follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
Untuk pertama kalinya, Mikha berangkat ke kantor dengan diantar Gilang. Semua demi lancarnya rencana yang sudah dia susun.
Ini yang pertama, sekaligus menjadi yang terakhir Gilang mengantarnya karena hari ini adalah hari terakhir Mikha magang.
Tiga bulan lamanya berada di kantor Gavin. Tak terasa akan secepat ini berlalu.
Hubungannya dengan Gavin belum membaik. Mikha masih menonaktifkan handphonenya. Belum membuka komunikasi dengan Gavin lagi sejak kemarin pagi.
Sebenarnya bisa saja Mikha langsung to the point pada Gilang. Tapi Mikha rasa, bermain-main dengan Gilang sebentar sepertinya akan sangat menyenangkan. Lelaki macam Gilang memang harus diberi pelajaran.
Hidup Gilang sekarang terlihat tenang. Seolah masa lalu itu tidak pernah ada. Sedangkan hidup Uli berakhir karena ulah Gilang. Mikha tidak terima akan hal itu.
"Gue antar sampai ke ruangan Lo, ya?"
"Ngapain? Nggak usah aneh-aneh. Sampai sini aja cukup."
Kenyataannya, penolakan Mikha tak berarti apa-apa untuk Gilang. Dia tetap mengantar Mikha sampai ke ruangannya. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang menatap keduanya dengan tatapan penuh tanya.
Tak ada yang berani melarang Gilang masuk karena mereka tahu bahwa Gilang adalah adik Gavin.
Tanpa keduanya tau, Gavin berjalan di belakang mereka. Rasa cemburu di dalam hati Gavin begitu besar saat melihat Mikha berjalan berdua dengan Gilang. Padahal itu hak mereka. Tidak ada yang bisa melarangnya.
Gilang menyadari kalau Gavin berjalan di belakang mereka. Sebab itu dia sengaja memancing kecemburuannya dengan merangkul pundak Mikha, kemudian mencium puncak kepala Mikha dengan mesra.
"Apa, sih, Lang?" protes Mikha tak suka. Perlakuan Gilang kali ini dirasa sangat berlebihan.
"Nggak usah protes kalau nggak mau mereka mikir kita nggak harmonis," bisik Gilang.
"Emang nggak, kan?"
"Proses."
Mikha dan Gilang masuk ke dalam lift untuk karyawan. Saat itulah Mikha tau kalau di belakang mereka ada Gavin yang kini tengah menatapnya dengan lekat.
Rasanya jantung Mikha hampir lepas dari tempatnya.
***
"Baik-baik kerjanya, istri! Nggak usah macam-macam. Situ udah punya suami."
"Kayak sendirinya nggak macam-macam aja," sindir Mikha.
Lucu rasanya mendengar Gilang memintanya untuk tidak berbuat macam-macam karena sudah punya suami. Sedangkan dirinya sendiri malah buka celana untuk perempuan lain.
"Nggak usah dibahas. Gue udah nggak kayak gitu lagi sekarang."
"Iya sekarang emang enggak. Kan, lagi di sini sama gue."
"Maksud gue bukan gitu, Mikha."
"Iyaaa... Udah, ah, Lo pergi aja sana. Udah sampai di ruangan gue, kan?"
Niat Gilang untuk membuat cemburu Gavin pagi ini sudah berhasil. Di depan umum, Gavin tak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan Gilang terhadap Mikha.
Memeluk Mikha, menggandeng tangan Mikha, bahkan mencium Mikha. Gavin tak bisa melakukan hal tersebut.
"Siapa yang menyuruhmu masuk sampai ke sini, Lang?" Gavin menghampiri Mikha dan Gilang di ruangan Mikha.
"Biasanya, kan, juga begini. Gue bebas masuk ke sini kapanpun."
"Tapi sekarang nggak. Lo keluar sekarang! Dan kalau mau ke sini harus dengan ijin gue."
"Belagu banget, Lo." Gilang menggerutu kesal.
Mengalihkan pandangannya ke Mikha, Gilang mengusap rambut Mikha pelan. Membuat Mikha ingin mematahkan tangan Gilang yang sudah seenaknya saja mampir ke tubuhnya. Pagi ini Gilang sudah berlebihan.
"Kerja yang bener, Mikha. Nanti sore aku jemput." Gilang sengaja merubah panggilannya dengan "aku" karena ada Gavin di sana.
"Iya," jawab Mikha dengan sedikit malas.
***
"Selamat pagi, Pak. Saya ke sini mau mengambil handphone saya yang sempat saya titipkan kemarin."
Gavin menaikkan satu alisnya. Menatap Mikha dengan tajam. Sikap Mikha berubah pagi ini. Selain mengumbar kemesraan di depan umum dengan Gilang, sikap Mikha juga berubah seratus delapan puluh derajat.
"Kamu sudah tau kesalahan Gilang, Kha. Kenapa kamu malah seakrab itu dengan dia?"
Mikha tersenyum tipis. "Maaf, Pak Gavin. Itu urusan pribadi saya. Ini handphone yang kemarin Pak Gavin belikan untuk saya, saya kembalikan."
Mikha meletakkan handphone mahal pemberian Gavin ke atas meja, lalu mengambil handphonenya sendiri yang berisi rekaman video tidak senonoh yang dilakukan Gilang.
"Aku nggak butuh handphone itu, mikha."
"Pak Gavin bisa memberikannya pada siapapun." Mikha menunduk menyembunyikan matanya yang mulai berkabut. "Ini hari terakhir saya magang di sini."
