Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Arsenio
Terik sinar matahari menimpa mobil hitam milik Dewangga saat baru berhenti di area parkir caffe. Udara Bandung yang sejuk sedikit bercampur aroma kopi dari dalam ruangan. Dewangga turun perlahan, sempat merapikan kemejanya sebelum menutup pintu mobil.
Belum sempat melangkah lebih jauh, langkah kaki berat terdengar mendekat cepat dari arah belakang. Suara sepatu kulit menghentak aspal parkiran, diiringi aura marah yang nyaris bisa dirasakan di udara.
Dewangga menoleh—dan seketika rahangnya mengencang saat mendapati Arsenio berdiri beberapa langkah darinya, mata pria muda itu menyala oleh amarah yang menahan diri terlalu lama.
Tanpa aba-aba, bughh!
Tinju Arsenio mendarat telak di pipi kiri Dewangga.
Benturan keras itu membuat kepala Dewangga sedikit terpelintir ke samping. Ia terdiam, hanya mengusap sudut bibirnya yang robek kecil, tanpa membalas sedikit pun.
Dari dalam caffe, Mentari yang baru saja menunggu pesanan, terlonjak kaget melihat keributan di luar. Matanya membulat saat melihat dua sosok pria yang ia kenal.
“Mas Dewangga?” suaranya tercekat, lalu ia langsung berlari keluar, menabrak kursi di tengah langkah paniknya.
Di luar, Arsenio yang masih terbakar emosi mencoba melayangkan pukulan kedua.
Dewangga menangkis cepat, menepis dengan satu gerakan tenang, suaranya rendah tapi tegas,
“Cukup, Arsen. Aku tak mau membuat keributan di tempat umum.”
“Keributan?” Arsenio mendengus keras, napasnya memburu. “Kau pikir aku diam saja setelah tahu kau merampas tunanganku?”
Dewangga memandangnya lurus, tanpa menghindar.
“Dia bukan milik siapa pun saat itu, Arsen. Termasuk aku.”
Tepat saat kata-kata itu jatuh, Mentari sampai di antara mereka, menatap keduanya dengan wajah tegang.
“Berhenti! Kalian berdua, berhenti!” serunya dengan nada parau.
Arsenio melirik cepat ke arah Mentari dan emosinya meledak lagi. Ia melangkah maju, hendak menarik pergelangan tangan gadis itu.
“Mentari, ikut aku! Kamu nggak tahu siapa dia sebenarnya!”
Namun gerakannya kalah cepat oleh Dewangga.
Dalam satu tarikan tenang tapi kuat, Dewangga menarik pinggang Mentari hingga tubuh gadis itu terhimpit dalam dekapan protektifnya. Tangan satunya menahan bahu Mentari agar tetap di belakang tubuhnya.
“Cukup, Arsen.” Suara Dewangga kali ini dalam, nyaris seperti peringatan. “Jangan sentuh yang sudah jadi milikku.”
Mentari terpaku. Jantungnya berdegup kacau di dada, aroma parfum maskulin Dewangga memenuhi inderanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa merasakan perlindungan yang anehnya membuatnya… tenang.
Arsenio menatap pemandangan itu dengan rahang menegang, pupil matanya mengecil oleh kemarahan.
“Berani sekali kau, Dewangga.”
Ia menunjuk mereka dengan telunjuk gemetar.
“Kau pikir hubungan kalian akan tenang setelah ini?”
Suara Arsenio rendah, tapi penuh ancaman dingin.
“Aku pastikan, kalian berdua tidak akan tenang. Tidak setelah ini.”
Ia berbalik, masuk ke mobilnya dengan gerakan kasar, lalu melajukan kendaraan itu dengan kecepatan tinggi, meninggalkan aroma ban terbakar dan perasaan tegang yang menggantung di udara.
Keheningan tiba-tiba menelan parkiran.
Mentari masih dalam dekapan Dewangga, bisa mendengar detak jantung pria itu yang berat tapi stabil.
Ia menatap wajah Dewangga yang masih menunduk sedikit, menahan napas panjang sebelum akhirnya melepaskan pelan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dewangga lembut, memecah senyap.
Mentari mengangguk pelan, meski matanya masih memerah karena shock.
“Harusnya aku yang tanya begitu…”
Dewangga tersenyum samar, menyentuh pipinya yang memar dengan ujung jari.
“Hanya sedikit luka kecil. Tapi yang barusan—jangan kamu pikir itu salahmu.”
Mentari menunduk, menggigit bibir, lalu berkata lirih,
“Dia marah karena aku…”
“Dia marah karena dia kalah,” sela Dewangga tenang.
Mentari menatapnya, sedikit terkejut. Tapi tatapan pria itu lembut, tidak penuh ego seperti yang ia bayangkan.
