zayn…” dia sentuh dagu Amira pelan, bikin gadis itu menoleh. “…sok jadi pahlawan. Gue pengen liat dia ngemis demi lo.”
Amira menahan air mata, bibirnya gemetar. “Lo… nggak akan menang. Zayn bakal datang.”
Robi bisik di telinganya.
“Gue harap dia datang. Karena malam ini… gue akan rebut semua yang dia punya.”
HALAMAN GUDANG
Malam Jakarta mati di sekitar gudang tua ini. Lampu jalan redup, suara jangkrik kalah sama raungan motor Stardom yang berhenti mendadak di depan pintu besi berkarat.
Zayn lompat turun. Helm mental ke tanah, dentumannya nyaring. Nafasnya berat, matanya merah, sorotnya tajam kayak bilah baja. Jaket kulitnya basah keringat, tapi dia nggak peduli. Semua yang ada di otaknya cuma satu: Amira.
Tangan kanan Zayn mengepalkan tangannya erat, rantai baja dililit ke pergelangan sampai bunyi gesek logamnya bikin bulu kuduk merinding. Otot lengan kenceng, urat menonjol.
Fatah turun, matiin mesin motor. Tarik knuckle chrome dari kantong. “Bro… ini kandang singa. Mereka udah siap perang.”
Zayn nggak jawab. Dia cuma putar rantai, sekali ayun sampai bunyinya nyaring memantul di udara.
“Kalau gue bilang maju, maju. Kalau gue bilang jangan campur… jangan campur.” Suaranya dalam, dingin, bikin anak Stardom saling lirik.
Reza nyeletuk, nada sinis tapi tegang. “Kalau lo mati duluan, Bro, kita bakal bubar.”
Zayn noleh pelan. Tatapan itu… bikin Reza nutup mulut seketika.
“Gue nggak akan mati sebelum bawa dia pulang.”
BRUK!
Tendangan Zayn bikin pintu besi bergetar keras. Suara dentuman memantul, kayak gong perang yang menjadi tanda awal pertumpahan darah.
Dari dalam, suara Robi ketawa pelan. Berat, beracun.
Pintu kebuka perlahan. Cahaya lampu kuning redup tumpah keluar, bersama aroma rokok dan alkohol yang menusuk.
Tiga orang pertama keluar: Juno, Bara, Andre. Lengkap dengan knuckle, baseball bat, dan tatapan lapar darah. Di belakang mereka, sosok Robi muncul. Jaket hitam, rokok di bibir, tatapan licik kayak setan siap mangsa.
Dan… di belakang Robi, pintu kecil terbuka sedikit. Bayangan Amira kelihatan. Terikat, duduk di kursi besi. Rambutnya berantakan, jilbabnya miring, mata tertutup kain. Nafas Zayn berhenti sepersekian detik. Dadanya sesak… lalu terbakar.
Robi senyum miring. “Lo nyampe juga, Bro. Pas banget. Kita lagi nyiapin pesta.”
Zayn maju satu langkah, suaranya berat. “Lepasin dia.”
Robi ketawa, buang abu rokok. “Gue bakal lepasin… kalau lo bisa keluar dari sini hidup-hidup.”
DOR!
Pintu gudang dibanting nutup. Dari dalam, suara gemeretak rantai dan geser besi. Anak Brightzone lain bermunculan dari bayang-bayang, bikin lingkaran setan.
Lampu jalan mati satu-satu. Tinggal cahaya neon rusak yang kedip-kedip kayak detak jantung. Udara bau karat dan darah masa depan.
Fatah bisik ke Zayn, gigi terkatup rapat. “Ini perang.”
Zayn nggak jawab. Dia maju duluan.
PERTEMPURAN
BRAK!
Besi ketemu knuckle. Percikan api kecil terbang waktu rantai Zayn nabrak bat Juno. Suara logam bentur logam bikin udara pecah.
“ARGH!” Bara terhuyung kena pukul Fatah di rahang. Darah muncrat, bercampur liur.
Andre lompat, ayun bat ke arah Zayn. Zayn nunduk, banting rantai ke betis Andre.
CRACK!
Suara tulang pecah terdengar jelas. Andre jatuh terjerembab, teriakannya melengking.
Reza nyaris kena tebasan botol pecah kalau nggak ditangkis Rafi. Potongan kaca mental, nyayat pipi Rafi. Darahnya netes tapi dia ketawa miring. “Sedikit lagi lo kena, anjing!”
Fatah dan Bara saling baku hantam. Knuckle menghantam perut, tinju nabrak rahang. Bau darah makin kuat, campur asap rokok dan keringat.
Tapi pusat perhatian tetap satu: Zayn.
Dia kayak mesin perang. Rantai baja di tangannya muter, nabrak satu, dua, tiga lawan. Setiap pukulannya bikin tubuh melayang, bikin tulang berbunyi. Jaket kulitnya sobek, pelipisnya robek—darah ngalir, tapi tatapannya nggak padam. Malah makin panas.
Robi berdiri di ambang pintu, nonton kayak sutradara nonton adegan klimaks filmnya. Dia nyalain rokok lain, senyum setipis silet.
“Main yang bersih, Bro!” teriaknya. “Kalau lo mati sebelum ketemu gue… sayang banget.”
