Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perintah Nyonya
Pagi di desa terasa sejuk dan damai. Burung-burung berkicau merdu, menyambut matahari yang mulai menampakkan sinarnya. Di dapur sederhana rumah Pak Pamuji, Shanum membantu Bu Roro menyiapkan sarapan. Mereka berdua tampak akrab, seolah sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Shanum memotong sayuran dengan cekatan, sementara Bu Roro sibuk mengaduk nasi di atas tungku.
"Nak Shanum, tidak usah repot-repot, biar Ibu saja," ucap Bu Roro, suaranya lembut.
Shanum tersenyum tulus. "Tidak apa-apa, Bu. Saya senang bisa membantu. Saya sudah terlalu banyak merepotkan Bapak dan Ibu."
"Ah, kamu ini," Bu Roro tersenyum, mengusap lengan Shanum. "Sudah Ibu bilang, kamu itu sudah seperti anak Ibu sendiri. Mana ada anak yang merepotkan ibunya?"
Kata-kata itu menyentuh hati Shanum. Setelah semua kekejaman yang ia terima dari Niar, kelembutan dan kasih sayang Bu Roro terasa seperti pelukan hangat. Bu Roro sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Shanum merasakan ikatan batin yang kuat dengan wanita paruh baya itu, sebuah ikatan yang tulus, tanpa pamrih, dan penuh cinta.
"Ibu Roro..." Shanum memulai, suaranya sedikit bergetar. "Terima kasih banyak, ya. Ibu sudah baik sekali sama saya."
Bu Roro menatap Shanum, senyumnya mengembang. "Sudah kewajiban Ibu, Nak. Manusia itu harus saling menyayangi. Apalagi, kamu sudah Ibu anggap sebagai anak perempuan Ibu. Ibu selalu ingin punya anak perempuan, dan sekarang Tuhan mengirimkan kamu."
Shanum tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk Bu Roro erat. Di dalam pelukan itu, ia merasakan cinta seorang ibu yang sudah lama ia rindukan. Bu Roro membalas pelukannya, mengusap punggung Shanum dengan lembut.
"Sudah, sudah, nanti nasinya keburu gosong," canda Bu Roro, membuat Shanum tertawa kecil. Mereka berdua kembali melanjutkan pekerjaan, suasana dapur kembali dipenuhi kehangatan dan kebahagiaan.
Mariska, yang baru bangun tidur, mengintip dari balik pintu. "Mama, sudah selesai masak?" tanyanya polos.
"Sudah, Sayang. Ayo cuci muka, kita sarapan," panggil Shanum. Mariska langsung berlari menghampiri mereka, lalu memeluk Bu Roro.
"Nenek Roro, terima kasih makanannya," ucap Mariska.
Bu Roro tertawa riang, menggendong Mariska. "Sama-sama, cucuku sayang. Ayo kita sarapan bersama."
Di dapur sederhana itu, di tengah kesederhanaan, Shanum menemukan kembali arti keluarga. Ia menemukan ibu baru, dan putrinya menemukan nenek yang menyayanginya. Hatinya yang terluka perlahan mulai sembuh.
****
Di ruang kerja mewahnya, Niar mematikan layar laptopnya dengan kasar. Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Ia baru saja melihat foto-foto yang dikirim oleh mata-matanya di desa. Foto-foto itu menunjukkan Shanum dan Mariska yang tertawa riang, berinteraksi dengan keluarga Rivat seolah mereka adalah keluarga bahagia. Niar tidak bisa menerima pemandangan itu.
"Wanita itu! Beraninya dia hidup bahagia?!" geram Niar, mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku sudah mencoba segala cara untuk membuatnya menderita, tapi dia selalu lolos!"
Niar bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Otaknya berputar, mencari cara paling efektif untuk menghabisi Shanum. Ia tidak lagi peduli dengan hukum atau moral. Di benaknya, hanya ada satu tujuan: mengakhiri semua ini.
"Aku tidak bisa membiarkan dia hidup!" bisik Niar, matanya menyalang penuh kebencian. "Selama wanita itu masih bernapas, hidupku tidak akan pernah tenang! Wira tidak akan pernah bisa aku kendalikan sepenuhnya!"
Ia meraih ponselnya, mencari sebuah kontak di buku telepon. "Hallo," ucap Niar, suaranya dingin dan penuh ancaman. "Aku punya pekerjaan untukmu. Kali ini, tidak boleh ada kegagalan."
