Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
Pagi itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya di lereng Gunung Tandikek, tidak jauh dari Nagari Balingka. Udara dingin mencengkeram tulang, dan suara-suara dari hutan seperti mengintai setiap langkah mereka.
Bahri, Reno, Ucup, dan Ajo berjalan menyusuri jalan setapak kecil, dipandu oleh Datuk Mangkuto. Langkah mereka lambat, tapi hati masing-masing semakin berat.
"Kenapa kita harus ke sini, Datuk?" tanya Reno pelan.
"Salah satu dari empat gerbang lainnya ada di sini. Di kuburan tua para penjaga ilmu hitam. Mereka yang dahulu menjadi pengikut Siti Rubiah dan menyebarkan ajarannya ke wilayah lain," jawab Datuk.
Ajo menoleh pada Ucup. "Kita kembali ke kuburan, Cup. Jangan sampai kau dibuntuti oleh nenek tua bergigi dua."
Ucup melotot. "Aku tidak takut pada nenek-nenek. Kecuali kalau mereka minta dinikahi."
Bahri tidak tertawa. "Kuburan ini bukan sembarang tempat. Di bawahnya, tersimpan roh para pendekar tua yang mengabdikan tubuh mereka pada kekuatan gelap. Dan salah satunya... belum mati sepenuhnya."
Mereka tiba di depan batu nisan besar berlumut, ditutupi semak dan akar pohon beringin. Suasana mendadak senyap. Burung tidak berkicau. Udara terasa menggantung.
Datuk Mangkuto mulai membaca doa pembuka, sementara Bahri meletakkan bungkusan kecil berisi rambut bayi dan bunga tujuh rupa.
"Kita tidak membangunkan... kita hanya ingin tahu siapa yang masih hidup di antara yang mati," gumam Bahri.
Tanah tiba-tiba bergetar. Dari balik akar pohon, muncul asap kelabu yang berubah menjadi sosok lelaki tua tanpa mata, dengan tubuh penuh luka dan mulut terjahit.
Ia tidak bersuara, hanya menunjuk ke arah timur, lalu menghilang seperti kabut tersapu angin.
"Ia memberi petunjuk. Namun bukan tanpa harga," ucap Datuk.
Tiba-tiba, Ucup menggigil. "Eh... kenapa badanku dingin sekali, Jang?"
Reno menatap matanya. "Pup, matamu merah. Sepertinya ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhmu."
Bahri segera mencabut sebatang lidi dari tas kulitnya, lalu menepukkan ke pundak Ucup sambil membaca mantra. Ucup menjerit keras, namun seketika ambruk dan terdiam.
Setelah beberapa detik, ia membuka mata lagi. "Rasanya seperti habis ditampar kerbau."
Ajo mengelus dadanya. "Kukira engkau dirasuki oleh roh pendekar itu."
Bahri menjelaskan, "Tadi, salah satu roh penjaga ilmu hitam mencoba masuk ke tubuh Ucup. Untung saja ia bukan orang yang mudah dikendalikan."
Ucup mengangkat dagu. "Tentu saja. Aku ini seperti kelapa muda—luarnya keras, dalamnya... lembut, tapi manis."
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur sesuai petunjuk. Mereka melewati sungai kecil, ladang penduduk, dan akhirnya tiba di sebuah hutan pinus yang sunyi. Di tengah hutan, ada pondok reyot yang tampaknya sudah lama ditinggalkan.
Namun Bahri langsung merasa hawa tidak biasa. "Tempat ini menyimpan salah satu roh terkuat. Ia tidak bisa dibinasakan, hanya ditenangkan."
Datuk Mangkuto menambahkan, "Namanya Kalai. Ia dulunya pendekar yang terobsesi pada keabadian. Ia meminum darah anak kandungnya sendiri... demi kekuatan."
Reno menunduk. "Itu... seperti kisah Siti Rubiah."
"Dia adalah muridnya," sahut Datuk.
Di pondok itu, mereka melakukan ritual pemanggilan menggunakan sirih, limau nipis, dan potongan rotan hitam. Cincin perak diletakkan di tengah lingkaran tanah.
Saat mantra dibaca, tanah bergetar dan suara seperti ringkikan kuda terdengar dari bawah lantai.
Tiba-tiba, lantai pondok terbuka. Dari bawah muncul sosok lelaki tinggi, mengenakan pakaian pendekar yang robek, dengan mata merah dan gigi panjang menonjol keluar dari mulutnya.
"Aku Kalai... Aku tidak takut mati... karena aku sudah mati."
Ia melompat ke arah Reno, namun Bahri menancapkan tongkat besi ke tanah. Asap putih menyebar dan membuat Kalai memekik kesakitan.
Datuk Mangkuto membaca mantra penenang, lalu melemparkan sirih yang menyala api kecil ke dada Kalai. Tubuh Kalai terbakar perlahan, namun tidak musnah, justru berubah menjadi arang dan menyatu ke dalam cincin perak.
Bahri mengambil cincin itu. "Satu lagi telah terkunci."
Saat mereka keluar dari pondok, langit telah memerah. Burung gagak terbang rendah di atas kepala.
Ucup menghela napas. "Dari desa ke desa... sekarang malah seperti mengumpulkan arwah. Bisa-bisa dibuka pameran hantu keliling."
Ajo menambahkan, "Aku hanya berharap satu hal..."
"Apa itu?" tanya Reno.
"Perjalanan berikutnya jangan sampai ada hantu yang mendengkur."
Tawa mereka pecah di tengah senja yang mengintai, namun langkah tetap berat, karena mereka tahu: perjalanan masih jauh, dan musuh sejati belum menunjukkan dirinya.
