Wira Pramana, seorang murid senior di Perguruan Rantai Emas, memulai petualangannya di dunia persilatan. Petualangan yang justru mengantarnya menyingkap sebuah rahasia di balik jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ilham Persyada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban Seorang Pendekar
Usai membereskan jasad serigala-serigala taring besi dengan bantuan warga desa, kelompok tujuh masih disibukkan dengan merawat mereka yang terluka dan menyusun ulang tim patroli untuk keesokan harinya. Setelah situasi kembali normal, barulah sebagian besar anggota kelompok tersebut bisa beristirahat.
Wira sendiri baru bisa tertidur saat malam itu hampir berakhir setelah menggunakan kesempatan istirahatnya untuk memulihkan tenaga dalam. Siangnya, Wira sempat mendengar dari beberapa murid bahwa Alang Ganendra bersama para pendekar dan prajurit telah melakukan penyisiran ke seluruh area hutan di sekitar desa dalam radius yang lebih luas, tetapi tak ada keanehan yang dapat mereka temukan yang mungkin dapat menjadi penyebab munculnya kawanan serigala taring besi dalam jumlah besar di wilayah tersebut.
Mulanya, serigala taring besi adalah serigala biasa. Umumnya, hewan buas yang hidup dalam waktu yang cukup lama akan dapat berubah menjadi monster sebab mereka memiliki kemampuan alami untuk menyerap energi alam. Dengan cara yang sama pula, hewan-hewan buas yang telah menjadi monster tersebut dapat bertransformasi menjadi siluman.
Namun, proses perubahan dari hewan buas menjadi monster hingga siluman biasanya hanya terjadi pada satu atau dua ekor saja. Jika ada kawanan serigala yang semuanya telah berubah menjadi monster, biasanya karena unsur kesengajaan. Seorang pendekar yang memiliki kemampuan sihir dapat menggunakan kekuatannya untuk membuat seekor hewan bertransformasi dengan teknik dan sumber daya tertentu.
Oleh karena itu, Alang Ganendra tidak tinggal diam dan langsung mencoba menyelidiki fenomena serigala taring besi meskipun belum membuahkan hasil. Saat malam hampir menjelang, Alang berpamitan kepada kelompok itu untuk pergi memeriksa keadaan kelompok lain yang ada di kota Ganmala.
Alasan Perguruan Rantai Emas mengadakan misi perburuan rutin setiap tahunnya adalah untuk memberi pengalaman langsung pada murid-murid senior mereka. Dalam periode tiga tahun, setiap murid senior akan mengikuti misi ini dan memiliki kesempatan untuk berhadapan dengan hewan buas, monster, hingga siluman.
Bahkan, ada pula yang pernah berhadapan dengan sekelompok pendekar aliran hitam. Dengan demikian, para murid senior tersebut akan dapat menilai dan mengambil pelajaran mengenai dunia luar yang keras dan penuh darah yang akan mereka hadapi saat jika telah menjadi seorang pendekar dan mengarungi dunia persilatan.
Akan tetapi, perguruan tentu tidak akan membiarkan murid-muridnya tanpa perlindungan. Selian para pendekar perguruan dari berbagai ranah, para pendekar tingkat tinggi, seperti Alang Ganendra dan yang lainnya, juga selalu siap jika ada situasi yang dinilai membahayakan banyak orang, seperti kemunculan kawanan serigala taring besi di wilayah Desa Danpa.
...***...
Bisa dibilang, hampir dua minggu berlalu dengan cukup tenang bagi kelompok tujuh dan Desa Danpa sejak peristiwa serigala taring besi. Selain seorang pencuri ayam kampung, hewan buas biasa seperti babi hutan, dan beberapa pendekar yang hendak membuat onar di desa, tak ada peristiwa lain yang membahayakan kelompok tersebut dan warga desa.
Meski demikian, wawasan para murid perguruan mengenai dunia luar, khususnya dunia persilatan pun semakin terbuka dalam misi perburuan tahunan kali ini. Di Negeri Nuswapada, menjadi pendekar bisa dibilang adalah sebuah jalan hidup yang dapat mendatangkan kemakmuran dan nama besar.
Sayangnya, tidak semua orang dapat menempuh jalan hidup yang penuh bahaya dan dekat dengan kematian ini sebab untuk menjadi pendekar, seseorang harus menjalani pelatihan yang sangat keras dan membutuhkan sumber daya tertentu sebagai penunjang. Salah satu cara untuk menjadi pendekar adalah bergabung dengan perguruan bela diri. Namun, sebuah perguruan tidak dapat asal menerima murid.
