Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Ciuman di Ambang Batas
Sebelum Ghea sempat bereaksi lebih lanjut, Leon tiba-tiba menarik tubuhnya dan memeluknya erat.
“Biarkan aku mendekapmu. Jangan bergerak. Atau aku… tak akan bisa menahan diri lagi.”
Ghea membeku. Tapi Leon tak bergerak lebih jauh. Ia hanya memeluk.
Dan di dalam dekapan itu, Ghea bisa merasakan betapa pria itu berjuang. Menahan desakan, menenangkan diri.
Beberapa menit berlalu. Napas Leon yang awalnya memburu, perlahan menjadi tenang. Tapi pelukannya tak melonggar.
Dan yang paling membuat Ghea ingin berteriak…
Ia membiarkannya.
Namun beberapa saat kemudian,
Ghea tersentak, seolah sesuatu menyambar ingatannya.
Semalam, ia jelas meminta Leon mengantarnya pulang.
Dan yang ia ingat… hanya beberapa menit dalam perjalanan—lalu gelap. Ia tertidur.
Tatapannya berubah.
Tak lagi kabur oleh perasaan yang sempat mengaburkan logika,
tapi tajam—penuh tuduhan.
Matanya menatap Leon, bergetar.
Suaranya pelan, namun sarat kemarahan yang tertahan.
“Aku memintamu mengantarku pulang, Leon. Bukan tidur… di rumahku. Di kamarku.”
Ia berusaha melepaskan diri, tapi pelan. Seolah bagian tubuhnya sendiri tak ingin menjauh.
Ia merindukan kehangatan ini. Tapi bukan dari Leon.
Dulu… ia berharap David yang memeluknya seperti ini.
Tapi itu masa lalu.
Dan Leon seharusnya bukan siapa-siapa.
Leon tak nampak bersalah. Ia malah tersenyum pelan, seperti tahu apa yang berkecamuk di benak Ghea.
“Oh ya?” tanyanya, menaikkan sebelah alis.
Lalu dengan suara serak, ia mendekatkan wajahnya.
“Coba perhatikan baik-baik… siapa sebenarnya yang tidur di kamar siapa?”
Ghea mengernyit.
“Apa maksudmu?”
Ia menoleh.
Matanya menangkap tirai yang mengayun lembut diterpa angin.
Lalu… suara.
Cuitan burung.
Deburan ombak.
Aroma asin laut yang samar.
Keningnya berkerut saat pikirannya mencerna semuanya sekaligus.
Bukan kamarnya.
Ini... bukan rumahnya.
“Tunggu...” bisiknya.
Matanya menyapu seluruh ruangan—dinding putih dengan aksen kayu, jendela besar yang sepertinya menghadap laut, tempat tidur king-size dengan ranjang kanopi tipis.
“Kau... membawaku ke—”
Leon duduk setengah bersandar di ranjang, mengusap rambutnya yang sedikit kusut.
“Villa milikku di tepi pantai. Kau tertidur di mobil, dan aku... memutuskan untuk membawamu ke tempat yang lebih tenang.”
Ghea membeku.
“Kau gila,” desisnya.
Matanya mulai memerah—entah karena emosi, atau karena tubuhnya menolak sepenuhnya membenci pria itu.
Leon mendekat perlahan.
Matanya menatap dalam.
“Kalau aku gila... maka mungkin karena hanya kau yang bisa membuatku kehilangan akal.”
Ghea berdiri terburu-buru, menyambar sepatu haknya yang tergeletak di samping ranjang.
“Aku pulang.”
Suaranya tegas, kaku, namun ujung matanya masih menyimpan keraguan.
Leon bersandar santai di kepala ranjang, satu tangan menopang kepalanya.
“Sarapan dulu.”
“Aku tidak lapar.”
“Bohong.”
Ia terkekeh pelan.
“Perutmu berbunyi sejak lima menit lalu. Aku mendengarnya.”
Ghea melotot.
“Jangan ngarang—”
“Aku bukan mengarang. Aku hanya terlalu memerhatikan.”
Leon bangkit dari tempat tidur, menekan tombol yang membuat tirai terbuka sempurna, melangkah mendekati Ghea.
Ia seperti singa yang tak pernah terburu-buru menyergap mangsanya—santai, tapi mengancam.
Jantung Ghea berdegup kencang, tanpa sadar mundur selangkah.
“Aku akan pulang sendiri.”
Leon mengangguk pelan.
“Silakan. Tapi jalan kaki dua belas kilometer ke pusat kota sambil nyeker juga bukan ide bagus,” ujar Leon tenang. “Aku tak akan membiarkanmu memakai kendaraan di vila ini.”
Ghea melirik keluar jendela.
Pasir putih membentang tanpa ujung. Tak ada jejak ban, tak ada akses jalan.
Meski baru mengenalnya, ia tahu Leon bukan tipe yang asal bicara.
Dan jika dia bilang tak akan membiarkan, itu bukan ancaman kosong—itu keputusan.
Sial.
Leon menyeringai, tahu ia baru saja menang satu poin.
“Beberapa menit saja. Sarapan sambil menunggu pelayan mencuci gaunmu,” ucapnya ringan, lalu melirik tubuh Ghea dari atas ke bawah.
“Apa kau yakin ingin pulang dengan gaun yang sudah kusut dan bau debu sejak kemarin?”
Beberapa Menit Kemudian, Ruang Makan Villa
Suara sendok menyentuh piring porselen.
