📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Bohong Aku Ga Percaya
Pagi itu di Militaryum Jakarta terasa lebih berat dari biasanya; udara lembap bercampur aroma kopi instan dari ruang istirahat bawah. Sinar matahari muda menyelinap lewat kaca buram ruang kerja instruktur, memantul di cat hijau militer yang luntur di sudut-sudutnya. Jam digital di dinding pelan berdetak ke pukul 08.15, sementara langkah latihan di lapangan terdengar samar—seperti irama drum yang tak usai.
Ruang kerja itu sederhana dan fungsional: meja kayu besar menaungi komputer tua, rak besi menampung laporan-laporan, kursi ergonomis yang sandarannya mulai aus. Bau tinta printer bertemu wangi kertas lembap sisa hujan malam tadi; di luar, daun-daun halaman markas masih mengilap, burung pipit melintas kontras dengan ketegangan di dalam ruangan.
Rom tiba tepat waktu, seragam rapi, lencana pangkat terpasang, sepatu boots mengilap. Rambut disisir pendek; matanya tetap menyimpan sisa lelah—jejak pertengkaran subuh dengan Elesa. Ketika pintu dibuka, ia melihat Elesa di meja kerja: punggung sedikit membungkuk, mouse berpindah cepat, layar memantulkan cahaya kebiruan ke wajah yang menegang. Jilbab biru muda terpasang rapi; embun sisa mandi menetes ke bahu kemeja. Dari sudut pandang Rom, jelas: Elesa sedang membuka unggahan-unggahan ulang—video vulgar dari rumah sakit Kencana Permata Indah—sambil menekan tombol “report” satu per satu.
Rom melangkah mendekat, map laporan ia sandarkan di tepi meja. “Wah, pagi-pagi udah nonton yang begitu, Les? Nikmatin banget ya kelihatannya,” godanya ringan, menyipitkan mata, telunjuknya menunjuk layar.
Elesa tersentak. Tab ia tutup cepat; klik mouse terdengar nyaring. Wajahnya memerah—malu dan marah—alisku berkerut rapat. “Apaan sih kamu! Ini lagi laporin konten, bukan nonton buat seneng-seneng!” ia menahan nada, telapak kiri menepuk meja. Tatapannya menusuk, jarak tubuhnya mundur refleks.
Rom mengangkat kedua telapak, merendahkan tensi. “Santai. Aku cuma bercanda. Serius, udah berapa yang kamu report?” Ia duduk di kursi seberang, mencoba tenang.
Elesa menyilangkan tangan. “Nggak lucu, Rom! Kamu bohong terus dari subuh. Aku ga percaya!” Telunjuknya menunjuk dada Rom, napasnya memburu menahan sesak.
Rom meletakkan pena, menatap lurus. “Les, aku jelasin lagi. Semalam aku nggak sentuh kamu. Aku anter kamu pulang karena kamu mabuk, taruh di kasur, dan aku tidur di sofa. Nggak ada niat aneh. Aku bukan orang mesum.”
Elesa terkekeh sinis, menepuk meja lebih keras. “Bohong! Kamu pasti bohong! Aku tahu tubuhku bagus, Rom. Kemungkinan orang mesum kayak Sole Rom Mungkar pasti manfaatin kesempatan! Aku cantik, pangkat bagus, muda—masa kamu tahan?!”
Rom menahan komentar yang melintas. “Itu fitnahmu sendiri. Aku hormat kamu sebagai kolega dan instruktur. Iya, kamu cantik, kamu hebat. Tapi aku tentara; ada etikanya. Kalau aku berbuat, aku ngaku. Semalam nggak ada apa-apa.”
Elesa menggeleng, rahang mengeras. “Ga percaya! Orang kayak kamu pasti tergoda. Tubuhku bagus—aku tahu.” Ia kembali melirik layar, tangan di mouse sedikit gemetar.
Rom mencondongkan tubuh tipis. “Dua minggu ini kita kerja bareng dan makin deket. Jangan rusak gara-gara salah paham. Aku sumpah.”
