NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:750
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ketahuan

Shavira memerjapkan matanya perlahan. Pandangannya masih buram, hanya cahaya putih dari lampu kamar rumah sakit yang menusuk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik langsung menusuk hidungnya. Tangannya berat, baru ia sadari ada selang infus menancap di pergelangan.

“Vira!!”

Sebuah teriakan melengking membuatnya kaget.

Plak!

“Aww!” Shavira meringis, buru-buru memegang lengannya yang baru saja dipukul.

Di samping ranjang, Nadia sudah berlinangan air mata. Tanpa menunggu, ia langsung menjatuhkan diri memeluk Shavira erat-erat.

“Eh, Nad… lo kenapa?” suara Shavira pelan, kebingungan.

“Ih, dasar pembohong! Kenapa lo gak jujur sama gue kalau lo sakit?! Hee… tega banget lo!” Nadia terisak, bahunya bergetar.

Shavira terdiam, matanya ikut berkaca. Ia belum sempat menjawab ketika pintu kamar terbuka.

Dokter Hendri masuk dengan langkah tenang. Pandangannya langsung tertuju pada Shavira, ekspresinya serius.

Mata Shavira membesar, hatinya langsung berdegup. Ia melirik Nadia, lalu menatap Dokter Hendri. “Dok… dokter ngomong ke Nadia?” bisiknya tanpa suara, hanya gerakan bibir.

Dokter Hendri mengangguk pelan.

Shavira menutup wajahnya sebentar dengan tangan, lalu menggeleng-geleng kepala. “Ya ampun, kenapa sih…” gumamnya pasrah.

“Eh, Nad…” Shavira mencoba mendorong tubuh sahabatnya agar menjauh sedikit.

Nadia buru-buru menyeka air matanya, lalu menatap Shavira dengan wajah penuh tekad. Kedua tangannya mencengkeram bahu Shavira erat-erat.

“Ayo, Vir! Lo harus sembuh! Pokoknya lo harus sembuh, gak ada alasan lagi! Gue gak mau kehilangan lo, ngerti?! Kalau lo nekat, gue bisa gila!”

Suaranya pecah, tapi matanya menyala penuh kekuatan.

“Dokter…” Nadia menoleh cepat ke arah Dokter Hendri, “tolong selametin sahabat saya ya, Dok! Saya mohon!”

“Pokoknya lo harus dirawat, Vir. Titik! Gak ada jalan-jalan, gak ada keluyuran lagi! Gue jagain lo, biar gue tahu lo gak macem-macem!” serocosnya terus mengalir, emosinya campur aduk.

Shavira hanya bisa menarik napas panjang, menekan pelipisnya dengan jari. “Nad…”

“Apa lagi lo?!” bentak Nadia cepat, matanya memerah. “Gak boleh bantah! Titik. Gak pake koma-komaan!”

Shavira menatap sahabatnya lama. Senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya. “Iya… gue akan berobat. Gue janji. Tapi…” ia menunduk sebentar, lalu melanjutkan lirih, “gue harus urus kerjaan gue dulu.”

Keheningan singkat terjadi. Lalu serentak, Shavira dan Nadia menoleh ke arah Dokter Hendri, yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan.

Dokter Hendri menarik napas pelan, suaranya mantap.

“Mbak Vira, jangan ditunda terlalu lama. Penyakit ini butuh penanganan serius. Kalau tidak, risikonya semakin besar.”

“IYA, DOK!!!” sahut Nadia cepat, nyaris seperti teriakan.

Ia kembali menoleh ke Shavira dengan tatapan tajam, seperti singa yang siap menerkam. “Lo denger tuh, Vir. Jangan coba-coba ngeyel lagi, ya. Kalau perlu, gue temenin lo 24 jam. Gue gak peduli!”

Shavira hanya bisa tersenyum kecut, matanya berkaca. Rasa lelah, takut, tapi juga hangat bercampur jadi satu. Ia tahu, di balik cerewet dan bentakan itu… ada kasih sayang yang tulus dari seorang sahabat yang tak rela melepasnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 10 malam.

Shavira baru saja selesai mengetik surat pengunduran diri. Surat itu ditutup dengan tanda tangan kecil di pojok kertas—rencananya, besok pagi ia akan menyerahkan langsung ke kantor sekaligus berpamitan dengan rekan-rekannya.

Namun bukan itu yang ia inginkan…

Sebenarnya, bukan ini jalan cerita yang Shavira harapkan.

Kenapa, Sam? Kenapa lelaki itu tidak muncul ketika sakitnya menyerang siang tadi?

Ada rasa getir yang mengendap di dadanya.

Tak!

Laptop ditutup dengan kasar, diletakkannya di nakas kecil di samping ranjang. Dengan langkah gontai, Shavira bangkit, satu tangan mendorong tiang infus yang setia menemaninya. Ruangan itu terlalu penuh dengan aroma obat—pengap, menusuk, membuat kepalanya pening.