“Kamu tidak usah takut. Aku akan tangani ini,” katanya lagi, kali ini lebih rendah dan penuh keyakinan.
Mentari tak menjawab, hanya mengangguk perlahan. Hembusan angin menyibak helaian rambutnya, dan di balik ketegangan yang belum sepenuhnya reda, hatinya terasa bergetar aneh—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih hangat, lebih dalam.
Dua manusia berbeda generasi itu memasuki caffe dengan suasana yang terasa sedikit kikuk namun hangat. Pelayan yang melihat tanda lebam di pipi Dewangga langsung sigap ketika Mentari meminta kompres dingin.
“Mas… sini, biar aku obatin,” ucap Mentari pelan.
Dewangga duduk, sementara Mentari berdiri di sampingnya, menempelkan kompres dingin lembut pada pipinya. Setiap kali kain dingin itu menyentuh kulitnya, Dewangga sedikit meringis, tetapi tatapannya tidak berpaling dari wajah Mentari.
Justru semakin melihat cara Mentari menunduk sedikit, bibirnya yang mengerucut fokus, serta helai rambut yang jatuh ke pipinya, rasa sakit itu seakan menguap begitu saja. Yang tersisa hanya degup yang beralih menjadi lebih cepat.
“Mas, sakit ya?” tanya Mentari berbisik.
“Kalau kamu yang pegang, rasanya… tidak terlalu,” jawab Dewangga, separuh jujur separuh menggoda.
Mentari menahan senyum sambil pura-pura memelototinya. “Jangan bercanda.”
Beberapa detik kemudian mereka sama-sama terdiam, suasana di antara mereka seperti menghangat dengan sendirinya. Dewangga menelengkan kepala sedikit, matanya masih tidak lepas dari Mentari.
“Tari…” panggil Dewangga, suaranya rendah.
“Hm?” Mentari menggeser kompresnya.
“Untuk prewed nanti… kamu mau konsep seperti apa? Atau… apa pun itu soal persiapan pernikahan.”
Pertanyaan itu membuat tangan Mentari berhenti bergerak. Pipi gadis itu memerah pelan, bukan karena hawa panas, tapi karena kesadaran bahwa mereka sedang benar-benar membahas pernikahan—pernikahan yang hanya beberapa hari lalu tak pernah ia bayangkan.
“Aku… aku kepikiran mau bikin kebaya sendiri,” ucap Mentari malu-malu. “Modelnya aku rancang sendiri juga. Sederhana sih… tapi aku ingin kelihatan elegan.”
Dewangga tersenyum bangga. “Apa pun yang kamu buat, pasti bagus. Karena tangan calon istriku ini… selalu ajaib.”
Mentari semakin tersipu. “Mas jangan begitu…”
“Serius,” balas Dewangga, lembut namun tanpa ragu.
Mentari kembali duduk di depannya. “Kalau untuk gaun resepsi… kayaknya aku mau ambil dari D’Or Mode. Mereka baru keluarin koleksi limited, dan warnanya cakep banget. Iya kan, Mas?”
“Ambil yang kamu mau. Yang paling kamu suka,” sahut Dewangga mantap. “Semua harus terbaik untukmu.”
Setelah itu pembicaraan mengalir seperti sungai yang tenang. Mereka membahas lokasi prewed, dekor pilihan, rangkaian bunga, cincin, bahkan hal-hal kecil yang biasanya dilewati pasangan lain. Setiap kali Dewangga melemparkan pendapat, Mentari menimpalinya dengan ide yang lebih terperinci. Setiap kali Mentari ragu, Dewangga menenangkannya dengan suara lembut dan keyakinan penuh.
Caffe itu perlahan mulai sepi seiring sore berganti warna tembaga di jendela. Tapi mereka tak menyadari waktu berlalu begitu cepat. Bagi Dewangga, hari itu terasa seperti babak baru—meski pernikahan mereka dadakan, ada sesuatu tentang Mentari yang menghadirkan rasa nyaman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Mentari menatap pipinya yang mulai memudar merahnya. “Mas… masih sakit?”
“Sudah tidak terlalu,” jawab Dewangga sambil tersenyum kecil. “Sepertinya sudah sembuh kalau kamu ada di depan aku terus.”
Mentari mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. “Mas Dewangga ini… bisa aja.”
Mereka kembali larut dalam percakapan kecil tentang detail-detail resepsi, kadang tertawa, kadang saling mencuri tatapan. Hingga tak terasa, caffe telah penuh dengan cahaya senja yang lembut.
Dan tanpa mereka sadari… sore itu menjadi titik kecil tempat jarak di antara mereka perlahan menghilang.