Lanjutan Cerita Harumi, harap membaca cerita tersebut, agar bisa nyambung dengan cerita berikut.
Mia tak menyangka, jika selama ini, sekertaris CEO yang terkenal dingin dan irit bicara, menaruh hati padanya.
Mia menerima cinta Jaka, sayangnya belum sampai satu bulan menjalani hubungan, Mia harus menghadapi kenyataan pahit.
Akankah keduanya bisa tetap bersama, dan hubungan mereka berakhir dengan bahagia?
Yuk baca ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liburan
Dimohon dengan sangat, yang udah mampir, tolong subscribe, dan like yaaa ...
Please ...
Mia bernapas lega, begitu menjejakkan kakinya di Border, tepat saat kereta mulai melaju meninggalkan stasiun. Hampir saja dia terlambat, karena sempat terjebak kemacetan di jalan menuju arah stasiun.
Karena liburan kali ini mendadak, Mia hanya membawa ransel berisi pakaian ganti, dan keperluan perempuan, serta Sling bag untuknya saat jalan-jalan di kota tujuan.
Mia membuka pintu geser, dan melangkahkan kakinya di antara kursi berwarna cokelat, yang kesemuanya menghadap arah depan laju kereta. Kereta yang dipilihnya bukan kereta yang harus adu lutut dengan penumpang lain.
Netranya menangkap lambaian tangan janda perawan yang kali ini mengenakan Hoodie hitam. "Sini ..." Seru Andita.
Mia menghampiri, dia menaruh terlebih dahulu ranselnya, pada bagasi atas tempat duduknya, setelah sebelumnya mengambil Tumbler miliknya. Barulah dia duduk di sebelah sahabatnya.
"Gue bilang ke mama, kalau Lo yang beliin gue tiket kereta. Jadi kalau mama nanya ke Elo, jawabnya gitu, ya!"
"Kalau kata Pak ustad yang ngisi pengajian ibu, kalau bohong itu dosa." Andita menahan tawanya.
"Iya gue tau, tapi kalau gue nggak bohong, nyonya Kusti pasti ngomel, karena gue boros. Padahal Minggu kemarin gue abis jalan ke Curug sama Monica dan Lala, buat hemat duit. Sekarang malah gue ke Jogja, yang tiketnya aja lumayan."
"Ya entar pulang dari sana, Lo mesti ngaku."
"Iya-iya entar sekalian gue bawain bakpia." Sahut Mia seraya duduk di samping sahabatnya.
Suasana kereta cukup ramai, hampir seluruh tempat duduk di gerbong yang dua perempuan itu tempati, penuh. Maklum saja, ini akhir pekan.
"Dita, Mas Jaka ngajak gue nikah." Ungkap Mia, sepeninggal Anggita, dia semakin dekat dengan perempuan yang usianya lebih muda empat tahun darinya.
"Ya baguslah," sahut Dita santai.
"Kok bagus? Lo lupa, tanggungan gue masih banyak. Kalau gue nikah, gimana sama nyokap dan adik-adik gue?"
"Ya bagus, coba Mbak Mia pikir." Andita mengambil jeda sejenak. "Kalau mas Jaka meniduri Mbak Mia tanpa menikah, siapa yang rugi? Lo mbak! Terus masalah tanggungan, kan Lo bisa omongin atau buat surat perjanjian, bahwa Lo tetap boleh kerja, jika kalian menikah nanti."
Mia mencerna kata-kata janda perawan di sebelahnya. Meski sedikit bar-bar dan blak-blakan, tapi terkadang Andita cukup bijak.
"By the way, kenapa ujug-ujug Lo diajak nikah? Perasaan tadi siang Lo cerita, kalau kemarin dia ngajak Lo bobo bareng. Kenapa bisa berubah secepat itu?"
Mia menceritakan tentang kejadian di ruang ganti, tak ada yang ditutupinya sama sekali, termasuk ketika Jaka menciumnya dengan brutal. Mia memang terbuka pada sahabatnya yang satu ini.
"Fix, kalau memang Mbak Mia cinta sama Mas Jaka, terus kerjaannya dia lancar, dalam arti sudah punya kerjaan tetap. Saran gue, terima aja sih."
"Tapi gue masih ragu, apa bener dia cinta sama gue? Terus kalau gue nikah sama dia, Apa Bu Dessy nggak bakal ngamuk? Secara beliau mau jodohin mas Jaka sama anak temennya. Kalau misal gue sama Mas Jaka dipecat, gimana?" Mia merasa khawatir, apalagi Dessy adalah mantan CEO sebelum Dimas menjabat.
"Elah mbak, takut amat masalah rejeki. Yang kasih kita rejeki itu Tuhan, bukan Bu Dessy."