Mereka yang dapat bergabung dengan sebuah perguruan adalah mereka yang sejak kecil memiliki potensi bawaan yang dinilai dapat berkembang dengan menjalani program pelatihan yang disediakan perguran tersebut. Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang mempelajari bela diri walaupun mengetahui keterbatasan potensinya. Biasanya, mereka akan mengikuti sebuah kelompok dengan satu atau beberapa pendekar sebagai pembimbingnya.
Tentunya, banyak alasan yang mendasari hal itu, seperti ingin sekadar bisa menjaga diri, untuk mengikuti seleksi menjadi prajurit kerajaan, menjadi penjaga keamanan di desa atau dusun, dan sebagainya. Tak jarang juga yang kemudian berbelok karena terpukau oleh harta dan kekayaan sehingga memilih jalan menjadi bandit, perampok, dan lain-lain.
Maka, tak jarang pula dalam luasnya dunia persilatan terdapat pendekar-pendekar dengan fondasi yang rapuh. Beberapa pendekar yang mencoba berbuat onar di Desa Danpa beberapa waktu berselang adalah contohnya. Walaupun menyadari kehadiran prajurit Suranaga dan rombongan Perguruan Rantai Emas, beberapa orang tersebut tetap mencoba memeras seorang penjual makanan di desa..
Dari segi usia, pendekar-pendekar tersebut kebanyakan sudah hampir memasuki angka paruh baya, tetapi kemampuan mereka bisa dibilang hanya setara atau bahkan di bawah murid senior dari sebuah perguruan. Maka, beberapa murid senior Perguruan Rantai Emas yang ada pun memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuan mereka dengan hasil yang sudah bisa ditebak. Setengah lusin pendekar pembuat onar itu pun berakhir babak belur di tangan beberapa murid senior sebelum diusir dari desa.
...***...
Selama misi perburuan tahunan kali ini, Wira menjadi lebih akrab dengan Abiyasa, seorang pendekar purwa dari Perguruan Rantai Emas yang pertama kali menyapanya sebelum serbuan serigala taring besi. Lebih dari sekali mereka berada dalam satu tim yang bertugas patroli, seperti saat ini, dan Wira mendapati seniornya ini sosok yang berkarakter baik walaupun lugas dalam berbicara.
Beberapa kali Abiyasa menceritakan pengalamannya saat menjalankan misi di luar perguruan. Dengan kemampuannya yang berada di pertengahan ranah pendekar purwa, Abiyasa merasa kontribusinya terhadap perguruan masihlah sangat terbatas. Hal ini tentu membuat murid-murid senior yang mendengar kisahnya menjadi lebih termotivasi untuk lebih keras lagi dalam berlatih.
“Senior, terima kasih.” Wira menyerahkan botol bambu berisi air minum kepada Abiyasa kembali. Mereka sedang beristirahat di tengah tugas patroli siang itu bersama tiga murid senior lainnya.
“Senior, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Wira saat Abiyasa tengah menyimpan botol minumnya pada tas kulit berisi perbekalan mereka.
“Hm? Tentu saja,” jawab Abiyasa, “kupikir kita bisa istirahat beberapa menit lagi di sini sebelum kembali ke perkemahan.”
“Pertarungan seperti apa yang menurut senior paling sulit yang pernah senior lalui?”
Abiyasa terdiam sesaat mendengar pertanyaan itu, kemudian menghela napas panjang, “Wah wah …, kau memang berbeda dibanding yang lainnya, Wira, hehe …,” ia menatap murid senior lainnya yang sedang berbincang di tempat yang agak jauh dari mereka berdua.
“Maksud senior?”
“Pemikiranmu itu …,” Abiyasa tersenyum, “ah … sekarang aku paham kenapa kemajuanmu bisa begitu pesat.”
Wira mengerutkan dahi dan bertanya-tanya apakah Abiyasa mengetahui teknik apa saja yang sedang dilatihnya. Atau, apakah seniornya itu mengetahui kalau perkembangan kemampuan yang signifikan itu Wira dapatkan sejak berlatih menggunakan teknik pernapasan nirvana.
“Walaupun masih berstatus sebagai murid senior, kemampuanmu bisa dibilang setara denganku Wira,” Abiyasa berkata, “Bahkan bisa jadi kalau kita bertarung dengan kekuatan penuh, aku mungkin akan kalah darimu.”
“Senior, aku tidak …,” Wira ingin mengatakan kalau ia seharusnya masih harus banyak belajar dari pengalaman Abiyasa, tetapi seniornya itu mengibaskan tangan.
