Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
“Jadi, kamu tidak tampak beberapa hari ini karena pergi ke kota ya? Apa yang kamu cari di sana, Kara?”
“Banyak, om! Aku cari banyak hal! Yang paling utama, aku cari tahu siapa sebenarnya orangtua aku. Bagaimana kisah mereka dan siapa yang sudah menghabisi mereka. Dan oom mau tahu apa yang aku dapat?” sahut Sangakara sekaligus berbalik tanya pada dokter Adit. “Aku dapat semuanya, om! Aku dapat semua jawaban yang ingin aku tahu. Bahkan aku tahu rencana jahat yang ingin mereka lakukan lagi,” sambung Sangkara tersenyum puas.
“Sangakara…”
“Kenapa, om? Mungkin tujuan oom memilih dinas di desa-desa untuk mencari keberadaan emak yang sudah berganti identitas. Sedangkan aku ke kota ingin mencari tahu semuanya. Bukan tanpa alasan, om. Aku melakukan ini semua karena wasiat abah. Termasuk mengakui oom sebagai oom aku!”
Dahi dokter Adit mengernyit bingung. Sangakara yang melihat hal itu, langsung berdiri. Dia masuk ke dalam kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah kotak kayu berukuran sedang.
“Silakan kalau oom mau lihat sendiri!” ujar Sangkara. “Di dalam sana lengkap kok! Dan terimakasih, om. Karena oom, aku jadi ingat petunjuk yang abah berikan sebelum aku berangkat jadi TKI.”
Dokter Adit tidak menjawab atau menanggapi perkataan Sangkara. Dia fokus melihat isi kotak yang di tunjukkan oleh Sangkara. Tanpa sadar airmatanya mengalir melewati pipi. Dokter muda tersebut menangis, dadanya terasa sesak melihat isi kotak tersebut. Rasa kangen, rindu terhadap kakaknya semakin mendalam. Dan sayangnya, semua rasa yang di rasakan oleh dokter Adit tidak bisa di luapkan atau curahkan kepada sang kakak. Karena sang kakak sudah terlebih dahulu pergi selamanya.
“Kak Naya…” lirih dokter Adit memeluk erat foto keluarganya yang tersimpan rapi dalam kotak tersebut.
Sangkara membiarkan dokter muda itu meluapkan semuanya. Dia hanya duduk dan melihat saja, sampai dokter tersebut merasa baikan.
“Sssssst… Kara… Kara! Kamu ada di dalam rumah kan? Aku boleh masuk gak? Misi yang kamu kasih sama aku udah hampir selesai!”
Dokter Adit yang tengah menangis, langsung tersentak. Dia menoleh cepat kearah Sangkara yang sudah berdiri dan berjalan kearah dekat jendela.
“Allahu Akbar!!!” seru dokter Adit, jatuh terduduk di lantai. Dia sangat terkejut melihat sosok yang ada di balik jendela rumah Sangkara.
“Ha-hantu!”
“Kara, ada orang ya?” tanya sosok yang berdandan layaknya hantu tersebut. “Eh, bukannya dokter Adit? Dokter di puskesmas kita kan?”
Kepala Sangkara mengangguk, “masuk giih!!!”
“Gak apa-apa nih?”
“Dia pasti berpihak pada kita!” ujar Sangkara.
Sosok yang berdandan sebagai hantu itu melompat dan masuk ke dalam rumah Sangkara melalui jendela rumah. Dia sempat-sempatnya menyapa dokter Adit yang masih terduduk di lantai.
“Malam menjelang pagi, dok! Gak dingin duduk di lantai, dok?” sapa sosok tersebut.
“Ka-kamu siapa?”
Sosok itu membuka rambut palsu yang dia gunakan untuk menakuti kepala desa dan warga sekitar. “Saya Dika, dok. Warga desa ini juga sekaligus sahabatnya Sangkara. Gak usah takut, dok. Saya masih manusia, belum berniat menjadi setan!” sahut Dika santai.
Kepala dokter Adit menoleh dan menatap keponakannya dengan penuh tanda tanya, “Sangkara???”
“Nanti aku ceritakan, om! Santai dulu yaaa?” sahut Sangakara santai.
Braaaak… Braaaak… Braaaak…
Baru saja duduk, Sangkara harus kembali berdiri. Matanya menatap tajam kearah pintu rumahnya yang di gebrak dari luar. Dia bersikap waspada jika sesuatu yang tidak di inginkan terjadi.
“Bang…! Ini aku! Buka, bang!” seru seseorang yang berada di luar.
“Buka aja Kara. Mungkin itu Indra!” celetuk Dika yang keluar dari dapur Sangkara dengan membawa segelas kopi.