Nadia sudah pamit pulang sejak sore tadi, katanya ada urusan di toko bunga. Jadi… malam ini, Shavira sendirian.

Koridor rumah sakit sunyi. Hanya suara langkahnya yang bergema di lantai. Pandangannya tertarik pada taman belakang, yang terkenal angker dan jarang dijamah orang. Gelap, hanya ditemani cahaya bulan yang temaram, juga sorot lampu redup dari bangunan utama.

Dan di sanalah—

Sosok itu.

Lelaki yang sejak tadi pagi ia cari. Duduk bersandar di batu besar, mata terpejam, seakan dunia bukan urusannya.

Tangannya terkepal, begitu erat hingga Shavira hampir merasa ingin mencekik lehernya sendiri. Bibir bawahnya tergigit, menahan gejolak emosi yang membuncah. Dengan langkah cepat, ia menekan tombol lift, lalu menyusuri lorong. Tiang infus berderit, beradu dengan lantai.

Begitu sampai di taman, Shavira langsung berlari kecil meski tubuhnya lemah. Napasnya terengah, dadanya berdegup sakit—tapi amarah mendorongnya.

“Sam!”

Teriakannya menggema, pecah di udara malam.

Lelaki itu menoleh. Pandangan matanya tajam tapi redup.

“Vira…?” suaranya berat, nyaris seperti bisikan.

Ia berdiri, berjalan mendekat.

Namun Shavira tak membiarkannya mendekat lebih jauh.

“Kenapa lo gak muncul saat gue panggil nama lo, hah?!” suaranya pecah, penuh penekanan. “Liat gue sekarang, Sam!”

Sam terdiam. Tatapannya jatuh pada Shavira yang mengenakan pakaian rumah sakit, tubuhnya rapuh dengan selang infus menancap di tangan pucat itu.

Ia menarik napas, hanya satu kata keluar. “Maaf.”

Shavira tertawa getir, matanya panas. “Oke! Gue percaya lo emang malaikat maut! Lo selalu ngomong hidup gue gak lama, dan sekarang…” suaranya bergetar, “gue udah bisa nerima itu!”

Air mata jatuh tanpa ia sadari. Shavira melangkah lebih dekat, tangannya gemetar saat meraih tangan lelaki itu.

“Sam…” suaranya lirih, nyaris terisak. “Gue mohon, tolong hapus memori Nadia… dan juga Dokter Hendri. Tentang penyakit gue. Gue gak mau mereka terus repot mikirin gue.”

Ia menunduk, menahan isak.

“Gue gak perlu dirawat di sini. Gue ikhlas…” suaranya melemah, “kalau sebentar lagi harus pergi. Tapi tolong, Sam… biar mereka gak sakit kayak gue.”

Tangannya semakin erat menggenggam tangan lelaki itu.

“Sam… tolong.”

Sam menatap Shavira lama sekali, seakan ingin menyimpan wajah rapuh gadis itu dalam ingatannya. Bulan di atas kepala seakan ikut bersembunyi di balik awan, meninggalkan mereka dalam cahaya remang.

Perlahan, Sam melepaskan genggaman tangan Shavira.

“aku tidak bisa, Vira.”

Shavira mendongak, matanya membesar, penuh luka.

“Apa maksud lo? Sam, gue yang minta ini! Gue gak sanggup liat Nadia nangis tiap hari, gue gak mau dokter itu terus ribet sama gue! Gue cuma… gue cuma mau pergi tanpa ninggalin beban buat siapa-siapa…”

Suaranya pecah. Air mata mengalir deras.

Sam mendekat, menunduk agar sejajar dengan wajahnya. Jemarinya dengan hati-hati menyeka air mata Shavira, tapi tatapannya dingin tegas.

“kamu pikir kematian itu cuma tentang kamu? Tidak, Vira. Kematian itu nyisain luka buat yang ditinggal. Nadia, orang-orang terdekat kamu, bahkan… ”

“Sam…” suara Shavira bergetar, penuh permohonan.

Tapi Sam menggeleng. “Ini takdir kamu. Aku tidak bisa campur tangan lebih tentang kehidupan manusia”

Shavira mundur selangkah, dadanya sakit, bukan hanya karena penyakitnya tapi juga karena kata-kata itu “Lo jahat… lo tega, Sam.”

Sam tersenyum miris, pandangannya redup tapi dalam "Takdir memang sedikit jahat!"

Shavira tercekat. Tangannya gemetar di udara, lalu jatuh lemas di sisi tubuhnya. Air mata terus jatuh, bercampur dengan rasa sesak di dadanya.

Hening menelan malam. Hanya suara jangkrik dan tiupan angin yang menyejukkan, kontras dengan panas di dada Shavira.

---🍃

Hayy.. Maaf aku banyak salah tulis nama nadia jadi dinda, tapi sudah aku ubah kok.. Maaf ya mungkin ada yang keliru, sahabat shavira itu namanya nadia bukan dinda, aku salah tulis nama hehe😬🙃

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!