Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Amarah
Suasana rumah malam itu begitu mencekam. Hanya terdengar detak jam dinding dan deru napas Nerios yang berat. Camelia berdiri terpaku di depan pintu, tubuhnya gemetar setelah Nerios menariknya masuk dengan kasar.
Tatapan mata pria itu tajam, penuh bara. Jas hitamnya sudah dilepaskan, dasinya terurai begitu saja, membuatnya tampak lebih liar daripada biasanya.
“Bagaimana kalian bisa bertemu?” Nerios menggeram, suaranya berat dan rendah.
Camelia mengerjap, masih berusaha mengatur napas. “Kami bertemu secara tidak sengaja di kafe, aku—”
“Tidak sengaja?” Nerios menyeringai miring, ekspresinya mengerikan. Tangannya menampar meja di sampingnya hingga gelas pecah berhamburan. “Kau pikir aku akan percaya? Kau duduk di sana bersamanya, tertawa, tersenyum. Apakah kau lupa siapa dirimu sekarang, Camelia?”
Camelia mundur selangkah, namun Nerios dengan cepat mendekat. Dinding dingin menyambut punggungnya, mengunci setiap ruang untuk melarikan diri.
“Aku tidak melakukan apa-apa, Nerios kau salah paham,” suaranya bergetar, hampir memohon.
Jari-jari Nerios mencengkeram dagunya, memaksa wajah Camelia mendongak menatapnya. Matanya berkilat, seperti binatang buas yang siap menerkam.
“Kau milikku. Kau mengerti? Dari awal aku menginginkanmu. Dan sekarang setelah aku mendapatimu, tidak akan ada satu pria pun yang bisa menyentuhmu, bahkan menatapmu sekali pun.”
Air mata Camelia menitik. Ia bisa merasakan bagaimana cengkeraman itu semakin kuat, nyaris melukai. “Kau menyakitiku…” bisiknya lirih.
Sejenak, Nerios terdiam. Ada keraguan kecil melintas di matanya, namun segera tenggelam oleh gelombang cemburu yang membutakan. Ia menekan tubuhnya lebih dekat, napas panasnya membakar sisi wajah Camelia.
“Andai kau tahu betapa aku benci melihatmu tersenyum pada orang lain. Itu membuatku ingin… menghancurkan semuanya.” Nerios mengucapkannya dengan suara parau, antara amarah dan ketakutan kehilangan.
Camelia memejamkan mata, menahan tangis. “Apa kau tidak sadar, Nerios? Apa yang kau sebut cinta ini hanyalah obsesi. Kau bahkan tidak memberiku ruang untuk bernapas. Kau hanya ingin mengurungku, seperti boneka yang bisa kau kendalikan.”
Ucapan itu menusuk. Rahang Nerios mengeras, jari-jarinya bergetar di kulit wajah Camelia. Sekejap, Camelia benar-benar yakin pria itu akan mendorongnya lebih keras, bahkan mungkin melukainya.
Namun tiba-tiba, Nerios menarik diri dengan kasar, memalingkan wajahnya. Ia berjalan cepat ke arah balkon, membuka pintu geser dan menatap kota dengan mata merah berair.
“Aku tidak bisa kehilanganmu, Camelia,” suaranya lirih namun sarat penderitaan.
“Bertahun-tahun aku hanya bisa melihatmu dari jauh. Kau selalu ada di dekatku, tapi tak pernah benar-benar jadi milikku. Dan ketika akhirnya kau ada di sini, aku takut. Takut kau pergi. Takut ada orang lain yang merebutmu.”
Camelia mendekat perlahan, meski hatinya masih diguncang rasa takut. Ia melihat sisi Nerios yang jarang terlihat: rapuh, terluka, seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang berharga.
“Nerios …” panggilnya pelan. “Kau tidak perlu mengikatku dengan rantai untuk membuatku bertahan. Jika benar kau ingin aku ada di sisimu, jangan perlakukan aku seperti tahanan.”
Nerios menoleh, matanya masih dipenuhi bara tapi kini bercampur luka. “Kau tidak mengerti. Aku sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa kembali lagi. Jika kau pergi, aku akan hancur. Jadi, lebih baik kau membenciku daripada meninggalkanku."
Camelia menggeleng pelan, air mata jatuh membasahi pipinya. “Kau salah, Nerios. Cinta yang lahir dari rasa takut hanya akan membawa kehancuran untuk kita berdua.”
Keheningan membungkus ruangan. Hanya terdengar suara bising kota di luar balkon. Nerios mengepalkan tangannya, berusaha menahan gejolak yang membara di dadanya. Perlahan, ia kembali mendekat, namun kali ini tangannya terulur dengan gentle, menyentuh pipi Camelia yang basah air mata.
“Aku tidak ingin menyakitimu,” bisiknya lirih. “Tapi aku tidak tahu cara lain untuk memastikan kau tetap di sisiku.”
Camelia menatapnya dengan sorot mata campuran marah, takut, dan iba. “Maka belajarlah, Nerios. Belajarlah untuk mencintaiku tanpa harus melukai.”
Nerios tertawa kecil dengan suaranya yang terdengar serak. "Kau menyuruhku untuk belajar mencintaimu tanpa melukai? Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri yang mungkin tidak akan pernah belajar mencintaiku?!"
