Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Penjaga Jalan Menuju Either
Pagi di desa lereng timur Gunung Ceaseton terasa lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Kabut tipis yang biasa menggantung di kaki bukit kini telah tersingkir, digantikan langit biru yang bersih dan cahaya matahari hangat yang menembus celah dedaunan.
Di halaman terbuka dekat sumur tua di atas bukit yang semalam menjadi gerbang terakhir bagi roh anak-anak, warga desa berkumpul dalam keheningan. Tanpa suara tangis, tanpa teriakan histeris. Hanya bisik-bisik doa dan helaan napas berat yang menjadi musik latar pemakaman sederhana itu.
Kate berdiri tak jauh dari deretan kayu salib kecil yang ditancapkan ke tanah. Jemarinya menggenggam seruling emas yang tadi malam menuntun anak-anak itu pulang. Matanya tertuju pada gundukan-gundukan tanah segar, masing-masing ditandai dengan pita putih dan bunga liar yang tumbuh di sekitar bukit.
Orion berdiri di sisinya. Tak berkata apa-apa, hanya menatap sekeliling dengan sorot mata yang tak sekeras biasanya. Di belakang mereka, Danzzle, Jasper, dan Lyra membantu warga desa menguburkan sisa-sisa kerangka dan pakaian kecil yang ditemukan di dasar sumur. Tak semua bisa dikenali, tapi setiap jasad diperlakukan dengan hormat yang sama.
Setelah beberapa jam, upacara sederhana itu usai. Warga desa memberi ucapan terima kasih dan beranjak satu per satu, menyisakan ketenangan di bukit.
“Kita akan tinggal dua atau tiga hari lagi di sini,” ujar Orion kemudian, menyeka keringat di pelipisnya. “Mereka butuh waktu memulihkan diri. Dan jujur saja, aku juga.”
Kate hanya mengangguk pelan, sebelum akhirnya Orion menawarkan sesuatu.
“Ayo, kita jalan-jalan sebentar. Menenangkan pikiran,” ajak Orion.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di sisi desa, diapit pagar kayu dan ladang kecil yang mulai ditumbuhi tanaman kentang dan gandum muda. Pepohonan tinggi menaungi jalan, menyaring cahaya matahari hingga membentuk pola-pola cahaya lembut di tanah.
“Aku selalu mengagumi caramu bicara pada roh,” kata Orion tiba-tiba. “Itu bukan kemampuan yang umum, bahkan di kalangan Ksatria Cahaya.”
Kate tersenyum kecil. Sorot matanya menerawang jauh. “Aku sudah bisa sejak kecil. Waktu usiaku belum genap delapan tahun, aku sering bicara sendiri di halaman belakang rumah. Katanya, aku berbicara dengan udara. Tapi aku tahu mereka ada. Roh-roh kecil yang tersesat, bingung atau cuma kesepian.”
Orion menoleh, wajahnya tertarik. “Dan kau bisa melihat mereka?”
“Bukan dengan mata,” balas Kate pelan. “Dengan perasaan. Aku bisa mendengar suara mereka dan kadang cuma emosi.”
Langkah mereka berhenti di dekat jembatan kayu kecil yang membentang di atas sungai kecil jernih. Kate bersandar di pagar jembatan, menatap aliran air di bawahnya.
“Master Veln yang mengajariku untuk tidak hanya mendengarkan, tapi juga menuntun. Katanya, hidupku ini seperti obor yang bisa menerangi jalan pulang bagi roh yang tersesat. Tugasku bukan menyuruh mereka pergi. Tapi menunjukkan mereka bahwa dunia lain menanti,” terang Kate.
Orion terdiam beberapa saat. Angin bertiup pelan, menggoyangkan rambut perak Kate yang tergerai.
“Itu beban besar,” ujar Orion akhirnya. “Menjadi penerang. Apakah itu bukan hal yang menyakitkan?”
Kate tertawa lirih. “Kadang, karena aku harus melepas. Mereka yang kutuntun bukan hanya roh asing. Kadang mereka adalah orang yang pernah kukenal.”
Orion menatap Kate lekat-lekat. “Tapi kau tetap melakukannya.”
“Karena jika bukan aku, siapa lagi?” jawab Kate sambil tersenyum samar. “Dan mungkin aku mengerti apa rasanya tersesat.”
Orion melangkah mendekat, jaraknya kini hanya sejengkal dari Kate. Matanya menatap dalam, penuh ketulusan. “Aku berhutang banyak padamu. Tidak hanya karena anak-anak itu. Tapi karena kau menunjukkan pada kami, pada semua orang di sini apa artinya cahaya yang bukan berasal dari pedang atau sihir. Tapi dari hati.”
