Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi itu, cahaya matahari masuk perlahan lewat jendela ruang rawat VIP. Untuk pertama kalinya setelah satu bulan koma, Dewi bangun dengan kesadaran penuh. Wajahnya masih pucat, tubuhnya lemah, tapi matanya hidup.
Dewa duduk di sisi ranjang, seperti biasa. Namun kali ini dengan tangan Dewi yang menggenggam balik jemarinya.
“Kamu masih di sini,” bisik Dewi pelan.
“Aku bahkan belum pernah pulang,” jawab Dewa, menunduk mencium tangan calon istrinya.
“Bau kamu udah kayak kasur rumah sakit,” Dewi bercanda kecil.
Dewa tertawa lirih. “Yang penting kamu sadar. Mau aku mandi seribu kali pun gak masalah.”
Beberapa jam setelahnya, Naya datang membawa bubur dan pelukannya yang meledak-ledak.
“DEWI AYU NINGRAT! AKHIRNYA MATA KAMU MELEK JUGA!” seru Naya heboh penuh haru
“Naya… kepala aku pusing,” keluh Dewi sambil meringis.
“Pasti bukan karena aku, tapi karena lihat wajah Dewa tiap hari, ya?” ujar Naya tanpa dosa
Dewa menyipitkan mata. “Aku bisa suruh suster usir kamu sekarang juga.” sinis dewa dengan kesal
Dewi tertawa kecil. “Jangan, dia bikin suasana hidup.”
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa hari kemudian, ketika kondisi Dewi mulai membaik dan ia mulai duduk, berbincang ringan di ruang rawat, Dewa mendapatkan laporan dari tim investigasinya.
“Pak,” ujar Armand, tangan kanan Dewa. “Kami sudah menganalisis alur dana yang mengalir ke Nadine.”
“Dan?” tanya dewa heran
“Ia dana yang di dapat Nadine sebagian besar berasal dari rekening pribadi milik... Pak Harsono.” ujar Armand
Dewa terdiam. Matanya langsung berubah gelap.
“Pamanku?” Tanya Dewa dengan dingin
Armand mengangguk pelan. “Ya. Tapi bukan hanya itu. Harsono juga memiliki saham tersembunyi di perusahaan pengamanan yang merekrut dua pelaku lapangan penculikan nona Dewi.”
Dewa mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.
“Dia ingin aku jatuh. Ingin Dewi hancur.” ujar Dewa marah
“Dan mungkin ingin usaha ini kembali ke tangan pusat keluarga. Tanpa campur tangan anda yang mulai independen.” ujar Armand
Dewa berdiri. “Kita harus bergerak cepat sebelum dia menutup jejak.”
[Sore hari – Kamar rawat Dewi]
“Dewi,” Dewa masuk sambil membawa map merah.
Dewi yang sudah duduk dengan bantal menyangga punggungnya menoleh. “Kamu kenapa kelihatan kayak mau bakar rumah orang?”
“Aku baru tahu siapa dalang sebenarnya di balik penculikan kamu.”Jawab Dewa serius
Dewi menegakkan tubuh. “Siapa?” penuh penasaran
“Pamanku sendiri. Harsono.” jawab Dewa
Dewi mengerutkan dahi. “Paman yang dulu pernah mengatur jalur politik keluarga kamu?” tanya Dewi
“Iya. Dia yang merasa warisan kekuasaan keluarga seharusnya turun ke dia, bukan ke aku.” jawab Dewa lagi
“Dan dia pikir... menculik aku adalah cara yang elegan?” tanya Dewi
Dewa tersenyum miring. “Dia salah pilih musuh.”
[Beberapa hari kemudian – Rapat umum pemegang saham Wicaksono Group]
Dewa memasuki ruang rapat tanpa di undang. Wajahnya tenang, tapi setiap langkahnya membuat suasana menegang.
“Agenda utama hari ini,” ucap Dewa lantang, “bukan laporan keuangan. Tapi pengkhianatan.”
Semua terdiam. Harsono yang duduk di kursi samping kanan mencoba terlihat tenang.
Dewa menekan remote. Layar besar di ruangan menampilkan bukti aliran dana, rekaman suara antara Nadine dan Harsono, hingga hasil penyelidikan internal perusahaan.
Harsono bangkit. “Ini fitnah! Ini manipulasi data!” ujarnya tidak terima
Dewa menatap tajam. “Fitnah? Kalau kau pikir aku akan membiarkan Dewi hampir mati tanpa balas... maka kau memang lebih bodoh dari yang kuduga.”
Salah satu komisaris senior berdiri. “Tuan Harsono, dengan bukti-bukti ini, kami mendukung tindakan Dewa. Anda akan dinonaktifkan sementara dari posisi dewan direksi sampai pengadilan memutuskan.”
“Dan saya,” tambah Dewa, “akan pastikan kau tidak hanya keluar dari perusahaan ini... tapi juga masuk daftar hitam dunia usaha nasional.” ancaman Dewa bukan hanya sekedar ancaman, ia sudah memastikan semuanya dan tidak akan ada jalan keluar untuk Harsono
[Malam harinya – Rumah Naya]
Dewi sudah diperbolehkan pulang dan kini dirawat di rumah Naya yang kembali hangat. Ia duduk di sofa sambil membaca berita di tablet.
Wajahnya mendadak menegang.
“Dewa?” seru Dewi pelan
“Hm?”
“Ini...” ia menunjuk layar. “Video kamu di ruang rapat. Kamu... menyeret pamanu sendiri?” ujar Dewi terkejut
Dewa duduk di sampingnya. “Aku sudah cukup bersabar, Dewi. Aku sudah cukup membiarkan orang-orang itu menganggapku lemah hanya karena aku tidak melawan.” jawab Dewa
“Dan sekarang?” tanya Dewi
“Sekarang mereka tahu. Aku bukan pria yang bisa diinjak.” jawab Dewa
Dewi memandangi Dewa “Kamu berubah, ya.”
Dewa menoleh, mata mereka bertemu.
“Aku berubah... karena kamu pernah hampir hilang.” jawab Dewa
“Kamu jadi lebih dingin.” ujar Dewi
“Tapi untukmu... aku tetap Dewa yang sama. Hanya saja... Dewa yang tidak akan pernah diam lagi.” jawab Dewa
Dewi menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu... izinkan aku jadi orang yang menjaga agar Dewa tetap punya hati.”
Dewa menariknya ke pelukan. “Kau tak pernah berhenti menjaganya.”
Malam itu, Dewi menulis:
Mereka bilang, kehilangan membuat orang lemah.
Tapi yang kualami... justru membuat suamiku menjadi api.
Dan aku tidak takut terbakar...
Karena aku tahu, api itu tidak akan menyakitiku.
Ia melindungiku... dari dunia.
Bersambung