"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Belanja
"Hanin?" Bu Amira menatap wajah menantunya yang manis tanpa polesan make up.
"Iya, Bu? Ibu butuh sesuatu? Biar saya ambilkan," tawar Hanin.
"Jangan pernah meninggalkan Raffa, ya. Apa pun yang terjadi nanti. Kamu dan Raffa sudah ditakdirkan untuk bersama, Nin. Raffa memang dingin, pada orang lain. Tapi, dia akan menjadi sangat posesif jika menyangkut soal orang-orang yang dia sayangi."
Hanin dapat melihat kesedihan di wajah Bu Amira. "Ibu jangan cemas. Saya dan Mas Raffa akan tetap bersama, Bu. Bagaimana mungkin, saya meninggalkan Mas Raffa? Palingan yang ada malah Mas Raffa yang ninggalin saya, kekehnya.
"Tidak akan terjadi hal seperti itu, Nak." Wanita paruh baya itu menyentuh pipi kanan Hanin.
"Aku sudah menyuruhnya untuk mendaftarkan pernikahan kalian agar tercatat sah di negara dan hukum," tukasnya.
Seulas senyum Hanin berikan."Terima kasih, Bu. Ibu baik sekali. Awalnya, saya takut mau bertemu Ibu. Takut kalau Ibu tidak suka sama saya," celetuknya.
Bu Amira tersenyum saat mendengar celetukan menantunya itu. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Hanin meringis. "Saya ini hanya gadis desa, Bu. Saya juga gak cantik. Sedangkan Mas Raffa itu gagah dan ganteng. Kayak gak cocok gitu sama saya. Takutnya Ibu tidak suka punya mantu kayak saya.Saya cemas kalau Ibu malu," jelasnya.
Bu Amira terkekeh. "Buktinya ibu gak begitu kan? Meski kita barupertama ketemu, ibu sudah jatuh hati sama kamu, Nin. Kamu sederhana dan apa adanya."
"Makasih, Bu." Hanin menunduk malu.
"Jadi, menurutmu Raffa itu ganteng?" goda Bu Amira.
Hanin tersipu malu. "Saya bohong kalau bilang Mas Raffa jelek. Mas Raffa ganteng meski sedikit menyebalkan."
Tanpa Hanin sadari, Raffa kini berdiri di sampingnya. Raffa berdeham, sontak saja Hanin terkejut setengah mati. Hanin tertegun sejenak,
merasakan suasana yang berbeda disekitarnya. Perlahan ia menoleh, dan matanya bertemu dengan Raffa yang tersenyum kecil. Wajahnya memerah seketika, menyadari bahwa ia baru saja memuji suaminya tanpa sadar bahwa sang pemilik wajah tampan itu ada di dekatnya.
"Kamu serius, Nin? Kalau aku ganteng?" Raffa bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya, nada menggoda meluncur dari bibirnya.
"anu... Mas Raffa.., suaranya Hanin tergagap. "Eh... itu ...terbata-bata.
Bu Amira tertawa kecil melihat ekspresi Hanin yang kikuk. "Jangan dikerjain terus, Fa. Kasihan Hanin.
Namun, bukannya berhenti, Raffa justru semakin mendekatkan wajahnya ke arah Hanin.
"Jadi, aku harus percaya sama pujian tadi, atau itu cuma karena dipaksa keadaan?"
Hanin hanya bisa menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri. Kenapa harus sejujur itu didepan Bu Amira? Melihat Hanin yang tampak begitu malu, Raffa akhirnya mundur sambil terkekeh.
"Aku nggak nyangka kamu bisa sekikuk ini, Nin."
Hanin menggigit bibirnya, sementara Bu Amira menepuk bahu menantunya. "Sudah, sudah. Kalian ini seperti anak kecil saja. Hanin, jangan terlalu banyak berpikir negatif tentang dirimu. Ibu percaya Raffa memilihmu karena dia yakin kamu adalah yang terbaik untuknya." dengar kata Ibu. Kamu itu lebih dari Raffa mengangguk setuju.
"Iya, cukup untuk aku, Nin. Meski berawal dari kesalahpahaman, tapi inilah jalan kita berdua."
Hanin tertegun mendengar kalimat itu. Meski terkesan sederhana, ada kehangatan dalam nada suara Raffa yang membuat hatinya berdebar.
"Iya, Mas."
"Bu, yang aku katakan tadi jadi, ya. Ibu berangkat berdua saja sama Hanin dengan ditemani Pak Wirya. Aku gak bisa nemenin karena ada urusan mendesak," tukas Raffa pada ibunya.
"Kamu sudah nelpon Wirya?" tanya Bu Amira.
"Sudah. Sebentar lagi Pak Wirya tiba." diam menatap ibu dan anak didepannya secara bergantian. Hanin yang tak mengerti.
kata Bu Amira. "Hanin, ibu mau ngajak kamu jalan-jalan? "
"Ke mana, Bu?"