Matahari pagi belum sepenuhnya muncul ketika rombongan Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup tiba di sebuah perkampungan kecil di kaki Bukit Barisan. Kampung itu bernama Koto Baru, sebuah nagari tua yang dikelilingi sawah menguning dan pohon-pohon besar yang seolah menyimpan rahasia zaman.
Seorang lelaki tua berkain sarung dan memakai kopiah hitam menyambut mereka di pelataran rumah gadangnya. Dialah Lurah Tuo, pemimpin adat yang dihormati di nagari itu.
"Selamat datang, anak cucu. Angin dari utara membawa kabar kedatangan kalian," ucapnya dengan suara berat namun ramah.
Bahri memberi hormat, diikuti yang lain. Mereka duduk bersila di lantai kayu rumah gadang, dihidangi kopi hitam dan lemang hangat.
"Kami datang bukan untuk mengusik, Lurah. Kami hanya mencari jejak yang mungkin tertinggal. Ada yang mengatakan, di sini pernah ada tapak batu yang tidak bisa dipindahkan, disebut-sebut sebagai gerbang pengikat roh gelap."
Lurah Tuo mengangguk perlahan. "Batu itu masih ada. Di belakang surau lama, dikelilingi tiga pohon beringin yang tumbuh sejajar. Tak seorang pun berani menyentuhnya, apalagi memindahkannya. Orang yang mencoba, biasanya jatuh sakit, atau bahkan menghilang."
Setelah mengisi tenaga dengan hidangan sederhana, rombongan diantar oleh Lurah Tuo ke belakang surau. Di sana, memang terdapat tiga pohon beringin besar, dan di tengahnya, tiga batu besar disusun membentuk segitiga. Di salah satu batu, terdapat bekas telapak tangan membatu yang ukurannya jauh lebih besar dari tangan manusia biasa.
"Ini... tapak Kalai?" tanya Reno pelan.
"Bukan," jawab Bahri. "Ini lebih tua. Tapak ini konon milik orang pertama yang memburu Palasik. Namanya Datuak Tampuniang Langik. Ia tidak mati, tapi menghilang dalam kabut waktu. Tapi roh-roh yang ia segel, masih terkunci di tempat seperti ini."
Ucup memandangi pohon-pohon itu. "Kenapa tempatnya terasa... berat, ya?"
Ajo menggigil meski matahari sudah tinggi. "Angin di sini seperti membisikkan sesuatu."
Bahri membuka tasnya, mengeluarkan sehelai kain kuning yang sudah pudar, lalu menaburkan beras kuning dan mencelupkan jari ke dalam minyak cendana. Ia menggambar sebuah lingkaran di tanah di dalam formasi tiga batu itu.
"Kita akan membuka salah satu kunci, hanya sekejap, untuk melihat apa yang tersembunyi di dalamnya. Tapi kalian harus siap jika sesuatu keluar. Jangan panik."
Mantra dibaca, angin berdesir lebih kencang. Daun-daun beterbangan, dan tanah dalam lingkaran itu mendadak menghitam. Asap tipis menyembul perlahan. Dari dalam kabut itu, terdengar suara seperti tangisan bayi, namun tidak wajar. Terdengar berat, serak, dan memilukan.
Ucup menarik lengan Reno. "Itu... bukan suara anak kecil, kan?"
Reno menggeleng, matanya tetap menatap ke tengah lingkaran.
Dari dalam kabut, muncul sesosok bayangan. Bayangan itu menyerupai wanita tua dengan wajah yang sangat panjang, matanya hitam tanpa bola mata, dan kepalanya melayang tanpa tubuh.
"Palasik!" Ajo berseru, mundur beberapa langkah.
Bahri segera mengangkat cincin perak dari kantongnya, yang sudah berisi roh Kalai. Cincin itu bersinar saat diarahkan ke arah makhluk itu.
Makhluk tersebut menjerit. Jeritannya mengguncang pohon-pohon sekeliling, membuat burung-burung beterbangan, dan beberapa atap surau berderit.
Lurah Tuo berdiri di sisi mereka, membaca ayat-ayat pendek dengan lantang. Gabungan cahaya dari cincin, bacaan Lurah Tuo, dan lingkaran mantra Bahri membuat makhluk itu menciut dan menghilang dalam pusaran asap yang masuk kembali ke tanah.
Tanah kembali normal. Lingkaran hitam perlahan memudar.
Bahri berlutut, kelelahan. "Itu... bukan Palasik biasa. Itu roh penuntun. Ia tidak menyerang, tapi memberi peringatan."
"Peringatan apa?" tanya Reno.
"Bahwa semakin dalam kita menyusuri jejak ini, semakin dekat kita dengan sumber kegelapan. Dan kemungkinan besar... Siti Rubiah sudah tahu kehadiran kita."
Ucup menyeka peluh. "Dari tadi aku berpikir, bisa tidak kalau kita berhenti sebentar, ke pasar, cari gorengan, baru lanjut lagi?"
Ajo tertawa kecil. "Kau ini, Cup. Walau dikejar setan, tetap saja perutmu nomor satu."
Lurah Tuo menepuk bahu Ucup. "Kalau perut kenyang, hati tenang. Tapi ingat, malam ini jangan keluar rumah. Karena roh yang tertarik pada kalian... belum semua kembali ke tempatnya."
Malam di Koto Baru terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar, suara burung hantu bersahutan dengan gonggongan anjing kampung.
Dan di balik kabut yang menggantung di jalanan tanah kampung, sepasang mata merah mengintai dari balik batang pohon. Bukan Kalai. Bukan penuntun.
Melainkan satu di antara yang masih bebas...
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...