Zayn nepis pukulan terakhir, ayun rantai ke batang leher Juno. Cowok itu tumbang, pingsan di lantai beton. Nafas Zayn ngos-ngosan, darah netes dari pelipisnya sampai rahang.
Dia jalan maju. Setiap langkah ninggalin jejak darah di lantai.
POV AMIRA
Tali di tangan bikin perih sampai kulit luka. Nafas pendek-pendek. Suara benturan besi dan teriakan dari luar bikin jantungku mau copot.
“Ya Allah… lindungi dia. Jangan biarkan Zayn terluka karena aku. Kalau harus ada yang jatuh… biar aku. Asal dia selamat.”
Air mata jatuh diam-diam. Suara pintu kebuka bikin aku mendongak.
Robi masuk lagi. Pisau lipat di tangan, berkilau kena cahaya neon. Senyumnya lebih gelap dari malam.
“Cantik…” dia jongkok sejajar. Tatapannya bikin napas tercekat. “Lo mau tau rahasia kecil?”
Aku nahan napas. Bibirku gemetar. “Apa…?”
Dia bisik di telingaku. Suaranya pelan tapi bikin darahku berhenti mengalir.
“Syifa… dia sedarah sama gue. Dia kembaran gue.”
Aku terbelalak. Dunia berhenti. “A… apa…?”
Robi ketawa keras, menggema di ruangan sempit ini. “Lucu, kan? Lo pikir dunia ini cuma hitam putih? Cewek alim vs cewek nakal? Surprise, Sayang. Lo lagi jadi pion di perang keluarga.”
Aku nggak bisa napas. Kepalaku berat. Tapi sebelum aku bisa teriak, Robi cengkeram rahangku pakai keras sampai pipiku sakit. Dia arahin kamera HP ke mukaku.
“Sekarang bilang ke kamera: Zayn, tolong gue. Atau gue potong urat lo satu-satu.”
Aku geleng, air mata jatuh. “Aku nggak mau dia datang buat mati…”
Robi senyum miring, nyorot mata dingin. “Lo nggak punya pilihan, Amira.”
AUTHOR POV–HALAMAN GUDANG
Zayn ngehantam dua lawan terakhir sampai mereka nyungsep ke tumpukan besi tua. Nafasnya berat, darah netes ke tanah. Rantai baja dilumuri noda merah, berkilau kayak senjata iblis.
Robi pelan-pelan jalan keluar, tepuk tangan pelan.
“Gue salut, Bro. Lo bikin anak buah gue tidur semua. Tapi lo telat.”
Dia angkat HP, tunjukin layar. Zayn berhenti.
Di layar: Amira. Tangannya terikat, jilbabnya miring, pisau menempel di leher. Mata basah.
Robi ngomong pelan, tiap kata kayak petir.
“Langkah salah satu lagi… dan gue potong napasnya.”
Zayn ngepal tangan sampai buku-buku jarinya putih. Nafasnya seperti api.
“Robi… demi Allah, kalau lo sentuh satu helai rambut dia… lo nggak bakal sempet nyesel.”
Robi ketawa kecil. “Lo kira gue takut sumpah lo? Gue nggak main sumpah, Bro. Gue main fakta.”
Dia melangkah mundur, masuk ke ruangan dalam. Zayn ikuti, napas berat. Fatah dan anak Stardom maju, tapi Zayn angkat tangan.
“Jangan ikut. Ini urusan gue.”
RUANG INTI MARKAS
Pintu besi kebuka keras. Zayn masuk. Cahaya lampu neon yang redup nyorot ke tubuh Amira di kursi, tangan terikat, wajah sembab. Napas Zayn terhenti sesaat. Mata merahnya nyala lagi, kali ini lebih ganas.
Robi berdiri di belakang Amira, pisau di tangannya. Pisau itu menempel di kulit leher Amira. Setetes darah tipis udah turun.
“Lepasin dia,” suara Zayn berat, kayak raungan binatang.
Robi senyum setipis silet. “Gue bakal lepasin… kalau lo bisa bikin gue kalah malam ini.”
Tiba-tiba—
SYIFA MUNCUL. Dari sisi ruangan, pakai hoodie hitam. Mata gelisah, bibirnya gemetar. Dia nggak nyangka situasi sebrutal ini.
“Robi… jangan keterlaluan.” Suaranya bergetar. “Ini bukan rencana kita.”
Robi noleh, tatapan tajam. “Diam, Syifa. Lo udah main sejauh ini, jangan sok suci.”
Amira liat Syifa, mata melebar. Syifa balas tatap, dan untuk pertama kalinya… ada rasa bersalah di wajah Syifa.
Zayn lihat itu. Potongan puzzle mulai nyatu di kepalanya. Rahangnya makin keras.
“Kalian berdua… KEMBAR?.”
Robi ketawa puas. “Welcome to the real game, Bro.”
Dia angkat pisau, nyorot cahaya neon. Tatap Zayn, bibirnya melengkung.
“Malam ini… cuma ada satu yang keluar hidup-hidup.”
ENDING BAB 28:
Kamera mental ke wajah Zayn. Sorot matanya tajam, rahang keras, tangan siap hajar.
Kamera cut ke Robi: pisau di leher Amira.
Suara terakhir:
“Game over? Belum, Bro. Game baru aja dimulai.”
To Be Continued...🫶✨️