Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. The Weight of the Crown
Langit London malam itu muram. Awan gelap menggantung rendah, menahan hujan yang seolah ragu untuk turun. Dari jendela apartemen tua di Westminster, cahaya lampu kota terlihat berpendar samar.
Raras berdiri di sana, memeluk dirinya sendiri. Gaun biru lembut yang ia kenakan terasa dingin menempel di kulit.
William duduk di sofa tak jauh darinya. Jas kerajaan yang biasa ia pakai kini tergantung di kursi, terganti dengan kemeja putih kusut dan wajah penuh kelelahan.
“Kau diam sejak kita kembali dari istana,” ucap William pelan, suaranya berat. “Katakan sesuatu, Raras.”
Raras menatap bayangannya di kaca. “Apa yang harus kukatakan, William? Bahwa aku takut? Bahwa aku mulai berpikir semua ini kesalahan?”
William bangkit. “Kesalahan?” suaranya meninggi, namun kemudian melembut lagi. “Satu-satunya kesalahan adalah aku membiarkan mereka membuatmu merasa begitu.”
Ia mendekat, menatap Raras dalam-dalam. “Lihat aku, Raras.”
Raras menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tapi dagunya tetap terangkat anggun seperti putri keraton yang menolak terlihat lemah.
“Sejak aku kecil, aku diajarkan bahwa menjadi bagian dari darah biru berarti mengabdi — bukan memilih. Tapi bersamamu, aku… untuk pertama kalinya ingin memilih.”
William memegang bahunya lembut. “Lalu pilih aku.”
Raras menggeleng, air matanya jatuh juga. “Bagaimana bisa aku memilih cinta di atas negaraku? Di atas istanaku? Di atas keluargaku?”
Ia tertawa getir. “Jika aku memilihmu, keraton akan menganggapku pengkhianat. Tapi jika aku menyerah… hatiku sendiri yang akan mati.”
---
Surat dari Istana
Ketukan di pintu memecah keheningan. William segera membuka, dan di sana berdiri seorang kurir istana berpakaian serba hitam.
“Surat pribadi untuk Pangeran William dari Dewan Mahkota,” katanya singkat.
William menerima amplop bersegel emas itu dan menutup pintu dengan wajah tegang.
Ia membukanya perlahan — di dalamnya hanya satu lembar kertas dengan tulisan tangan halus:
> “Jika kau mencintai negerimu, tinggalkan dia sebelum matahari terbit.
Jika kau mencintai dia, jangan biarkan ia mati karena cintamu.”
— Camilla Vandel.
William mengepalkan kertas itu kuat-kuat.
“Mereka akan mencelakai kita, Raras. Mereka ingin aku meninggalkanmu, atau mereka akan menghancurkanmu.”
Raras memejamkan mata, bahunya bergetar. “Mereka tidak akan berani. Aku bukan ancaman bagi kerajaanmu.”
William berjalan mendekat, memegang wajahnya dengan kedua tangan. “Kau tidak mengerti… bagi mereka, kau bukan hanya perempuan asing. Kau simbol. Dan simbol selalu menakutkan bagi mereka yang takut kehilangan kendali.”
---
Benturan Dua Dunia
Raras menarik napas panjang. “Kau tahu, di keraton kami… cinta dianggap suci, tapi tak selalu harus dimiliki. Kadang cinta adalah bentuk tertinggi dari pengorbanan.”
William menatapnya tak percaya. “Kau tidak bisa bicara seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu hanya karena politik dan darah.”
Raras tersenyum pahit. “Dan aku tak mau kau kehilangan takdirmu hanya karena aku.”
Hening menggantung lama. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Lalu William berbisik, hampir tanpa suara, “Apa kau mencintaiku?”
Raras menatap matanya — dalam, jujur, dan penuh luka. “Lebih dari yang bisa kubayangkan.”
William memejamkan mata sejenak, lalu mendekap Raras erat.
Untuk pertama kalinya, mereka berdua menangis dalam diam — dua jiwa dari dua dunia yang seharusnya tak bersatu, tapi tak bisa menolak takdir yang mempertemukan mereka.
---
Langit yang Menangis
Hujan akhirnya turun. Raras berjalan keluar ke balkon kecil, membiarkan air membasahi wajahnya.
William berdiri di ambang pintu, memperhatikannya.
“Kau tahu,” ucap Raras pelan, “di Yogyakarta, hujan selalu dianggap pertanda restu dari langit. Tapi di sini… rasanya seperti peringatan.”
William berjalan ke arahnya, menariknya ke dalam pelukannya. “Kalau langit menolak, maka biar aku yang menantangnya.”
Raras menatapnya, wajahnya basah oleh hujan dan air mata.
“Dan jika langit menghukummu?”
William tersenyum, getir tapi lembut. “Maka aku akan jatuh dengan tanganmu dalam genggamanku.”
---
Satu Keputusan
Subuh merayap perlahan. Kabut tipis mulai turun. William duduk di tepi ranjang, menatap Raras yang tertidur kelelahan di bahunya.
Ia mengusap lembut rambutnya, lalu menunduk mencium keningnya.
“Maafkan aku,” bisiknya.
Ia menulis surat pendek di atas meja kecil di dekat jendela — tinta hitamnya menetes sedikit di sudut.
> Raras,
Aku mencintaimu lebih dari mahkota, lebih dari tanah yang kupijak, lebih dari nama yang kupikul. Tapi kadang cinta sejati bukan tentang tetap di sisi — melainkan melindungi dari jauh.
Jangan mencariku. Aku akan membuat mereka percaya aku menyerah. Hanya dengan begitu, kau bisa bebas.
— William.
Ia menatap Raras sekali lagi, lalu berjalan keluar perlahan, membiarkan pintu menutup di belakangnya.
---
Terbitnya Matahari
Ketika Raras terbangun, ranjang di sebelahnya kosong. Ia melihat surat itu di meja.
Dunia seolah berhenti berputar.
Tangannya gemetar saat membaca tulisan itu, lalu ia berlari ke balkon.
Jalanan di bawah sepi, hanya sisa embun di pagar besi. Tak ada tanda-tanda William.
Dan di kejauhan — matahari London terbit perlahan, menyinari wajahnya yang berlinang air mata.
“Aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendiri, William,” bisiknya lirih. “Kau boleh meninggalkan mahkotamu… tapi aku tidak akan meninggalkan cintaku.”
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