Kate menunduk, rona merah tipis mewarnai pipinya. Angin kembali bertiup, membawa aroma bunga liar dari bukit. Hening sejenak menyelimuti keduanya. Lalu, Orion tertawa kecil.
“Kau tahu? Kalau Danzzle dengar aku jadi sentimental begini, dia pasti akan mencatatnya sebagai kutipan langka,” kata Orion, mengubah suasana.
Kate ikut tertawa. Suara mereka membaur dengan gemericik sungai, membawa sedikit rasa damai yang begitu jarang mereka temui dalam kehidupan sebagai ksatria.
Saat matahari mulai menurun, mereka kembali ke desa dengan hati sedikit lebih ringan dari sebelumnya. Namun jauh di lubuk hatinya, Kate tahu masih ada roh lain yang menunggu. Masih ada jalan-jalan gelap yang harus ia terangi. Selama masih ada cahaya dalam dirinya, ia akan terus berjalan. Sebagai penerang dan sebagai penjaga jalan menuju Either.
***
Malam itu, langit di atas desa tampak tenang. Rasi bintang Cassioopeia menggantung di langit utara, seolah menjadi simbol dari keabadian dan kekuatan alam semesta. Desa yang sunyi dan damai di bawahnya seolah-olah menjadi bagian kecil dari luasnya alam semesta.
Sementara itu rumah sang tetua desa tempat mereka bermalam, hanya diterangi lampu minyak redup yang menggantung di langit-langit bambu. Di ruang tamu, hamparan tikar dari anyaman daun kering menjadi tempat istirahat bagi para Ksatria Cahaya. Danzzle dan Jasper sudah lama terlelap, sementara Lyra hanya berpura-pura tidur di pojokan ruangan, sesekali melirik ke arah Orion dan Kate yang tidur tak jauh darinya.
Kate tampak gelisah malam itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan tubuhnya menggeliat pelan, seakan berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang tak kasat mata. Sesekali bibirnya bergumam lirih, dengan menggunakan bukan bahasa manusia biasa. Orion yang tengah menyandarkan diri di dinding kayu, membuka mata dan langsung menoleh padanya ketika Kate tiba-tiba menggeliat hebat.
Di dalam mimpi Kate, malam kembali menyelimuti. Ia berdiri di jalanan desa yang tertutup kabut. Hening lalu terdengar tawa. Suara tawa anak-anak yang semalam sempat ia redakan. Namun kini berbeda, tawanya bergema, terlalu nyaring, terlalu banyak, dan terlalu dekat. Kate berbalik dan mendapati sosok anak-anak itu berdiri dalam kabut, tak bergerak. Namun mata mereka menyala merah.
Anak paling besar yang semalam ia tenangkan dengan seruling emas, kini terlihat lebih tinggi, lebih gelap, dan jauh lebih menakutkan. Dengan langkah-langkah berat, ia mendekat dan menerkam Kate, menariknya paksa dari tempat itu.
“TIDAK!!” Kate berteriak dalam hati, mencoba mengaktifkan Arcanenya. Tapi tidak ada cahaya. Kekuatannya menghilan dan tubuhnya terasa lemah, seolah dilumpuhkan dari dalam.
Ia diseret melewati kabut, keluar dari desa masuk ke belantara hutan di sisi utara. Pohon-pohon menjulang gelap, dan udara di sana seperti mengisap napasnya satu-satu. Kate merasa dicekik oleh kegelapan.
Hingga akhirnya ia dilemparkan ke atas batu besar di tengah hutan, sebuah altar yang dipenuhi simbol-simbol sihir gelap. Lumut menutupi sebagian permukaannya, tapi warna merah tua seperti darah sudah mengering di sisi-sisinya.
Kate mencoba bergerak, tapi tak bisa. Tubuhnya terasa kaku. Lalu dari balik kegelapan, muncullah sosok pria tua dengan rambut panjang, acak-acakan, wajahnya dipenuhi guratan yang seperti digambar oleh luka dan sihir. Mata kelamnya seperti kosong, tapi penuh amarah yang membeku.
Ia merapal mantra dalam bahasa yang bahkan Kate tak bisa kenali. Suaranya berat, bergema seperti berasal dari dasar sumur yang sangat dalam. Ia mengangkat belati besar ke udara. Ujungnya bersinar dengan cahaya hitam.
“Demi pengorbanan tertunda... demi pintu Either yang belum tertutup... demi tubuhmu, sang penerang jalan... kau akan menjadi jembatan!”
