Pangeran Dari kerajaan Vazkal tiba-tiba mendapatkan sistem auto pilot saat kerajaannya diserang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dimulainya misi penyelamatan raja saul
Sekya akhirnya mengakhiri ciuman mereka, ia menatap dalam mata Eliana. Wajah Eliana masih menunjukkan keraguan, sebuah bayangan kesedihan yang sulit hilang.
"Kau benar-benar tidak peduli tentang ini?" tanya Eliana, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Eliana tidak mengerti kenapa Sekya masih bisa begitu tenang, padahal dia sudah tak suci. Sekya tersenyum, ia mengusap lembut rambut Eliana yang terurai di atas bantal, mencoba menenangkan hati gadis itu.
"Aku sudah bilang, Sayang, aku hanya ingin kau tetap hidup, tidak peduli apapun yang terjadi," jawabnya dengan suara lembut dan menenangkan.
Eliana memeluk Sekya dengan erat. "Maafkan aku, Yang Mulia, karena sudah berpikir yang tidak-tidak."
Sekya membalas pelukan Eliana, ia mengecup puncak kepala Eliana. "Tak apa. Tapi aku ingin kau ingat satu hal, Eliana," ucap Sekya.
Eliana mendongak menatapnya. "Apa itu?" tanyanya.
Sekya tersenyum, ia mencium bibir Eliana lagi dengan lembut. "Aku mencintaimu," bisiknya.
Eliana menanggapi dengan senyum malu-malu dan memeluknya. "Aku juga mencintaimu, Yang Mulia."
Keesokan harinya, Sekya memanggil Brutus dan Lyra ke ruang kerjanya. Mereka berdua berdiri tegap di hadapan sang pangeran. Raut wajah mereka menunjukkan kesiapan untuk menerima perintah.
"Kalian berdua dengar baik-baik," kata Sekya, suaranya terdengar serius dan penuh wibawa.
Brutus dan Lyra mengangguk. "Ya, Yang Mulia," jawab mereka serempak.
"Aku butuh kalian berdua membawa beberapa prajurit," lanjut Sekya. "Pergilah ke tempat Dion membuang semua material yang ku kumpulkan."
Lyra mengangkat alisnya, tanda sedikit kebingungan. "Material apa, Yang Mulia?" tanya Lyra.
"Material untuk membuat senjata," jawab Sekya. "Ambil semua yang bisa kalian temukan dan bawa kembali ke istana."
Brutus tersenyum lebar, menunjukkan semangatnya. "Siap, Yang Mulia! Perintah Anda adalah tugas kami!"
Lyra mengangguk setuju. "Kami akan pastikan tidak ada yang tersisa di sana, Yang Mulia."
Singkat cerita, Brutus dan Lyra berhasil mengumpulkan semua material itu. Sekya segera mendatangi Master Durga di bengkelnya yang dipenuhi suara palu beradu dengan besi. Master Durga, yang sibuk di bengkelnya, menoleh.
"Master," panggil Sekya. "Aku punya pekerjaan besar untukmu."
"Apa itu, Yang Mulia?" tanyanya.
"Kau ingat material yang aku kumpulkan untuk membuat senjata?" tanya Sekya.
Master Durga mengangguk. "Ya, tentu saja. Itu material langka," jawabnya.
"Nah, sekarang semua material itu sudah kembali," kata Sekya, sambil menunjuk tumpukan material di sudut ruangan. "Aku ingin kau dan para pandai besi lainnya segera membuatkan senjata-senjata baru yang kita rencanakan dulu."
Mata Master Durga berbinar. "Baik, Yang Mulia! Kami akan segera mengerjakannya!"
Master Durga dan para pandai besi lainnya pun segera memulai pekerjaan mereka dengan semangat.
Setelah itu, beberapa hari berlalu dengan cepat. Sekya berdiri di lapangan latihan, memberikan instruksi kepada para prajurit.
"Ayo, lebih cepat! Gerakan kalian masih lambat!" teriaknya, suaranya menggelegar di seluruh lapangan.
Salah satu prajurit, yang terlihat kelelahan, bertanya. "Yang Mulia, kapan kita bisa istirahat?"
Sekya tersenyum. "Setelah kalian bisa mengalahkanku dalam latihan tanding, baru kita istirahat!"
Para prajurit menghela napas, namun mereka kembali bersemangat. Di sela-sela kesibukannya, Sekya menyempatkan diri menemui Eliana. Ia tersenyum.
"Bagaimana kalau kita berlatih tanding sebentar, Sayang?"
Eliana tertawa kecil. "Yang Mulia, kau tidak akan lelah? Sejak pagi kau melatih pasukan," jawabnya.
Sekya menggeleng. "Tidak akan, kalau aku bersamamu," bisiknya.