Ghea duduk tegak di kursinya, mengenakan kemeja putih pria yang jelas-jelas bukan miliknya—dan sayangnya, sangat nyaman. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa make-up, namun tetap memesona.
Leon di seberang meja, menyuapkan oat milk sambil memerhatikan Ghea seperti benda langka.
“Berhenti menatapku seperti itu.”
“Aku hanya memastikan kamu nyata.”
Ghea mendesah.
“Leon, ini tidak lucu. Kau tak bisa seenaknya membawa perempuan ke vila. Aku… aku bukan siapa-siapamu.”
Leon menyandarkan diri.
“Itu bisa diatur.”
“Leon—”
Langkah kaki mendekat. Seorang perempuan paruh baya berpakaian seragam pelayan masuk ke ruang makan dengan nampan berisi jus jeruk segar.
“Selamat pagi, Nyonya.”
"Pagi," sahut Ghea ramah, meski wanita itu hanya seorang pelayan.
Pelayan itu menatap Leon.
"Tuan, jika lemari dan pakaian untuk nyonya sudah tiba, saya harus meletakkannya di mana?"
“Tentu saja di kamarku. Apa aku perlu memberitahu lagi siapa Ghea?” ujar Leon datar.
"Nyonya rumah ini," ucap pelayan itu dengan wajah tertunduk.
Sendok di tangan Ghea terlepas, jatuh ke piring dengan bunyi nyaring.
“A… apa?”
Leon meneguk kopinya dengan tenang.
“Sudah kuberitahu mereka, kau adalah nyonya di vila ini. Mulai sekarang, vila ini adalah rumah keduamu.”
“Leon!” Ghea bangkit, wajahnya merah. “Kau tidak bisa—”
“Oh, tapi aku bisa.”
Leon berdiri.
Langkahnya tenang, nyaris berbahaya.
Ia mendekat, hingga hanya beberapa inci di depan Ghea. Tangannya terangkat, membelai pipi Ghea dengan lembut.
“Karena aku ingin kau di sini. Aku bukan pria yang suka main-main, Ghea. Jika aku memilihmu, maka kau akan menjadi milikku. Sepenuhnya. Dan aku akan pastikan dunia tahu itu.”
Hening menggantung di antara mereka.
Pelayan tadi beringsut mundur, meninggalkan ruang makan tanpa suara.
Deburan ombak di kejauhan terdengar lebih kencang daripada detak jantung Ghea.
Perempuan itu terdiam.
Ia tahu seharusnya marah. Seharusnya kabur. Tapi kakinya tertanam di lantai, dan hatinya... perlahan goyah.
Bukan karena kata-kata Leon. Tapi karena ia mulai percaya.
Dan itu… jauh lebih berbahaya.
Ghea memandang laut yang perlahan memudar di cermin samping mobil.
“Aku harus pulang. Ada pekerjaan yang menungguku.”
Nada suaranya tenang, tapi matanya menyiratkan kegelisahan.
Leon menoleh, hendak menjawab, namun ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan masuk.
Ia membacanya sekilas, wajahnya berubah serius. Lalu mengangguk.
“Baiklah. Aku antar.”
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan berarti.
Sunyi.
Kecuali suara wanita dari telepon Leon yang membahas beberapa masalah mendesak soal perusahaan.
Ironis. Bahkan saat suara perempuan lain memenuhi kabin mobil, justru Ghea yang menjadi resah.
Mobil berhenti mulus di depan rumahnya.
Ghea membuka suara, pelan namun tegas.
“Lain kali jangan bawa aku pergi tanpa seizinku.”
Leon tersenyum samar, tapi sorot matanya tak main-main.
“Baiklah,” katanya ringan.
Tapi sebelum Ghea bisa merasa lega, ia melanjutkan,
“Tapi itu kalau aku bisa menahan diri membiarkanmu pergi.”
Ghea memutar tubuh, melotot.
“Leon! Jangan melampaui batas!”
Tangannya meraih pegangan pintu mobil, namun sebelum bisa membukanya, tangan Leon lebih dulu menutupinya. Menahan. Mengungkung. Napas Ghea tercekat saat tubuh mereka hanya terpaut beberapa inci.
“Melampaui batas?” Leon berbisik, suaranya serak, rendah.
“Aku ingin melampauinya, Ghea.”
Ia semakin dekat. Napasnya hangat menyentuh kulit wajah Ghea.
“Aku akan tunjukkan padamu... apa itu melampaui batas.”
Jantung Ghea berdetak tak karuan.
“Leon, kamu mau apa?” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Sesuatu yang tak bisa aku tahan lebih lama lagi.”
Dan sebelum Ghea sempat melawan, bibir Leon menyapu bibirnya. Hangat. Tegas. Liar tapi terarah.
Bukan ciuman yang minta izin. Tapi ciuman yang bicara dalam bahasa yang tak bisa ditolak.
Ghea ingin menepisnya—seharusnya.
Namun tubuhnya mematung, lidahnya kelu. Dan saat kelopak matanya tertutup tanpa sadar, ia tahu pertahanannya mulai hancur.
Ciuman itu seperti badai yang mengangkatnya lalu menghanyutkannya.
Saat Leon akhirnya melepaskan ciuman itu, ia tak langsung menjauh.
Matanya menatap Ghea dalam-dalam, napasnya berat, bahunya naik turun.
“Pergilah,” katanya dengan suara parau,
“sebelum aku melampaui batas yang lain... karena aku tak yakin bisa mengendalikan diriku sendiri lagi.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.