Pintu ber-klik pelan. Marcno masuk, tegap, map di tangan. “Selamat pagi lagi, Instruktor Elesa, Rom.” Map diletakkan ringkas. “Rapat kecil ditunda. Rom, lantai dua, ruang tamu Militaryum. Ada pihak Air-Rium mau ketemu sekarang.”
Rom menoleh, kaget sekilas, lalu berdiri. “Air-Rium? Soal apa, Pak?”
“Sepertinya pinjaman helikopter kemarin,” jawab Marcno singkat. “Penting. Segera ke sana.”
“Siap.” Rom mengambil mapnya, memberi isyarat mata singkat ke Elesa (yang memilih menatap layar), lalu keluar.
---
Ruang tamu lantai dua lebih formal: panel kayu, lambang TNI terpasang, karpet merah tipis, sofa kulit melingkari meja kaca. Teh hangat mengepul samar. Tiga perwira udara telah menunggu—seragam biru rapi. Yang di tengah berdiri: Jenderal Arif; di kiri-kanannya Kolonel Budi dan Kolonel Santi.
“Selamat pagi, Letnan Rom,” ucap Jenderal Arif, menjabat erat. “Duduk. Kita langsung saja.”
Rom memberi hormat singkat, duduk tegap. “Pagi, Jenderal. Ini soal pinjaman helikopter?”
“Benar.” Map dibuka. Suara Arif padat. “Air-Rium meminjamkan heli atas permintaan resmi kemarin. Sekarang kami minta pertanggungjawaban penuh dari Anda. Anda yang handle operasi, kan?”
“Betul, Jenderal. Namun bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud?”
Kolonel Budi condong ke depan. “Anda ambil kendali penuh atas helikopter. Penugasan pilot, misi helikopter—semua di tangan Anda. Tidak ada campur tangan lain dari Militaryum tanpa laporan ke kami.”
Jenderal Arif menegaskan, telunjuk ke dokumen. “Unit yang dipinjamkan: dua helikopter tempur tanpa rudal, dan satu Apache. Sampai peluncuran rudal dari Apache, Anda yang handle. Setelah penggunaan, laporkan ke Air-Rium: peluncuran rudal, kerusakan, insiden—detail.”
Rom menyimak, rahang menegang. “Izin, Jenderal. Saya tentara lapangan. Kalau Air-Rium menugaskan saya kendali penuh—pilih pilot, putuskan misi, sampai otoritas rudal—minimal posisi saya disesuaikan. Saya bukan perwira tinggi. Kompensasi juga harus proporsional dengan risiko dan tanggung jawab.”
Senyum tipis Jenderal Arif tidak hangat. “Ini bukan negosiasi. Kami pilih Anda karena rekam jejak operasi kemarin. Tanggung jawab ini harus diambil sekarang. Kalau tidak, pinjaman bisa kami tarik.”
Kolonel Santi menambahkan tenang, “Kami paham keberatan Anda. Situasinya urgent. Laporan misi dan rudal harus langsung dari Anda ke kami. Tidak boleh salah.”
Rom menatap mantap. “Dengan hormat, tanpa penyesuaian kewenangan dan imbalan, saya menolak memikul risiko komando sebesar itu sendirian. Minimal Kapten, baru wajar memegang Apache dan aturan rules of engagement terkait rudal.”
Perdebatan berjalan beberapa menit. Nada naik-turun, argumen teknis disampaikan ringkas: dua heli non-rudal untuk pengintaian dan pengawalan; Apache sebagai platform dukungan. Rom konsisten pada prinsip akuntabilitas: struktur komando jelas, otorisasi penggunaan senjata strategis tidak boleh menggantung pada perwira lapangan tanpa mandat.
Akhirnya, Jenderal Arif menutup map. “Baik. Kami akan hubungi Komandan Marcno terkait penyesuaian posisi dan remunerasi Anda. Pinjaman tetap berjalan. Laporan wajib tepat waktu.”
“Siap,” jawab Rom, berdiri, menyalami satu per satu. Begitu pintu menutup, ia mengembuskan napas panjang. Beban baru menanti; garis wewenang harus jelas—atau semuanya akan memantul ke dirinya.