"Bagaimana aku bisa belajar mencintaimu jika kau selalu menyakitiku? Aku tidak bisa hidup dengan pria yang ringan tangan sepertimu, karena aku bisa mati perlahan ..."
Wanita mana yang ingin hidup dengan pria kasar? Tidak ada seorang pun yang ingin hidup dengan pria yang mempunyai tempramental yang begitu buruk seperti Nerios. Dengan Camelia masih bertahan di sisinya saja seharusnya sudah bagus. Semua tekanan dan tindakan kasar pria itu membuat siapa pun akan mencari cara untuk pergi jauh.
"Jangan mulutmu!" sentak Nerios, matanya kembali menatap tajam Camelia. "Aku begitu mencintaimu tapi kau berkata bahwa dirimu bisa mati perlahan jika terus bersamaku? Kau benar-benar tidak tahu terima kasih!"
"Astaga, bukan itu maksudku!" jerit Camelia frustasi. Orang yang sedang diselimuti amarah memang sulit sekali ditenangkan.
"Apa? Apa maksudmu Camelia?!" Nerios mencengkram erat kedua bahu wanitanya, membuat Camelia meringis pelan.
"Aku jantungan setengah mati begitu mendengar kabar kau terjebak di lift, lalu kau berkata bahwa kau bisa mati perlahan karena aku!" lanjutnya sambil membentak, urat lehernya terlihat dengan jelas.
Camelia memberontak kuat hingga tangan Nerios terlepas dari pundaknya. "Kau memang memiliki temperamental yang buruk, Nerios! Aku sulit berbicara, karena kamu akan terus salah paham dengan ucapanku!"
Nafas Camelia tersengal karena amaran yang ia keluarkan, ia menatap Nerios dengan datar. "Aku akan pergi ke kamarku, kau tidak akan pernah paham apa maksudku!"
"Camelia! Siapa yang menyuruhmu pergi?!" teriak Nerios sambil mendekati Camelia yang berjalan menuju meja nakas untuk mengambil sling bag miliknya tapi Nerios lebih dulu menahan tangannya. Tarikannya kasar hingga sebuah vas bunga kecil di samping meja tersenggol dan jatuh.
Prang!
"Akhh!" Camelia menjerit, tubuhnya refleks terduduk saat pecahan kaca mengenai kakinya. Darah mulai mengalir tipis di kulit putihnya.
Mata Nerios langsung terbelalak. "Camelia!" Wajahnya panik. "S*al … maaf, maaf!"
Dengan cepat, ia mengangkat tubuh Camelia dalam gendongan bridal style dan membaringkannya di atas kasur dengan hati-hati. Tangannya bergetar, nadanya penuh rasa bersalah. "Kau tunggu di sini, aku akan cari obat!"
Camelia hanya terdiam. Luka di kakinya terasa perih, tapi hatinya lebih sakit lagi. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi—teriakan, bentakan, air mata, dan kini darah. Malam ini benar-benar kacau.
Tak lama kemudian, Nerios kembali bersama Rani yang tergesa masuk sambil membawa kotak P3K. Pandangan Rani langsung tertuju pada Camelia. Ada rasa iba yang dalam terlihat jelas di matanya.
"Rani, obati dia. Hati-hati, pelan-pelan!" perintah Nerios dengan nada tegas tapi khawatir.
Rani mengangguk, lalu duduk di sisi Camelia. Tangannya yang lembut mulai membersihkan luka itu perlahan, sementara Camelia hanya menunduk, menahan perih di kakinya dan perih yang jauh lebih dalam di hatinya karena diperlakukan seperti ini.
Setelah selesai mengobati luka Camelia, Rani menutup kotak P3K lalu tersenyum lembut pada wanita itu, seolah berusaha menyemangatinya.
"Saya kembali ke bawah untuk mengambil sapu dan pengki, ya, Tuan," ucapnya sopan.
Camelia hanya mengangguk pelan, sementara Nerios tetap diam. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari wajah Camelia. Ia sekadar memberi anggukan singkat pada Rani, tanpa menoleh, seakan hanya ada Camelia di hadapannya saat ini.
Begitu pintu kamar menutup kembali, hening menyelimuti ruangan. Nerios duduk di pinggir kasur, tangannya terulur perlahan menggenggam tangan kanan Camelia. Cengkeramannya lembut, berbeda jauh dari tadi—seolah takut menyakitinya lagi.
Mata Nerios meredup, wajahnya penuh penyesalan. "Maafkan aku …" suaranya terdengar serak, nyaris bergetar.
Camelia menoleh sekilas, menatap pria itu dengan tatapan yang tak bisa ia artikan sendiri, campuran lelah, sakit hati, dan keraguan. Air matanya masih menempel di sudut mata, tapi ia tak menambah kata. Hanya keheningan yang menjawab.
Nerios mengusap punggung tangannya sendiri, berusaha menyalurkan kehangatan pada Camelia. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, aku hanya … aku terlalu takut kehilanganmu."
Camelia menutup mata sesaat, menarik napas berat. Ia tahu Nerios menyesal, tapi luka yang ditinggalkan amarah pria itu tidak mudah sembuh hanya dengan satu kata maaf
Berikan dukungan kalian teman-teman!
Jangan lupa like dan komen
Koreksi aja kalau ada kesalahan kata atau typo ya!
Salam cinta, biebell