Kebanyakan manusia, terlalu bergantung pada atasan. Dan rela melakukan apapun yang disuruh atasan, tak peduli itu benar atau salah. Padahal tempat sesungguhnya manusia bergantung adalah Sang Maha Pemberi Rejeki.
"Iya juga sih! Masa iya Pak Dimas rela mecat tangan kanannya, hanya karena urusan pribadi." Gumam Mia.
Andita duduk bersandar di jendela kaca dibelakangnya, agar bisa menghadap sahabatnya. "Mbak, Lo lupa, kalau Pak Dimas, Bulol parah sama mbak Rumi. Nah Elo kan juga termasuk dekat sama Mbak Rumi, Lo bisa tuh ngerayu Mbak Rumi, biar Pak Dimas jangan sampai pecat Lo sama Mas Jaka. Entar gue ikutan ngomong, deh." Usulnya.
"Bener juga, ya! Aish ... Kenapa gue nggak kepikiran?" Sebagai salah satu orang yang dekat dengan Bunga Harumi, tentu Mia tau, jika atasan sampai mengancam kakaknya sendiri akan mundur dari perusahaan, kalau pernikahannya dengan Rumi tidak direstui.
"Pokoknya, Lo mesti pede jangan minder. Tapi ..." Andita menggantung ucapannya.
"Tapi apa?" Tanya Mia penasaran, dia sampai menghadap mantan istri Aditya itu.
"Lo harus benar-benar pastiin, kalau mas Jaka, beneran cinta sama, Lo! bukan karena mau dapat perawan doang. Maklum lah, cewek modelan kayak kita gini, udah langka banget di jaman sekarang."
"Caranya gimana?" Mia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, itu tanda jika dirinya tengah bingung.
"Sini gue bisikin."
Mia menurut, lalu Andita membisikan rencana, guna menguji apakah Jaka benar-benar mencintai Mia atau hanya sekedar iseng.
***
Kereta baru sampai di stasiun tujuan, sekitar pukul setengah enam pagi. Keduanya memilih beristirahat di ruang tunggu stasiun, karena mereka berencana mencari sarapan di sekitar sana, sebelum mendatangi adik kandung Anggita.
Mereka juga menyusun rencana apa saja yang akan mereka lakukan, untuk menghabiskan akhir pekan.
"Gue lupa, Nyonya Kusti nyuruh gue buat nengokin Nia di Semarang. Tapi kan tiket kereta buat balik, udah gue pesan dari sini, jadi gimana, dong?" Tiba-tiba Mia teringat pesan ibunya, sebelum berangkat tadi malam.
"Ya mau nggak mau, mesti dibatalin dong, meski sayang juga kena potong dua puluh lima persen."
Keduanya berpikir keras, apa yang harus dilakukannya agar tiket kereta tidak terkena potongan. Tapi tetap bisa menemui Nia.
"Andita bukan sih?" Tanya pria dengan ransel hitam di punggungnya, berdiri tak jauh dari kedua perempuan yang tengah diam berpikir.
Namanya disebut, membuat Andita menoleh, begitu juga dengan Mia. "Mas Ari ..." Keduanya bergumam hampir bersamaan.
Mia tau, bahwa pria berjaket kulit itu adalah mantan calon suami dari Rumi, Anggita pernah menunjukan foto pria itu.
Andita bangkit, dan menyalami Ari, begitu juga dengan Mia. Tak lupa menanyakan kabar dan tujuan kedatangan ke kota ini.
"Ya udah sekalian bareng aja ke rumah Angga, kebetulan saya juga mau ke sana Kok." Kata Ari.
"Tapi kita mau cari sarapan di sekitar sini dulu, mas! Mumpung lagi di sini." Tutur Andita, yang diiyakan oleh Mia.
"Oke, yuk saya kasih tempat rekomendasi sarapan yang enak di sini."
Kedua perempuan itu mengikuti langkah pria yang tingginya sekitar seratus tujuh puluhan itu.
***
Selesai Sarapan, ketiganya langsung pergi menuju tempat tinggal Anggara, menggunakan taksi daring.
Mia mulai menceritakan, tentang rencananya menjenguk adik perempuannya yang kuliah di Semarang. Juga tentang tiket kereta yang sudah dibelinya.
"Ya udah kalau gitu, abis urusan saya beres. Saya antar kalian ke Semarang, mungkin agak siangan, ya!" tawar Ari.
"Mas Ari serius?" tanya Mia antusias.
"Serius lah, sekalian ada perlu juga di sana."
"Makasih banyak, ya mas!" kata Mia dan Andita kompak.
Tak lupa Mia mengupload perjalanannya di insta story miliknya, dengan caption "Makasih banyak mas Ari, kamu penolong kami." Tak lupa men-tag Akun milik Andita dan juga Ari Susilo.
jangan sampai di unboxing sebelum dimutasi y bang....
sisan belum up disini rajin banget up nya....
terimakasih Thor....
semangat 💪🏻