"Ada deh. Nanti kamu juga tahu sendiri. Suamimu biar di sini saja jaga rumah. Mau kan kamu keluar sama ibu berdua saja?" Bu Amira menatap Hanin penuh harap. mengulas senyum
"Iya, Bu," jawab Hanin seraya apa telpon aku!" kata Raffa pada Hanin.
"Hati- hati. Nanti kalau ada apa-apa telpon aku, ujar Raffa."
"Tapi, aku nggak punya nomor hapemu, Mas," cicit Hanin yang membuat Bu Amira melongo.
"Hah? Astaga! Kalian ini pasangan suami istri apa bukan? Masa nomor pasangan saja gak punya?" tukas Bu Amira. Wajahnya dipenuhi dengan rasa heran.
"Soalnya kan kami ketemu tiap hari, Bu. Mas Raffa juga kalau pergi-pergi selalu pamit. Jadi ... kami gak pernah teleponan," jelas Hanin.
Bu Amira geleng- geleng kepala. "Kamu ini gimana, sih, Fa?" todongnya pada sang anak. Cepat, dikte nomormu biar disimpan diponsel Hanin!" titahnya.
Raffa menggaruk tengkuknya."Iya, Bu..."
Bu Amira kembali memekik saat melihat kondisi ponsel Hanin.Ponsel tersebut cashing nya sudah pudar, dan layarnya pun retak.
"Astaga, Raffaaa ... kamu ini gimana jadi suami? Masa istrinya dibiarin pakek hape rusak?"
"Ehh, ini gak rusak, Bu. Hape saya ini masih bisa dipakai," kata Hanin. Ia jadi sungkan sendiri rasanya. Apalagi ia jadi tak enak pada Raffa yang selalu disudutkan ibunya sendiri.
Raffa menatap ponsel yang ada di genggaman istrinya. Perlahan rasa bersalah kembali hadir karena ternyata ia memang tidak peduli pada kondisi istrinya. Sudahlah pakaian warnanya banyak yang pudar, pakaian dalam banyak bekas jahitan tangan, dan kini ia baru tahu kalau ponsel Hanin juga tak layak pakai.
"Masih bisa dipakai gimana, Nak? " Udah retak begini, " Kata Bu Amira.
"Meski begini, hape ini masih bisa dipakai telpon sama WA, Bu."
Bu Amira menghela napas panjang. "Ya udahlah, ayo, kita berangkat! Pak Wirya udah datang tuh!" katanya.
Hanin mengangguk. la terkejut saat Bu Amira merangkulnya. Hal yang tak pernah ia dapatkan dari Bu Daning. Namun, ia diam saja dan menikmati momen langka itu. Kapan lagi ia dipeluk oleh wanita yang dipanggil Ibu? Meskipun ituadalah ibu mertua?
"Mari, silakan masuk! Saya akan mengantar kalian kemana pun sesuai perintah Pak Raffa." Pak Wirya berkata seraya menundukkan kepala, hormat.
Hanin memperhatikan lelaki paruh baya itu. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya, Pak?" tanyanya. Wajah Pak Wirya seperti tak asing dalam ingatannya.
Pak Wirya berusaha tenang dan bersikap biasa saja. "Ini pertemuan pertama kita, Nona,"
"Oh, benarkah?" Hanin sedikit jawaban tak percaya.
"Iya, benar." Seolah mengerti situasi yang terjadi, Bu Amira menyela obrolan Pak Wirya dan Hanin. "Hanin, Pak Wirya ini kan supir taksi langganan ibu. Memang kamu pernah ketemu di mana?"
"Emm... itu ...." Hanin kesulitan menjawab. Penampilan Pak Wirya yang nampak lebih rapi tanpa kacamata dan kumis membuatnya nampak berbeda. Sehingga Hanin menjadi ragu.
Apakah Pak Wirya orang yang pernah memberinya steak tempo hari atau bukan.
"Maaf, mungkin saya memang salah orang," kata Hanin kemudian.
"Ya udah, ayo!" Bu Amira melirik Pak Wirya yang nampak lega. Ia menahan senyum atas sikap lelaki paruh baya itu.
Bu Amira mengajak Hanin kemall dengan didampingi Pak Wirya, orang kepercayaan Raffa yang juga jago bela diri. Raffa ingin berjaga-jaga jika ada orang yang berniat buruk, sudah ada Pak Wirya yang menangani.
Bu Amira membelikan Hanin beberapa pakaian termasuk pakaian dalam, tas, dan sendal. Ia memberi tawaran Hanin untuk memilih. Namun, menantunya itu menolak karena harga di mall itu sangat mahal.
Hanin bahkan menawarkan untuk membeli di pasar tradisional saja. Di sana cukup murah dan bisa dapat banyak. Namun, kali ini Bu Amira yang menolak.
"Di pasar memang murah, tapi kualitasnya juga biasa saja, Hanin.Ada harga, ada rupa. Di sini harganya lumayan mahal. Tapi,pasti awet."