Di ujung telepon, terdengar suara seorang pria. "Apa yang harus saya lakukan, Nyonya?"
Niar tersenyum sinis. "Aku ingin kau pergi ke sebuah desa, aku akan kirim alamatnya. Ada seorang wanita bernama Shanum di sana. Aku ingin wanita itu menghilang dari muka bumi ini. Selama-lamanya."
Terdengar keheningan sejenak di ujung telepon. "Maksud Anda... membunuhnya?" tanya pria itu, nada suaranya terdengar ragu.
"Aku tidak peduli bagaimana caranya," jawab Niar, suaranya semakin mengeras. "Buat seolah-olah itu adalah kecelakaan. Entah itu tenggelam di sungai, jatuh ke jurang, atau terbakar. Aku ingin dia menghilang dari muka bumi ini." Niar menatap ke luar jendela, matanya dipenuhi dendam. "Anak perempuannya... jangan sentuh anak itu. Cukup ibunya. Setelah ibunya tiada, anak itu akan kembali sendirinya kepadaku."
Pria itu menyetujui, dan Niar mematikan teleponnya. Ia kembali duduk, senyum puas terukir di wajahnya. Ini adalah rencana paling keji yang pernah ia susun. Ia tahu, kali ini, ia tidak akan gagal. Shanum harus lenyap, dan semua masalah akan selesai.
****
Di sebuah butik mewah yang dipenuhi gaun-gaun pengantin indah, Wira duduk di sofa, menatap Aura yang sedang mencoba gaun. Aura terlihat sangat cantik, mengenakan gaun putih dengan renda-renda halus, membuat Wira harus mengakui pesonanya. Namun, di balik itu, ada kekosongan yang ia rasakan. Ia tidak bisa mengingat kebersamaannya dengan Aura, namun semua orang meyakinkannya bahwa mereka akan segera menikah.
"Bagaimana, sayang? Aku cantik, kan?" tanya Aura, berputar di depan cermin besar.
Wira tersenyum canggung. "Sangat cantik, Aura."
Aura kembali mendekat, duduk di samping Wira, terus menceritakan cerita bohong yang sudah ia siapkan. "Gaun ini... persis seperti yang dulu kita impikan, Wira. Gaun sederhana, tapi elegan. Kau yang bilang, kau suka dengan gaun seperti ini. Kita akan sangat bahagia saat menikah nanti."
Setiap kata-kata Aura adalah racun yang merusak ingatan Wira. Wira hanya bisa mengangguk, mencoba mencerna semua informasi itu. Ia tidak punya kenangan lain untuk membantah, dan ia juga merasa tidak enak untuk bertanya terlalu banyak.
Ditambah Niar dan Sheila yang kompak, mereka menjadi tim yang sempurna untuk memanipulasi Wira. Saat Aura keluar dari ruang ganti dengan gaun lain, Niar dan Sheila akan segera menyusul, memberikan pujian dan menguatkan cerita Aura.
"Cantik sekali, Aura," puji Niar dengan senyum puas. "Pilihan Wira memang tidak pernah salah." Niar melirik Wira, seolah memberikan isyarat bahwa inilah jalan yang benar.
"Iya, Mas Wira. Gaun ini sangat cocok dengan Aura. Pasangan sempurna," tambah Sheila, ikut menyela.
Dengan tiga orang yang selalu mengulang-ulang narasi yang sama, Wira tak akan pernah bisa ingat Shanum lagi. Ia merasa dirinya seperti orang bodoh karena tidak mengingat apa-apa. Niar tahu, jika Wira terus dicekoki cerita yang sama, lambat laun ingatan Shanum akan benar-benar terhapus.
Di balik semua kebahagiaan palsu itu, Niar sebagai ibu yang paling ingin menghapus ingatan Wira soal Shanum merasa sangat puas. Ia merasa berhasil. Namun, ada satu hal lagi yang harus ia lakukan. Shanum. Selama wanita itu masih hidup, Niar tidak akan pernah bisa tenang.
Niar mengambil ponselnya, dan diam-diam mengirim pesan kepada orang suruhannya. Pesan itu hanya berisi dua kata: "Lakukan sekarang." Di benaknya, hanya ada satu tujuan: ia akan membuat Shanum meninggal. Hanya dengan kematian Shanum, semua masalah ini akan benar-benar selesai.