Hidup Alya berubah total sejak orang tuanya menjodohkan dia dengan Darly, seorang CEO muda yang hobi pamer. Semua terasa kaku, sampai Adrian muncul dengan motor reotnya, bikin Alya tertawa di saat tidak terduga. Cinta terkadang tidak datang dari yang sempurna, tapi dari yang bikin hari lo tidak biasa.
Itulah Novel ini di judulkan "Not Everyday", karena tidak semua yang kita sangka itu sama yang kita inginkan, terkadang yang kita tidak pikirkan, hal itu yang menjadi pilihan terbaik untuk kita.
next bab👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara bubur dan perasaan
Kamar itu luas, bersih, aromanya steril. Ada sofa empuk di pojok, TV layar datar, sampe bunga segar di meja.
Semua fasilitas lengkap, tapi yang buat Gue betah di situ cuma satu, sosok Adrian yang lagi tidur dengan baju pasien warna biru muda, selang infus nyantol di tangan, wajah pucat tapi tetap... ya ampun, tetap aja tampan.
Dia masih nggak sadar sejak semalam masuk IGD. Gue bener-bener nungguin di kursi samping ranjang, kepala Gue sampe sempet jatuh ke kasur karena ketiduran.
Begitu kebangun siang ini, harapan Gue sederhana. Semoga matanya kebuka, semoga dia bisa senyum recehnya lagi. Tapi ternyata harapan Gue kebentur kenyataan. Dia masih terpejam, napasnya pelan dan teratur, kayak orang yang lagi tidur nyenyak.
Gue sempet manggil perawat. Dokter akhirnya datang, ngejelasin kondisi Adrian.
"Nggak ada penyakit serius," kata dokter dengan suara tenang. "Tapi pasien kelelahan parah, kurang istirahat, dan cenderung memforsir diri. Itu yang membuat badannya drop."
Gue ngangguk, meskipun hati Gue ciut. Jadi selama ini dia maksa diri sendiri, sampe jatuh kayak gini.
"Dok, ada penyakit lain nggak? Riwayat serius mungkin?" Gue nanya dengan nada cemas.
Dokter geleng. "Sejauh pemeriksaan, nggak ada. Tapi jika pola hidup seperti ini diteruskan, badannya akan jadi lemah dan mudah terserang penyakit. Saran saya, dia harus benar-benar istirahat. Jangan sampai kambuh."
Jawaban itu buat Gue sedikit lega. Syukurlah, nggak ada penyakit berbahaya. Tapi rasa lega itu bercampur sama rasa aneh yang sulit dijelasin. Gue bersyukur Adrian cuma butuh istirahat. Di sisi lain, Gue sedih karena dia sebegitu kerasnya sama diri sendiri.
Gue menatap wajahnya lama-lama. Kulitnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, tapi garis wajahnya tegas. Ada sesuatu di sana yang buat hati Gue nyesek sekaligus hangat.
Sekilas, Gue bandingin dia sama Darly. Walaupun dia berbohong dengan statusnya, dia masih terbilang anak orang berada dan punya segalanya.
Uang, posisi, masa depan jelas. Tapi entah kenapa, nggak ada satupun dari itu yang buat dada Gue bergetar kayak sekarang. Adrian yang bahkan nggak punya apa-apa, bisa buat Gue ngerasa segininya.
Sial.
Bahkan di pikiran Gue sempet mikir, kalo Adrian jadi artis, pasti laku banget. Wajahnya tuh, mahal. Kamera pasti jatuh cinta sama dia. Bayangin aja, sekali senyum, semua brand rebutan endorse.
Gue sampe bisa liat dia jadi model sampul majalah terkenal. Tapi… Gue juga tau, kayaknya bukan itu yang dia mau. Dia bukan tipe orang yang ngejar popularitas atau glamor.
Buat dia, yang penting bisa makan dan hidup dengan cara yang dia pilih. Sesederhana itu. Nggak kayak Gue, yang selalu bergantung dan takut dalam segala hal.
Pikiran Gue ngalor-ngidul. Gue jadi kepo banget. Adrian sebenernya punya keluarga nggak sih? Orang tua? Saudara? Kok bisa-bisanya Gue nggak tau apa-apa soal dia. Rasanya makin pengen gali lebih dalam tentang hidupnya.
Tapi sebelum otak Gue kebablasan, tiba-tiba kelopak mata Adrian bergerak. Gue langsung tegak, jantung gue kayak mau copot. Perlahan dia buka mata, pandangannya buram kayak lagi adaptasi sama cahaya.