---
Rom kembali ke koridor, menuruni anak tangga. Pikirannya bergeser cepat—heli, Apache, rudal, laporan—namun simpul subuh tadi tidak melemah. Ia mengetuk pintu ruang kerja; Marcno masih di dalam bersama Elesa. “Izin melapor, Pak.”
“Masuk,” ujar Marcno.
Rom menyampaikan singkat hasil pertemuan: mandat kendali, kewajiban laporan ke Air-Rium, serta komitmen penyesuaian posisi dan kompensasi yang akan dikonfirmasi. Marcno mengangguk, mencatat.
Elesa tidak menoleh. Layar di hadapannya menampilkan laman pelaporan yang sama; tautan-tautan unggahan ulang dari video vulgar rumah sakit itu terus ia tandai.
Usai laporan, Rom menahan diri sebelum pergi. Ia memalingkan wajah ke Elesa. “Les, satu kalimat saja.” Nada suaranya turun, terkendali. “Aku nggak memperkosa kamu. Aku nggak sentuh kamu. Yang kamu lihat di kepalamu—itu bukan fakta. Aku di sini, jelas dan terbuka.”
Elesa akhirnya menoleh, mata hijaunya berair tapi dingin. “Kamu bohong. Orang kayak kamu pasti manfaatin. Tubuhku bagus, Rom. Jangan pura-pura kamu tahan.”
Rom menahan napas. “Penilaianmu atas tubuhmu—aku tidak bantah. Kamu cantik. Tapi persetujuan itu garisnya jelas. Semalam tidak ada. Aku tidak melanggar garis itu.”
Hening singkat jatuh. Printer menderu sebentar, lalu mati.
Marcno memecah senyap. “Instruktor, Rom, kita fokus tugas. Soal pribadi—selesaikan dengan dewasa dan prosedural. Kalau perlu, buat berita acara klarifikasi internal. Kita tidak akan menoleransi pelanggaran, juga tidak akan menoleransi fitnah. Jelas?”
“Siap,” jawab Rom.
Elesa menahan tatap, rahang menegang. “Saya ajukan klarifikasi tertulis,” katanya pendek.
“Bagus,” ujar Marcno. “Sementara itu, lanjutkan takedown atas unggahan ulang yang memuat video vulgar RS. Prioritaskan platform besar, lampirkan bukti asal.”
“Siap,” jawab Elesa tanpa melepas Rom dari sudut pandangnya.
Rom mengambil map. “Izin kembali ke pos koordinasi heli.”
“Laksanakan,” kata Marcno.
Rom keluar. Koridor terasa dingin—AC baru saja dinaikkan temperaturnya. Di balik punggungnya, dua hal bergerak bersamaan: Apache yang harus ia kawal dengan kewenangan yang masih disusun, dan fitnah yang harus ia hadapi dengan tulisan, saksi, dan fakta. Ia menuruni tangga dengan langkah mantap; jam digital melompat ke 09.02.
---
Di ruang kerja, Elesa kembali ke layar. Satu per satu tautan dilaporkan; template pelaporan ia rapikan, bukti lampiran ia perbarui. Pada jeda singkat, ia menatap telapak tangan—mengingat potongan subuh yang kabur. Rasa malu, marah, dan percaya diri tentang tubuhnya bercampur jadi satu. Ia menghela napas, menegakkan punggung, dan membuka dokumen baru: Klarifikasi & Permintaan Pemeriksaan Internal. Judul ia ketik rapi, poin-poin ia susun tanpa hiperbola. Di akhir, ia menambahkan satu kalimat: Saya memohon pemeriksaan fakta menyeluruh, termasuk penelusuran CCTV dan keterangan saksi, agar tidak terjadi prasangka yang merugikan pihak mana pun.
Ia menyimpan draf itu, menatap pintu yang baru saja menutup. Di layar, notifikasi pelaporan berhasil muncul beruntun. Di luar, derap langkah di lapangan kembali seperti drum yang sama—ritmis, keras, dan dingin. Dalam kepala Elesa, ritme lain menunggu jawab: percaya atau tidak.
Dan badai yang belum reda itu tetap bergulung, menuntut tanggung jawab—di udara dan di hati.