Mereka pun berlatih tanding bersama, diselingi tawa dan canda.
Dua hari kemudian, Sekya berjalan ke lapangan. Ia melihat para prajuritnya, yang kini berdiri dengan tegap dan penuh energi.
"Selamat, prajuritku," ucap Sekya. "Kalian jauh lebih kuat dari sebelumnya."
Para prajurit tersenyum bangga. Kemudian, Master Durga datang menemui Sekya.
"Yang Mulia," panggilnya. "Semua senjata sudah siap."
Sekya mengangguk. "Bagus, Master Durga," jawab Sekya. "Sekarang kita bisa mulai mempersiapkan diri untuk pertempuran."
Sekya menoleh kepada para prajurit. "Waktunya kita tunjukkan pada musuh, siapa yang terkuat!" teriak Sekya.
Sorakan keras para prajurit menggema di seluruh istana.
Setelah itu, Sekya pergi ke ruang bawah tanah, tempat Dion dikurung. Ia melihat Dion tergeletak di lantai, babak belur. Seorang tabib datang menghampiri Sekya.
"Yang Mulia, dia tidak akan bertahan lama," kata tabib itu.
Sekya mengangguk. "Beri dia obat, aku tidak ingin dia mati," perintah Sekya.
Tabib itu mengangguk dan memberikan obat pada Dion. Dion membuka matanya perlahan, melihat Sekya berdiri di depannya.
"Sekya," bisik Dion, suaranya sangat lemah.
Sekya tersenyum sinis. "Ya, ini aku," jawab Sekya. "Kau pikir aku akan membiarkanmu mati begitu saja?"
Dion mencoba bicara, tapi suaranya tidak keluar.
"Aku akan pastikan kau melihatku menghancurkan semuanya," kata Sekya. "Kau akan melihat kehancuran Lamina dari dekat."
Sekya pun meninggalkan Dion dan tabib itu.
Setelah meninggalkan ruang bawah tanah yang lembap, Sekya berjalan menuju aula utama, tempat para penasihat dan komandan seniornya sudah menunggu dengan raut wajah tegang. Ia duduk di kursi utama, menatap mereka satu per satu.
"Semua pasukan sudah siap," kata Sekya, suaranya tenang. "Sekarang kita perlu rencana yang matang."
Salah satu komandan angkat bicara. "Yang Mulia, kita punya pasukan yang kuat, tapi Kerajaan Lamina punya wilayah yang lebih luas dan benteng yang sulit ditembus."
Komandan lain menambahkan, "Dan mereka punya banyak prajurit yang loyal pada Raja."
Sekya tersenyum sinis, ia menoleh pada Brutus. "Bagaimana dengan pasukan baru kita?" tanya Sekya.
Brutus berdiri tegak. "Mereka semua sudah bersumpah setia pada kita, Yang Mulia. Mereka juga memberikan semua informasi tentang Kerajaan Lamina," jawab Brutus.
Lyra menambahkan, "Kita tahu setiap kelemahan benteng dan setiap rute rahasia yang mereka punya."
Sekya mengangguk puas. "Kalau begitu, kita tidak perlu menyerang dari depan," kata Sekya. "Kita akan menyerang dari belakang, tempat mereka tidak pernah menyangka."
Jenderal Valor dan Jenderal Nisan, dua jenderal yang paling tua dan paling bijaksana di antara mereka, saling bertatapan dengan cemas. Jenderal Valor memberanikan diri untuk berbicara.
"Yang Mulia," katanya dengan suara berat. "Saya khawatir dengan Raja. Mereka pasti sudah menyiksanya."
Jenderal Nisan mengangguk. "Saya juga khawatir, Yang Mulia," katanya. "Kami tidak ingin kehilangan Raja."
Sekya menatap mereka berdua, lalu tersenyum. "Tenang saja," jawab Sekya dengan santai. "Kita punya Lyra."
Sekya lalu menatap Lyra, pandangannya penuh makna. Lyra mengerti, ia berdiri tegap.
"Yang Mulia," kata Lyra. "Saya siap menjalankan misi."
Sekya mengangguk. "Bagus," jawabnya dengan suara tegas. "Kau akan memimpin beberapa prajurit dan menyusup ke Kerajaan Lamina."
Lyra tersenyum. "Saya akan mencari keberadaan Raja dan membawanya kembali," jawabnya penuh keyakinan.
Sekya menambahkan, "Kau juga harus berhati-hati, Lyra. Jangan sampai identitasmu ketahuan."
Lyra mengangguk. "Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan menyamar agar tidak dicurigai."
Sekya pun menoleh pada para jenderal. "Lihat? Kita punya Lyra," katanya. "Dia tidak akan mengecewakan kita."