Belati itu meluncur ke bawah. Langsung menuju jantungnya.
“TIDAAAAK!!”
Kate terbangun dengan jeritan keras. Tubuhnya langsung duduk tegak, napas memburu. Keringat membanjiri wajahnya, lehernya basah, matanya membelalak seolah baru diseret kembali dari neraka.
“Kate!”
Orion sudah berada di sampingnya dan merengkuh Kate dalam dekapan. Entah sejak kapan ia duduk begitu dekat.
“Tenang, kau aman di sini.”
Kate menatap mata Orion, seolah memastikannya nyata. Lalu tubuhnya mulai gemetar hebat. Suara tangisnya akhirnya lolos juga dari bibirnya, tertahan selama beberapa detik, sebelum akhirnya meledak dalam pelukan Orion.
Dengan lembut, tangan Orion membelai punggung Kate untuk menenangkan gadis itu. “Kau mimpi buruk?” tanyanya pelan.
Kate hanya bisa mengangguk di pelukannya, matanya masih sembab.
“Hutan... altar... ada pria tua... dan anak itu... dia menyeretku...”
Orion menarik napas dalam, menyandarkan dagunya ke kepala Kate. “Mimpi itu, terdengar seperti sesuatu yang bukan sekadar mimpi,” gumamnya. “Mungkin semacam penglihatan.”
Kate menggeleng lemah, suaranya nyaris seperti bisikan. “Itu terasa nyata, Orion. Aku merasa tubuhku disegel. Bahkan Arcaneku tidak muncul dan pria tua itu, dia menyebutku jembatan.”
Orion diam sejenak, pikirannya bergerak cepat. “Kalau itu bukan mimpi biasa. kita harus menyelidikinya. Ini bisa berarti ritual di balik gangguan di desa ini belum sepenuhnya berhenti.”
“Kalau itu benar, maka anak-anak itu bukan sekadar roh tersesat. Mereka adalah korban,” ucap Kate meremas jubah Orion pelan.
Orion memandang Kate dalam-dalam, melihat keteguhan di balik ketakutannya. “Kau tidak sendiri. Apa pun ini, kita akan menghadapinya bersama.”
Kate akhirnya mengangguk pelan dalam pelukan Orion. Danzzle yang sempat terbangun dan mendengar sebagian mimpi Kate dari kejauhan, hanya menatap dengan serius sambil mencatat sesuatu di dalam jurnal kecilnya. Sedangkan Lyra dari sudut ruangan, kembali memejamkan mata. Tapi tidurnya tetap tidak tenang malam itu.
Malam berlalu namun bayangan dari hutan gelap dalam mimpi Kate belum benar-benar menghilang. Dan entah di mana, di balik akar-akar tua dan tanah yang belum dijamah cahaya, sebuah altar yang nyata masih menunggu korban berikutnya.
***
Kabut pagi masih menggantung rendah di atas desa di lereng timur Gunung Ceaseton. Cahaya matahari hanya mampu menembus sebagian kabut, menciptakan siluet bayangan pepohonan yang tampak jauh lebih tinggi dari biasanya. Suara burung hutan yang bersahutan lirih, tak mampu menyingkirkan rasa dingin yang menggigit kulit.
Orion menatap hutan di ujung timur desa dengan pandangan serius. Kate berdiri di sisinya, wajahnya pucat, tetapi matanya bersinar tegas. Jasper dan Danzzle sudah bersiap, mengenakan perlengkapan ringan untuk perjalanan singkat. Sementara Lyra, dengan ekspresi tak sabar, menyilangkan tangan di dadanya.
“Kita benar-benar akan menyusuri hutan ini, hanya karena mimpi?” tanya Lyra, dengan nada sinis.
Orion menoleh padanya, tajam. “Bukan mimpi biasa. Jika benar altar yang dilihat Kate itu nyata, maka ini bukan sekadar penglihatan. Ini peringatan.”
Danzzle menyisipkan sebuah gulungan kertas ke dalam tasnya. “Aura Kate tadi malam, aku merasakannya. Satu detik sebelum dia terbangun, jiwanya seakan ditarik oleh sesuatu. Jika itu bukan panggilan dari sihir level tinggi, aku tak tahu apalagi.”
“Tapi tetap saja masuk ke hutan hanya karena visi? Ini berbahaya dan tidak rasional.” Lyra menghela napas panjang.
Kate akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi mengandung beban. “Kalau kau merasa tak aman, Lyra, kau bisa tetap di desa. Tapi aku harus tahu, apakah yang kulihat itu nyata atau tidak. Jika ada roh lain yang masih terperangkap, aku tidak bisa berpaling.”