“Tenanglah, hahaha …, aku tak merasa kau sedang merendahkanku. Di kalangan pendekar, kemampuan adalah yang paling dihargai. Aku sadar sejauh mana kemampuanku saat ini, tetapi itu bukan berarti aku tidak dapat mengakui kemampuanmu, bukan? Siapa pun yang melihat aksimu saat serbuan kawanan serigala taring besi itu pasti sepakat denganku. Oh, senior Saka dan Amita bahkan terang-terangan mengakuinya.” Abiyasa tersenyum.
Melihat Wira hanya mengangguk tanpa ada tanda-tanda rasa bangga yang berlebihan dalam dirinya, Abiyasa pun melanjutkan, “Mengenai pertanyaanmu tadi, aku tak yakin apakah jawaban ini yang kau cari, tetapi setidaknya aku bisa memberimu sedikit gambaran kecil tentang situasi sulit yang sebenarnya bagi seorang pendekar. Saat itu kami mendapat misi untuk mengirim sebuah dokumen penting ke Kerajaan Suranaga. Kami sendiri tidak tahu isi dari dokumen itu, tetapi di tengah perjalanan, puluhan orang bertopeng menghadang kami …,”
Abiyasa menceritakan bagaimana timnya bertarung dengan kelompok bertopeng tersebut. Meskipun kalah jumlah, Abiyasa merasa beruntung karena dua orang dalam timnya telah berada dalam ranah puncak pendekar madya sehingga mereka dapat mengatasi kelompok tersebut. Namun, dalam pertarungan itu, Abiyasa membunuh lebih banyak orang dibandingkan pertarungan-pertarungan yang ia hadapi sebelumnya.
Tak ada yang menyalahkannya sebab yang lain pun melakukan hal yang sama dengannya untuk mempertahankan diri. Meski demikian, Abiyasa membutuhkan waktu cukup lama sebelum bisa menerima hal itu sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari oleh seorang pendekar.
“..., pada akhirnya Wira, selain kekuatan, dunia persilatan hanya menawarkan dua hal bagimu, yaitu membunuh atau dibunuh.” ia menghela napas, kemudian menepuk pundak Wira, “kelak, kau harus terbiasa dengan hal itu.”
Wira tertegun. Seniornya itu baru berusia 20 tahunan, tetapi sudah merasakan pahit getirnya dunia persilatan. Wira juga tak menangkap adanya rasa senang atau puas diri dalam cerita Abiyasa, tetapi justru sebuah beban yang harus ditanggung oleh mereka yang menempuh jalan pendekar dalam luasnya dunia persilatan.
Hari telah menjelang sore saat Abiyasa mengajak mereka untuk menelusuri jalur patroli terakhir sebelum kembali ke perkemahan. Namun, baru beberapa saat mereka berjalan, Abiyasa mengangkat tangan dan tiba-tiba menjadi siaga.
“Wira?” tanpa menoleh, Abiyasa bertanya kepada Wira, yang sepertinya juga merasakan hal yang sama dengannya
“Bau darah, senior,” jawab Wira sambil mengangguk.
Sementara murid senior lainnya masih bertanya-tanya, raut wajah Abiyasa dan Wira menjadi serius. Abiyasa meminta murid senior lainnya untuk bersembunyi sementara dirinya dan Wira bergegas memeriksa keadaan di sekitar mereka.
Abiyasa cukup terkejut dengan kepekaan indra Wira yang sudah setajam dirinya, tetapi dalam hati ia pun tersenyum karena memiliki seseorang yang bisa diandalkan dalam tim patroli ini.
Keduanya berhenti sekitar 200 meter dari lokasi mereka semula sebab aroma amis darah yang semakin pekat. Menurut Abiyasa, seharusnya di sekitar tempat tersebut terdapat sebuah dusun yang bernama Tawangalas.
Dari balik persembunyian mereka saat ini, Wira dapat melihat dugaan Abiyasa tak meleset, tetapi apa yang sedang terjadi pada dusun tersebut sungguh membuat keduanya terkejut.
Orang-orang berbaju hitam, bersenjatakan golok, pedang, tombak, atau kapak tampak berkeliaran dengan bebas di area permukiman yang tak luas tersebut. Sebagian dari mereka tampak membawa barang-barang yang dirampas dari rumah warga; sebagian lainnya menggiring para perempuan dan anak-anak ke suatu tempat di dalam dusun.
Yang membuat Wira sampai membelalakkan mata dan hampir tak bisa menahan amarahnya adalah banyak penduduk yang telah dieksekusi di tengah-tengah permukiman. Jasad mereka ditumpuk begitu saja, seolah menjadi peringatan bagi warga lain yang ingin melawan atau melarikan diri.