Ucapnya Mikha membuat Gavin membelalakkan matanya. Dia terlalu menikmati kebersamaannya dengan Mikha hingga tas sadar jika ini adalah hari terakhir Mikha ada di kantornya.
"Saya minta maaf kalau selama saya bekerja di sini saya banyak kurangnya, banyak salahnya. Terimakasih sudah mengajarkan saya banyak hal, Pak. Saya pamit."
Mikha segera membalikkan badannya membelakangi Gavin. Tangisnya tak dapat dia bendung lagi. Bukan perpisahan seperti ini yang Mikha harapkan. Dia ingin keluar dari kantor itu dengan keadaan yang baik-baik saja.
Tapi rasa kecewanya kepada Gavin terlalu besar. Dia menyayangi Gavin dengan sebuah ketulusan. Tapi Gavin hanya menjadikan dirinya pelampiasan. Itu balasan yang menyakitkan.
"Mikha!"
Mikha urung melangkahkan kakinya mendengar panggilan Gavin. Mikha tak menolah. Takut tak bisa menahan air matanya lagi.
Mikha tak mendengar Gavin berucap apapun. Tapi tak berselang lama, pelukan erat di rasakan Mikha di tubuhnya.
"Kenapa seperti ini? Kakak sayang sama kamu. Nggak bisa kalau kamu kayak gini. Kakak minta maaf. Tapi kamu bukan pelampiasan, Mikha. Percaya sama kakak."
Mikha semakin terisak. Mikha juga sayang pada Gavin. Tapi Gavin, Gilang, dan keluarganya yang lain sudah sangat menyakiti hati Mikha. Mereka sudah menyembunyikan kenyataan besar dari Mikha dan orangtuanya.
"Lupakan semuanya_"
"Jangan berani bicara seperti itu, Mikha. Itu tidak akan pernah kakak lakukan." Dengan cepat Gavin menyela ucapan Mikha.
"Kamu sudah membuatku kecewa, Kak. Aku nggak bisa bersama dengan orang yang sudah menyakiti keluargaku."
"Andai kamu tau kalau itu juga menjadi beban untukku, Mikha. Nggak mudah memendam semuanya sendiri saat hati dan pikiran sudah benar-benar ingin berontak."
Keduanya terdiam. Gavin masih memeluk Mikha dengan erat. Tak ingin melepaskannya sebelum Mikha memaafkan dirinya.
"Tolong jangan pernah berubah, Sayang. Kakak nggak bisa kalau kamu seperti ini."
Mikha memberanikan diri untuk memutar tubuhnya, berhadapan dengan Gavin. Kedua matanya yang memerah dan sembab menatap Gavin dengan dalam. Mencoba mencari keseriusan dalam diri Gavin.
"Kaca kalau sudah pecah, itu tidak akan pernah bisa kembali seperti semula, Kak. Begitupun dengan kepercayaan yang aku berikan untuk kak Gavin. Sudah hancur dan tidak akan bisa kembali seperti semula."
"Kita beli kaca yang baru."
Bukannya serius, jawaban Gavin justru membuat Mikha semakin kesal. "Bukan kayak gitu konsepnya, Bambang!"
Gavin tertawa kecil. "Gimana? Dimaafin, kan?"
"Nggak ada yang bilang kalau aku udah maafin kakak."
"Itu barusan bilang."
"Kak Gavin...." Rengekan kesal Mikha dibalas dengan sebuah pelukan erat dan hangat oleh Gavin.
"Hari ini kamu berulah banyak, Mikha. Kamu sudah buat aku cemburu. Buat apa diantar Gilang sampai ke ruangan kamu, hah?"
"Aku nggak minta."
"Tapi kamu nggak nolak juga, kan?"
"Aku udah nolak. Dia aja yang nekat."
"Harus cium-cium juga, ya?"
"Bukan aku yang minta, kakak. Udah, deh. Kalau ingat itu aku juga enek tau nggak!"
"Kalau gitu kenapa mau dekat-dekat dia? Udah tau kan, dia itu siapa?"
Mikha mengangguk pasti. "Tau. Tapi aku punya rencana buat dia, kak. Main-main sama dia sebentar bolehlah."
Gavin tertawa keras. Menertawakan Gilang yang tadi pagi dengan percaya dirinya mengumbar kemesraan dengan Mikha.
Keduanya lantas terdiam. Saling menatap dalam dan sama-sama menyunggingkan sebuah senyuman.
Perlahan, Gavin mendekatkan wajahnya. Harus sedikit menunduk karena tinggi Mikha yang hanya sebatas dada Gavin.
Bibir keduanya kembali bertemu. Kedua kalinya setelah di dalam mobil waktu itu.
Mikha memejamkan matanya. Menikmati permainan lidah Gavin yang memabukkan.
"Sudah. Takut kebablasan," ucap Gavin dengan napas yang terengah setelah ciuman mereka terlepas.
Mikha menaikkan satu alisnya. Menggigit kecil bibirnya dan menatap Gavin dengan genit.
"Ya Tuhan, Mikha. Jangan menggodaku. Setelah ini aku harus segera mengguyur kepala dengan air dingin."
Tawa keras keluar dari bibir Mikha setelah mendengar ucapan Gavin.
Bukan hanya Gavin yang takut tidak bisa menahan dirinya. Tapi Mikha sendiri juga takut jika hubungan keduanya terlalu jauh sebelum Mikha lepas dari Gilang.
🌹🌹🌹
Masih suka nggak? di lanjut nggak nih? 😑😑