Yuan Chen, seorang yatim-piatu yang hidup dilanda kemiskinan. Direndahkan, dikucilkan, dihina, dan diperlakukan tidak baik oleh semua orang, sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.
Di dunia yang mengandalkan kekuatan sebagai hal utama, Yuan Chen tak mempunyai kesempatan untuk berlatih, ia selalu sibuk setiap harinya hanya untuk mencari sesuap nasi.
Namun, kehidupannya perlahan berubah, di saat takdir mempertemukannya dengan seorang Kakek tua yang memberinya Batu Hitam yang memberikannya kekuatan dan menjadikannya sangat kuat. Dan saat itulah Yuan Chen pun bangkit dari keterpurukannya dan memulai perjalanannya di dunia kultivasi yang kejam ini. Inilah kisah Yuan Chen, seorang pemuda yang berhasil menguasai Tiga Alam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon APRILAH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yuan Chen
Saat fajar menyingsing, Yuan Chen terbangun. Setelah mencuci muka dan berkumur, ia mengambil sapu dari sudut ruangan dan berjalan keluar.
Ia berdiri di pintu dan meregangkan badan. Ia melirik fajar putih di cakrawala dan memejamkan mata untuk menikmati momen damai. Kemudian, ia membuka mata dan melambaikan sapu di tangannya, membenamkan diri membersihkan debu dan dedaunan gugur di tanah.
Ia mengenakan jubah hitam sederhana dan bersih, sementara jubah putih polosnya membuat pemuda itu tampak beberapa tahun lebih tua. Punggung Yuan Chen setegak lembing. Meskipun ia melakukan pekerjaan paling rendah, ekspresinya sangat teliti. Gerakannya tenang dan mantap. Ia tidak menggunakan banyak tenaga untuk memegang sapu, dan tubuhnya pun tak banyak bergerak. Hanya dengan gerakan pergelangan tangannya, sapu itu terasa seperti perpanjangan lengannya. Saat ia bergerak, debu dan puing di tanah bergerak secara ajaib seolah-olah telah menumbuhkan dua kaki.
Yuan Chen adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang berasal dari Desa Embun Pagi. Kini, dia berada di sebuah Akademi yang disebut sebagai Akademi Tujuh Warna. Namun, dia bukanlah murid dari akademi, melainkan dia bekerja sebagai tukang sapu dengan imbalan dua keping perak, cukup untuk membeli persediaan makanan selama tiga hari.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yuan Chen biasa melihat murid-murid Akademi berlatih di lapangan. Yuan Chen selalu bersungguh-sungguh memperhatikan mereka, kerap kali ia juga meniru gerakan-gerakan yang diperagakan oleh murid-murid Akademi Tujuh Warna, tetapi hanya bisa mengikuti gerakannya saja, tanpa bisa mengeluarkan energi spiritual.
Di dunia ini, di Benua Bintang Biru. Kekuatan diri sendiri adalah yang utama. Di mana jika seseorang mempunyai kekuatan yang kuat, maka mereka dapat memiliki segalanya. Kekuasaan, harta, wanita, dan lebih banyak lagi.
Namun, itu hanyalah sebuah angan-angan yang selalu menjadi impian tertinggi bagi Yuan Chen. Takdir langit begitu kejam, setelah kematian kedua orang tuanya pada saat Yuan Chen berusia 10 tahun, ia harus hidup seorang diri yang dilanda kemiskinan. Mengandalkan kemampuannya sendiri untuk terus bertahan hidup, dan itulah alasan Yuan Chen menjadi tukang sapu di Akademi Tujuh Warna.
Kenapa dia tidak belajar dan menjadi murid Akademi? Tentu saja karena status dan juga uang yang selalu menjadi kesulitan utama bagi mereka rakyat kecil.
***
Saat itu, di sore hari. Yuan Chen hendak kembali ke desa tempat dia tinggal. Desa Embun Pagi.
Buk!
Sekelompok pemuda datang dan menabrak tubuh Yuan Chen. Tetapi itu bukanlah tidak disengaja, melainkan hal yang selalu mereka lakukan untuk mengganggu Yuan Chen.
"Hei, bocah bau! Kalau jalan lihat-lihat dong! Kau punya mata, kan?"
Seorang Murid Akademi Tujuh Warna memaki Yuan Chen dengan tajam. Kedua matanya membola bulat, memelototi Yuan Chen, bahkan telunjuknya terangkat tajam menunjuk Yuan Chen. Parahnya, pemuda itu tak segan meletakkan telunjuknya di dahi Yuan Chen.
Yuan Chen tidak melawan sedikitpun, ia hanya terdiam sembari menekuk wajahnya.
