Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Multivitamin
"Aku cinta kamu Dean, kamu kira yang sedang aku lakukan ini apa? Aku nggak suka karena kamu terus ragu-ragu. Jadi memang kayaknya aku yang harus maju lebih dulu," ucap Disty seraya memeluk tubuh Dean yang masih berdiri terdiam menatapnya.
"Kamu cinta aku nggak sih De?" sambung Disty sedikit kesal melihat reaksi kekasihnya yang sejak tadi banyak melamun terkesan tidak fokus.
"Aku sayang kamu Dis, tapi kamu nggak boleh pakai cara yang begini. Kamu harus bisa masuk ke keluargaku pelan-pelan. Ambil hati mereka. Ambil hati papa, ambil hati mama" bujuk Dean kepada Disty. Berharap kalau wanita itu tak akan mendesak untuk dinikahi dalam jangka waktu dekat ini.
Dean benar-benar tidak mengerti apa yang dirasakannya sekarang. Dia memang menyayangi Disty. Dia mengerti kesulitan yang dialami Disty selama ini. Tapi dia juga tidak ingin jika Pak Hartono tidak menerima istrinya kelak. Bagi Dean, restu orang tuanya teramat penting untuk hidup yang akan dijalaninya.
"Beri aku waktu, aku akan coba ngomong lagi ke papa. Selama itu, kamu jangan berbuat macem-macem," ucap Dean sambil memeluk dan menepuk-nepuk pelan punggung wanita itu.
Disty merangkulkan kedua lengannya ke sekeliling pinggang Dean, kemudian wanita itu mulai menciumi dada kekasihnya yang terbalut kemeja.
Wanita berkulit eksotis itu mendongakkan kepala memandang kekasihnya yang sangat tampan siang itu. Berharap jika Dean akan menciumnya, Disty memejamkan mata.
Sedetik kemudian mereka hanyut dalam ciuman yang panjang dan panas. Disty yang memang kemarin malam tidak bercinta dengan Dean, masih penasaran akan kekasihnya itu.
Disty mulai meraba-raba resleting celana Dean. Dia merasa jika tak sempat bercinta kemarin malam, setidaknya siang ini dia harus mengingatkan Dean akan kemahiran lidahnya.
Selama ciuman mereka itu, tangan Disty sudah berhasil menyusup ke dalam boxer kekasihnya. Tangannya sudah menggenggam sebuah benda hangat yang mulai mengeras berisi.
Hingga kemudian Dean seperti tersadar dan mulai melepaskan ciumannya. "Aku harus buru-buru, papa-mama bakal tiba di rumah sebentar lagi. Mama pasti langsung nyariin aku," ujar Dean tersenyum.
Tangan kanannya menarik pelan tangan Disty kemudian cepat-cepat membetulkan resleting dan letak celana chinos hitam yang dipakainya.
Dean khawatir kalau-kalau efek obat yang diminumnya kemarin malam itu masih berpengaruh. Karena dia merasakan ketika tangan Disty menggenggam sesuatu miliknya itu, darahnya kembali berdesir dengan cepat.
Meski agak susah melepaskan dirinya dari Disty, tapi akhirnya Dean berhasil keluar dari apartemen. Dean melirik jam di pergelangan tangan kirinya, dia hanya berada di sana tak lebih dari 2 jam.
Dia langsung melajukan kendaraannya menuju Menteng, daerah kediamannya. Dalam perjalanan, matanya melihat sebuah apotek. Tanpa berpikir panjang Dean langsung menepikan kendaraannya.
"Ada multivitamin Mbak?" tanya Dean pada seorang pegawai apotek yang berseragam biru.
"Multivitamin untuk apa Mas?" tanya pegawai itu sambil tersenyum-senyum melihat konsumen tampan yang terlihat kebingungan tapi malah memasang tampang jutek.
"Emangnya multivitamin untuk apa aja Mbak?" tanya Dean tak sabar.
"Ya, ada merek yang ini, merek ini, merek ini dan merek ini Mas. Kalau merek yang ini fungsinya untuk mening--" Pegawai apotek mengeluarkan beberapa merek multivitamin dan menjabarkannya di hadapan Dean. Tapi belum lagi ia selesai bicara, Dean telah memotongnya.
"Ya sudah saya ambil semuanya. Semuanya yang kamu pegang itu saya ambil. Cepat dibungkus. Berapa?" tanya Dean lagi tak sabar seraya mengeluarkan dompet dan mengulurkan sebuah kartu berwarna hitam.
"Pembayarannya di kasir ya Mas. Sebelah sana," jawab pegawai apotek dengan tangannya menunjuk ke arah kanan, tempat sebuah konter bertuliskan 'kasir' berada.
Dean cemberut sembari membawa bungkusan yang disodorkan pegawai apotek tadi untuk menuju bagian kasir dan membayar semua multivitamin yang dibelinya dalam berbagai merek itu.
Di dalam mobil ketika melanjutkan perjalanannya menuju rumah yang tak jauh lagi, Dean berpikir keras bagaimana caranya agar dia bisa memberikan multivitamin itu kepada Winarsih tanpa membuat wanita itu marah, tersinggung ataupun malah mencampakkannya.