Hanin terdiam. Ia tak enak hati. Keluarga suaminya bukan kalangan orang kaya. Tapi, kenapa memilih belanja di tempat itu? pikirnya.
"Bu, tidak perlu banyak- banyak. Satu saja cukup," kata Hanin saat melihat ibu mertuanya memasukkan beberapa pakaian dalam wanita ke keranjang belanjaan. semua dari Raffa. Hadiah
"Sudah, kamu diam saja, ya. Ini pernikahan untukmu. Karena kalian menikahnya dadakan, Raffa belum sempat beli semua ini. Makanya, kamu belinya sekarang, langsung sama ibu."
Hanin tak bisa berkata- kata lagi. Ternyata, Ibu sama anak sikapnya sama saja, pikirnya. Setelah hampir dua jam berkeliling mal, Hanin merasa kelelahan. Tangannya penuh dengan kantong belanjaan,sebagian bahkan sudah dibawa oleh Pak Wirya. Bu Amira tampak tidak kehabisan energi. la terus menarik Hanin dari satu toko ke toko lainnya.
"Bu, saya capek...mungkin cukup dulu belanjanya," keluh Hanin dengan nada pelan.
Bu Amira menoleh, tersenyum lembut. "Capek belanja, tapi kalau untuk Raffa pasti kamu nggak keberatan, kan?" godanya.
Hanin tersipu. la tahu maksud Bu Amira, tapi tetap saja meras tidak nyaman menerima begitu banyak barang. Baginya, ini terlalu berlebihan. Namun, di balik senyuman Bu Amira, ada sesuatu yang Hanin tidak tahu. Sang ibu mertua tengah berusaha memastikan bahwa Hanin merasa diterima sepenuhnya di keluarganya. Ia tahu Hanin masih ragu pada dirinya sendiri, merasa tidak pantas untuk Raffa. Belanja ini bukan sekadar hadiah, tetapi juga cara untuk membangun kepercayaan diri Hanin.
Ketika mereka selesai, Bu Amira menggandeng lengan Hanin sambil berkata, "Hanin, jangan pernah merasa kamu tidak cukup baik untuk Raffa. Kamu itu sudah menjadi bagian dari keluarga ini.Kalau kamu bahagia, Raffa juga akan bahagia."
Hanin terdiam, lalu mengangguk perlahan. Kata- kata itu menyentuh hatinya.
Setibanya di rumah, Hanin membawa semua barang belanjaan ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang,memandangi pakaian dan hadiah yang diberikan Bu Amira. Satu persatu ia keluarkan, hingga matanya tertuju pada sebuah kotak kecil berwarna merah. di dalamnya terdapat seuntai
Hanin membuka kotak itu, dan kalung berliontin sederhana. Ia mengernyit, tidak ingat bahwa barang ini dibeli tadi. "Cantik sekali" gumamnya pelan, meski hatinya sedikit bimbang.
Belum sempat ia menyimpan kalung itu, pintu kamar terbuka dan Raffa masuk. Matanya langsung tertuju pada kotak merah di tangan Hanin.
"Kamu suka?" tanya Raffa, berjalan mendekat.
Raffa duduk di sampingnya, tersenyum. "Iya. Aku suka Mas."
"Ini dari Mas?" ngambil kalung itu di mall saat kalian belanja. Maaf, jika kamu tidak suka sama modelnya. Aku bisa menukarnya nanti."
Hanin menggigit bibirnya, merasa terharu. Lalu ia
menggeleng. "Ini sangat bagus, Mas. Terima kasih. Tapi ... kenapa? Apa ini karena aku kelihatan nggak pantas jadi istrimu? Jadi, kamu belikan kalung ini?" tanyanya pelan.
Raffa menatap Hanin, agak terkejut mendengar pertanyaan itu."Nin, kamu harus berhenti berpikir seperti itu. Kamu istriku, bukan karena aku terpaksa, tapi karena aku mau. Kalung itu bukan untuk membuatmu merasa pantas, tapi sebagai pengingat kalau aku akan selalu ada di sampingmu. Saat kamu memakai kalung itu, aku harap kamu selalu ingat bahwa kamu sudah punya aku."
Air mata Hanin mulai menggenang. la merasa lega sekaligus bahagia mendengar pengakuan itu. Tanpa banyak kata,ia mengangguk, menerima kalung itu dengan perasaan hangat dihatinya.
"Terima kasih, Mas sama Ibu baik sekali. Entah berapa uang yang sudah kalian keluarkan untuk membeli semua ini."
Raffa mengusap kepala Hanin.
"Tak usah memikirkan hal itu."
"Oh, ya. Apa urusan Mas sudah selesai?" Hanin menatap Raffa.
Raffa menyeringai. "Sudah..."la teringat apa yang sudah ia lalukan agar Menik ketakutan karena telah mengganggu Hanin.