Orion hanya memberi isyarat singkat dengan dagunya. “Kita berangkat.”
Mereka semua akhirnya melangkah menuju dalam hutan, termasuk Lyra yang berjalan dengan wajah kesal. Perjalanan ke dalam hutan tak semudah yang mereka duga. Pepohonan tumbuh begitu rapat. Akar-akar mencuat dari tanah, seperti tangan-tangan yang mencoba menggenggam kaki mereka. Jalan setapak nyaris tak terlihat, tertutup daun-daun kering dan semak berduri.
Meski masih pagi, cahaya matahari sulit menembus rimbunnya daun. Hutan ini terasa tua. Terlalu tua. Aroma tanah basah dan kayu lapuk memenuhi udara. Dan yang lebih mencekam, tak ada suara burung, tak ada serangga, hutan ini terlalu sunyi.
Danzzle menggambar simbol pelindung kecil di telapak tangannya, menggumamkan mantra pelacak yang bisa membantunya membaca energi sisa sihir gelap. Sesekali ia berhenti, memejamkan mata, dan mengangguk kecil.
“Kita ke arah yang benar.”
Semakin mereka memasuki hutan, suasana semakin menegang. Mereka semua tampak waspada, kecuali Lyra yang sibuk menepis daun pakis yang menghalangi jalannya dengan wajah kesal.
“Satu jam kita berjalan, dan masih belum ada apa-apa. Ini hanya mimpi! Hanya mimpi bodoh dari gadis yang terlalu larut dalam perasaan,” dengus Lyra.
Tiba-tiba Kate jatuh berlutut membuat semua teman-temannya langsung berhenti.
“Kate?” Orion mendekat cepat.
Kate tak merespons. Kepalanya menengadah ke atas, matanya terbuka lebar dan tampak memutih.
“Dia kerasukan!” seru Danzzle.
Gelombang energi halus menyebar dari tubuh Kate. Tak tampak dengan mata biasa, tapi terasa seperti tekanan yang mendadak menghantam dada. Orion dan Danzzle terlempar mundur beberapa langkah, seperti didorong oleh dinding tak kasat mata.
“Kate!” Orion mencoba bangkit, tapi energi itu mendorongnya kembali ke tanah.
Suara Kate terdengar, tetapi bukan suaranya sendiri. Suaranya menjadi dalam, seperti gema yang datang dari dua tempat sekaligus.
“Altar telah dibangkitkan. Perjanjian lama menuntut bayaran. Penjaga Cahaya telah dipanggil.”
Kemudian bayangan hitam muncul dari tanah di bawah Kate. Bukan seperti asap, tapi seperti cairan hitam pekat yang membentuk sosok tak beraturan. Bayangan itu perlahan membungkus tubuh Kate, seperti selimut dingin yang menelan cahaya di sekitarnya.
Jasper segera menarik pedangnya. Lyra membeku di tempat, matanya membelalak penuh ngeri.
“Lepaskan dia!!” teriak Orion, mencoba menghantam bayangan itu dengan sihir cahaya, tapi sihirnya menghilang begitu menyentuh kegelapan.
Dalam hitungan detik, tubuh Kate telah terangkat dari tanah. Bayangan itu memeluknya, lalu meluncur cepat menembus rimbunnya hutan menuju bagian terdalam yang belum mereka lalui.
Danzzle mengejar, sayangnya gagal mendapatkannya kembali dan hanya sempat melihat siluet Kate menghilang di balik kabut gelap.
“KAATEE!!” teriak Orion dengan suara serak.
Namun jawabannya hanya hening. Hutan menelan suara mereka. Orion mengepalkan tangannya, matanya merah oleh amarah dan ketakutan.
“Kita harus temukan dia. SEKARANG.”
Danzzle hanya mengangguk cepat, wajahnya pucat. Jasper menarik napas tajam, menyarungkan pedangnya kembali. Lyra berdiri terpaku. Matanya masih lebar. Tubuhnya gemetar.
“Itu... bukan mimpi...” bisik Lyra lirih tanpa ada yang mendengarnya.
***
Di suatu tempat di dalam hutan.
Kate terbaring tak sadarkan diri di atas altar batu, persis seperti dalam mimpinya. Di sekelilingnya, puluhan simbol ritual menyala merah di tanah. Sosok pria tua bermata hitam berdiri di atasnya, tersenyum lebar.
“Akhirnya kau datang sendiri, jembatan suci...”
Malam pun kembali jatuh sebelum semua bisa memahami apa yang benar-benar terjadi.