******
Dean berjalan gelisah hilir-mudik di ruang makan. Waktu masih menunjukkan pukul pukul 4 sore. Pak Hartono yang dikiranya akan kembali sekitar pukul itu tampaknya belum juga muncul.
Dean masih memegang bungkusan yang dibelinya tadi dari apotek. Langkah kakinya ragu-ragu menuju antara dapur atau kembali ke kamarnya. Tak ada satupun pegawai yang bisa ditanyainya soal keberadaan Winarsih sore itu. Pria itu kembali berjalan ke ruang keluarga menuju pintu besar yang mengarah ke kolam renang.
Dean tidak melalui dapur untuk menghindari bertemu dengan Mbah yang pasti akan bertanya padanya soal urusannya mencari Winarsih.
Meski berjalan agak jauh memutar, akhirnya Dean tiba di depan kamar Winarsih. Dean mendekati pintu kamar, mencoba mengetuknya dua kali dan memasang telinganya tajam-tajam. Tak ada suara yang didengarnya dari dalam. Dia mulai khawatir kalau Winarsih benar-benar sakit dan tidak mampu bangkit dari tempat tidurnya. Seperti seorang penguntit, Dean menempelkan telinganya ke pintu kamar.
Tiba-tiba, "Cari apa Pak?"
DUKK!!
Kepala Dean membentur pintu. Suara Winarsih yang muncul di belakangnya tiba-tiba membuat Dean terkejut.
"Emm... nggak. Nggak ada," jawab Dean sedikit terbata-bata.
Sialan, dia tak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Winarsih yang muncul dengan sebuah daster batik di bawah lutut dan wajah pucat mampu membuatnya kehilangan kata-kata.
"Saya mau masuk Pak, hari ini saya sudah izin sama Mbah bahwa saya nggak membantu pekerjaan," ujar Winarsih diplomatis dengan wajah datar.
"Oh ya silakan," jawab Dean cepat seraya mundur dua langkah menjauhi pintu kamar.
Winarsih maju memegang handle pintu dan kemudian membukanya. Ternyata pintu itu dalam keadaan tidak terkunci.
Pembantunya itu masuk dan mendorong pintu agar tertutup dengan tangan kirinya. Jelas Winarsih berniat menghindari tatapan Dean yang mengandung arti khawatir dan keangkuhan tersirat secara bersamaan.
"Tunggu!" Tangan kiri Dean menahan pintu yang nyaris tertutup.
"Ada apa lagi?" tanya Winarsih yang mulai sebal melihat anak majikannya itu.
"Aku tadi membelikan ini untuk kamu," Dean mengangkat bungkusan dari apotek tadi di hadapan Winarsih.
"Apa itu? Saya nggak perlu. Saya cuma mau istirahat sekarang," jawab Winarsih tegas. Tangannya kembali mau menutup pintu.
Ternyata tenaga Dean hanya dengan sebelah tangan kirinya begitu kuat menahan pintu agar tidak tertutup.
"Maaf Win, saya nggak sengaja" ucap Dean pelan.
Anak majikannya ini baru saja mengatakan bahwa dia tidak sengaja telah memperkosanya tadi malam.
Airmata Winarsih kembali menggenang. Dia tak tahu harus mengatakan apa kepada Dean. Haruskah dia memohon kepada Dean untuk menikahinya? Rasa-rasanya itu sangat tidak mungkin.
"Saya membelikan ini untuk kamu. Saya nggak mau kamu sakit atau kenapa-napa karena saya" ujar Dean cepat sambil terus memandang Winarsih.
Pandangan Dean membuatnya risih. Apalagi sore itu Winarsih yang baru saja kembali dari ruang pegawai untuk menelepon Utomo, hanya menggunakan sebuah daster tipis di bawah lutut.
"Saya nggak perlu itu. Saya baik-baik aja" ucap Winarsih datar.
Menyadari dirinya yang sudah terlalu lama berdiri di depan pintu kamar pembantunya, Dean sedikit kesal.
"Ya udah ini diambil aja belagu banget sih,"
ketus Dean sambil menyorongkan bungkusan dari apotek tadi ke dekapan dada Winarsih.
Dean lalu bergegas pergi meninggalkan kamar pembantunya itu.
Sebelum benar-benar menghilang di kelokan, Dean berbalik dan berkata, "Awas kalau nggak kamu minum! Nanti saya tanya ke Tina atau Mbah," ancam Dean dengan sedikit tarikan senyum di bibirnya yang tak dilihat oleh Winarsih.
Saat pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua, Dean memijat-mijat jari tangan kanannya yang tadi menyodorkan bungkusan multivitamin kepada Winarsih.
Darahnya kembali berdesir saat tadi tak sengaja tangannya menyentuh dada Winarsih. Otaknya langsung menyuguhkan ingatan jelas soal dada itu yang dalam keadaan polos saat sedang dieksplorasi dengan lidahnya.
Apa benar reaksi obat kuat mampu bertahan berhari-hari? tanya Dean pada dirinya sendiri. Dean berjalan buru-buru menuju kamarnya.
Tampaknya dia harus lebih banyak beristirahat dan menghindar bertemu pembantunya itu beberapa hari ke depan jika tak ingin sesuatu yang berbahaya terjadi lagi.
To Be Continued.....