Perlahan dan penuh hati-hati, Sangakara berjalan menuju kearah pintu rumahnya. Dan ketika pintu dia buka, sosok poncong langsung melompat tinggi. Dan hampir saja terjerembab jatuh jika tidak di tahan oleh dokter Adit.
“Po-pocong!”
“Bukan, aku Indra. Bukan pocong!” sahut sang pocong santai. “Eh, aku pocong deng! Aku pocongnya Dadang! Hihihihi!” ralat Indra ketika mengetahui jika yang menahannya adalah orang lain. Yang bukan bagian dari rencana mereka.
“Sangkaraaaa, to-tolong…”
“Ndra, udah!!!” seru Sangkara melihat wajah oomnya tampak pucat.
Indra melompat menjauh dari dokter Adit. Dia melepaskan kain yang membuatnya mirip menjadi pocong, lalu duduk di salah satu kursi yang ada di rumah Sangkara. Tampak jelas jika dirinya sangat kelelahan.
“Aku tadi di kejar, makanya aku lari cepat ke sini!” ungkap Indra setelah mengatur napasnya.
“Di kejar? Di kejar siapa?” tanya Sangakara penasaran.
“Anjing, bang! Entah sejak kapan warga di sini memelihara Anjing. Sialan banget!”
Sangkara menarik napas sambil memejamkan matanya. Dua orang laki-laki yang membantunya itu terkadang harus membuatnya mengelus dada.
“Maaf, yang pelihara anjing itu saya. Soalnya sebagai jaga-jaga, biar saya tidak di takuti oleh hantu,” celetuk dokter Adit pelan.
Indra dan Dika menoleh cepat kearah dokter Adit. “Waaaah, dokter paraaah banget! Bagaimana kalau aku di gigit anjing milik dokter? Terus saya rabies dan mati? Emang dokter mau tanggung jawab?” cerca Indra.
“Lah saya kan gak tahu kalau yang jadi hantu itu kamu dan Dika. Saya kira hantu yang bergentayangan itu adalah hantu asli. Lagian kenapa kalian pura-pura jadi hantu? Kalian tahu perbuatan kalian membuat kepala desa dan warga di sini menjadi takut?”
“Itu emang tujuan kita, om!” timpal Sangkara santai.
“OM???” seru Indra dan Dika secara bersamaan.
Sangakara tersenyum tipis, “iya, dokter Adit adalah oom aku. Alias adek dari emak Lilis atau emak Naya. Maaf, baru kasih tahu kalian berdua fakta ini. Karena memang saat aku tahu fakta ini, aku langsung ke kota. Menyelamati mang Dirman dan keluarganya dan mencari tahu serta memastikan semuanya.”
Indra dan Dika saling tatap, lalu menganggukkan kepalanya. Mereka percaya dengan apa yang di kataka oleh Sangkara, karena mereka sekilas mata mereka melihat isi kotak yang ada di depan mereka.
“Dan om, mengapa kami melakukan ini? Kami, terutama aku ingin membalas semua perbuatan kepala desa dan warga. Hanya demi penghargaan desa teraman, kematian keluarga aku di sembunyikan. Kematian keluarga aku di anggap sebagai sebuah aib, yang tidak boleh di ketahui oleh dunia luar. Kematian keluarga aku, tidak boleh diselidiki oleh kepolisian. Padahal kematian keluarga aku sangatlah tragis.”
“Om, tahu kan kalau Rara, adek aku sekaligus keponakan perempuan di tusuk hingga tewas dan mayatnya tergeletak di atas sofa. Begitu juga dengan abah, di tusuk dan mayatnya tergelat di lantai. Dan emak, kakak kandung oom. Beliau mati di bunuh, mungkin sebelum mati dan sesudah mati dia mengalami pelecehan. Dia di perkosa, om! Bayangkan emak yang sudah menjadi mayat saja di perkosa. Apakah aku tidak boleh marah? Apakah aku tidak boleh dendam??”
“Kara…” desis dokter Adit.
Sebenarnya sekilas dia tahu masalah keluarga Sangkara yang mati mengenaskan. Tapi, dia tidak tahu lebih rincinya. Namun sekarang, dia tahu bahkan emaknya Sangkara yang terkenal cantik dan lemah lembut itu adalah kakak kandungnya. Kakak kandungnya yang memilih pergi dari rumah. Kakak kandungnya yang selama ini sangat dia rindukan.
Kedua tangan doker Adit mengepal erat. Mendadak dadanya terasa sesak. Bukan hanya Sangkara saja yang merasa marah. Dirinya pun juga merasakan hal itu. Marah, dendam dan benci melebur menjadi satu.
“Saya akan bantu kalian!”
Semangat untuk authornya... 💪💪