Kata-kata dan makian seperti itu sudah sering ia dengar, bahkan seolah-olah sudah menjadi santapan sehari-harinya.
"Ma— maafkan aku, Senior! Aku tidak sengaja," ucap Yuan Chen dengan nadanya yang rendah. Tetapi di saat ia berbicara, ia tak mempunyai keberanian sedikitpun untuk menatap satupun pemuda dihadapannya.
Buk!
Pemuda itu dengan kasar mendorong tubuh Yuan Chen, membuat Yuan Chen pun terdorong ke belakang hingga tubuhnya pun terjatuh.
"Maaf?" kata pemuda itu dengan nada yang lantang, kedua tangannya menyilang di dada. "Jika kau merangkak di bawah belahan kakiku, mungkin aku masih bisa memaafkan kamu, bocah bau!" sambungnya, dengan nada yang begitu sombong.
Pemuda itu adalah Mu Ling, seorang Murid Akademi Tujuh Warna pakaian abu-abu. Di mana di Akademi Tujuh Warna, tingkatan murid di bedakan dengan warna pakaian yang mereka kenakan.
Warna abu-abu, menandakan bahwa mereka hanyalah murid biasa di Akademi Tujuh Warna, dikatakan juga sebagai murid peringkat pertama.
Pada peringkat kedua, murid-murid itu akan mengenakan pakaian berwarna kuning, peringkat ketiga, adalah warna hijau, peringkat keempat adalah warna biru, peringkat kelima adalah warna merah, peringkat ke enam adalah warna hitam, dan peringkat ketujuh adalah warna putih layaknya orang suci yang kuat.
Saat itu, Yuan Chen tak mempunyai pilihan lain selain menuruti kata-kata Mu Ling, yang memintanya untuk merangkak melewati belahan kakinya.
Namun, di saat Yuan Chen menurunkan tubuhnya dan hendak merangkak. Tiba-tiba seorang Murid Akademi Tujuh Warna berpakaian biru menghentikan aksi Yuan Chen.
"Bocah kecil, berhenti!" ucapnya dengan nada yang tenang. Tetapi dapat membuat Mu Ling dan teman-temannya menjadi ketakutan.
Dia adalah Zhou Yun— 25 tahun, seorang murid kelas empat di Akademi Tujuh Warna.
Zhou Yun menatap satu-satu adik seperguruannya dengan tatapan yang dingin.
"Pergilah! Jangan merundung yang lemah!" ucap Zhou Yun dengan nada yang dingin, tatapannya yang tajam terhadap Mu Ling, memberikan kesan intimidasi yang kuat.
Mu Ling bersama teman-temannya pun segera membungkukkan badannya, kemudian segera pergi dengan langkah yang tergesa-gesa.
Yuan Chen pun segera bangkit berdiri, kemudian membungkukkan tubuhnya sebagai tanda terimakasihnya. Namun, tanpa Yuan Chen sadari, Zhou Yun telah pergi meninggalkannya tanpa sepatah katapun.
Yuan Chen hanya menghela nafasnya, tetapi rasa kagumnya terhadap Zhou Yun, tergambar jelas pada raut wajahnya.
"Hm, sudah cukup lama aku tidak pulang ke desa, sebaiknya aku pulang dulu." gumam Yuan Chen.
Yuan Chen pun segera pergi, meninggalkan Akademi untuk pulang. Tetapi, di perjalannya, ia bertemu dengan seorang Kakek tua, di mana saat itu sang Kakek meminta tiga keping perak kepada Yuan Chen.
"Aku lapar! Anak-anak di rumah juga belum makan, apakah kamu bisa membantuku, anak muda?" kakek itu berbicara kepada Yuan Chen dengan nadanya yang berat dan serak-serak basah.
Yuan Chen mengingat bahwa uang yang ia miliki hanyalah berjumlah tiga keping perak. Namun, ia tetap memberikannya kepada Kakek itu, walaupun ia tahu persediaan makanan di rumahnya juga telah habis.
Kakek tua itu tersenyum, menatap wajah Yuan Chen dengan seksama. Kemudian kakek itu berbicara, "Apakah kau ingin menjadi kuat?" tanya kakek itu, nampak serius.
Yuan Chen terdiam selama beberapa detik, tetapi di saat ia hendak berbicara, tiba-tiba sang kakek memberikan sebuah batu hitam berukuran kepalan tangan.
"A— apa ini, kakek?" tanya Yuan Chen. Tetapi sangat membuat Yuan Chen terkejut, di saat kakek tua itu tiba-tiba menghilang begitu saja dari hadapan Yuan Chen.