Wajahnya sempet kaku, seolah takut atau bingung. Tapi begitu matanya nemuin Gue, ekspresi itu lenyap. Ganti sama senyuman samar yang… gila, buat Gue nyaris nangis.
"Syukurlah, lo akhirnya bangun." suara Gue serak sendiri.
Dia berkedip beberapa kali. "Gue… punya banyak hutang ke lo." suaranya keluar, pelan tapi jelas.
Gue melongo. Itu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya? Serius?
Adrian ngelirik sekeliling ruangan, terus balik lagi ke Gue. "Ini kan… kamar mahal. Lo keluarin duit banyak. Gue janji… Gue bakal bayar balik. Walau nyicil."
Gue tarik napas panjang, antara pengen ketawa sama pengen marah. "Astaga. Lo baru bangun udah mikirin hutang? Bukannya mikirin diri lo sendiri dulu?"
Dia malah nyengir, lemah tapi tetep aja buat pengen mukul. "Itulah hidup. Yang penting lo nggak nagih ke Gue. Gue bakalan bayar sampe lunas."
Hati Gue mendadak panas. Prihatin banget rasanya. Dia keliatan baik-baik aja, suka bercanda, tapi ternyata di dalamnya dia lagi jungkir balik buat bertahan hidup.
"Udahlah. Lo nggak usah mikirin itu," Gue tegasin. "Anggep aja ini balesan karena lo semalam traktir Gue nasi goreng, walaupun belum sempet Gue abisin."
Dia ketawa kecil. "Deal."
"Tapi serius, lo tuh harus bisa istirahat. Jangan seenaknya nyiksa badan lo. Tau nggak, Gue panik setengah mati semalem." Gue nggak berhenti di situ. Gue langsung ngeluarin jurus bawel Gue.
Dia nyoba ngangkat bahu, terus meringis karena infusnya narik. "Maaf udah nyusain lo. Tapi Gue nggak bisa juga ngilangin hari apes."
"Apes apaan! Tumbang aja lo. Kalo lo terus kayak gini, lo kira badan lo robot?" Gue ngomel panjang.
Adrian ngakak kecil, kayak ngerasa Gue lucu kalo lagi ngomel. Gue kesel banget, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang hangat.
"Udah ah, jangan banyak gaya. Sekarang lo makan." Gue berdiri, buka wadah bubur ayam dan perintilannya, yang udah di siapkan ahli gizi buat orang kayak Adrian. Harumnya langsung memenuhi ruangan. Gue aduk-aduk, terus ambil sendok. "Ayo makan."
Dia ngangkat tangan. "Eh, Gue bisa sendiri. Kasian tangan lo."
"Bodo amat." Gue suapin sendok pertama ke mulutnya.
Dia bengong, terus ketawa ngakak. "Gue disuapin? Berasa bayi."
"Emang bayi. Bayi gede yang bandel," Gue balas sambil nyuapin lagi.
"Serius deh, Gue bisa makan sendiri," dia sempet protes, tapi setiap kali dia buka mulut, sendok Gue udah nyelonong duluan. Akhirnya dia nyerah, ketawa-ketawa sambil ngunyah.
Dan di momen ini, Gue ngeliat sesuatu di matanya. Kebahagiaan. Tulusan banget, kayak seorang anak kecil yang akhirnya ngerasa diperhatiin.
Gue diem sejenak, sendok masih di tangan. Entah kenapa dada Gue jadi hangat banget. Sederhana, tapi… Gue bisa liat betapa berartinya hal kecil ini buat dia.
Dia menatap Gue, masih dengan senyum itu. "Lo buat Gue ngerasa kayak orang paling beruntung di dunia," katanya pelan.
Gue kaget, sendok hampir jatuh. Gue buru-buru pura-pura kesel. "Udah, diem. Fokus makan. Jangan buat Gue tambah emosi."
Adrian cuma ketawa, lalu buka mulut lagi siap disuapin.
Dan Gue sadar, di ruangan VVIP yang serba mahal ini, kebahagiaan Gue justru datang dari hal paling sederhana, ngeliat dia makan dengan lahap, meskipun tangannya masih ketusuk jarum infus.
Malam tadi gue panik setengah mati karena takut kehilangan dia. Siang ini, Gue malah ngerasa nggak pengen ninggalin dia sama sekali.
Entah sejak kapan, tapi jelas, Adrian udah jadi sesuatu yang nggak bisa Gue bohongin lagi di hati Gue.