Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Usia mereka masih belasan tahun ketika duduk di bangku SMA, usia di mana rasa ingin tahu dan emosi mudah meledak hanya karena hal kecil. Saat itu sedang ramai kabar di sekolah: sepasang murid ketahuan berciuman di taman belakang.
Berita itu menyebar cepat, jadi bahan gosip di kantin, lorong, bahkan saat jam kosong. Jovita termasuk yang paling heboh membicarakannya, setiap ada jeda, selalu saja ia membahas kejadian itu dengan antusias berlebihan.
Beberapa hari setelah gosip itu memanas, hujan deras turun tiba-tiba begitu Devan dan Jovita selesai mengerjakan tugas kelompok di rumah salah satu teman. Langit yang tadinya mendung langsung pecah, membuat keduanya terpaksa berlari sekuat tenaga.
Air hujan membasahi mereka secepat kilat. Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah toko yang tutup, hanya ada atap kecil sebagai perlindungan. Napas mereka masih terengah.
Rambut Jovita basah kuyup, menempel di pipinya. Seragamnya pun melekat pada kulit, memperlihatkan siluet tubuhnya dengan cara yang membuat Devan langsung memalingkan wajah.
Tanpa banyak pikir, ia melepas jaketnya, lalu menyerahkannya pada Jovita tanpa berani menatap langsung.
“Pake ini,” katanya singkat.
Jovita menerima tanpa ragu. “Thank you.”
Hujan turun begitu deras sampai suara percikannya menutupi hampir semua suara lain. Mereka berdiri bersebelahan, tapi ada jarak canggung yang menggantung di antara keduanya.
Jovita akhirnya memecah keheningan. Suaranya sedikit meninggi agar terdengar di tengah ributnya hujan.
“Kenapa orang-orang suka ciuman? Apa hebatnya itu sampe mereka melakukannya?” tanyanya polos, seolah benar-benar penasaran, bukan mau menggoda.
Devan menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Gak ada yang hebat. Biasa aja,” jawabnya datar.
Jovita langsung memutar tubuh, menatapnya penuh kecurigaan. “Kamu udah pernah?” tanyanya, matanya menyipit seakan ingin menangkap kebohongan.
“Belum,” jawab Devan tanpa ragu. “Tapi bukannya sama aja kayak kita nempelkin sesuatu ke bibir?”
Jovita mengernyit. “Mana ada. Tekstur bibir sama benda lain jelas beda, otomatis rasanya juga beda.”
“Gimana kamu tau beda? Kalau belum pernah,” balas Devan cepat.
Jovita membuka mulut hendak menjawab, tapi terdiam. Devan juga menutup mulutnya kembali, sadar ia baru saja melontarkan pertanyaan yang aneh.
Perdebatan kecil itu menggantung begitu saja. Suasananya kembali hening, tapi kini bukan canggung, lebih seperti hening penuh kesadaran, seolah masing-masing tiba-tiba memikirkan hal yang sama dan sama-sama pura-pura tidak memikirkannya.
“Kalau gitu,” ucap Jovita pelan, memecah keheningan. “Kita buktiin aja.”
Devan menoleh cepat, kaget. Belum sempat ia berkata apa-apa, Jovita sudah maju sedikit, menjinjit, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Devan.
Singkat. Tapi cukup untuk membuat tubuh Devan menegang. Napasnya tertahan, matanya membesar. Otaknya kosong.
Jovita segera menjauh, menatapnya datar sambil memicing tipis, seperti sedang menilai sesuatu.
“Kamu benar,” gumamnya. “Biasa aja.”
Ia kembali menatap ke jalan yang diguyur hujan. “Tapi tetep beda sama kalau sesuatu nempel di bibir.”
Beberapa detik berlalu sebelum Devan akhirnya bisa bergerak. Ia tertawa kecil, tak percaya. Ia memandangi orang yang barusan… tanpa aba-aba… mencuri ciuman pertamanya.
Lalu Devan merendahkan suaranya. “Bukan gitu caranya.”
Jovita menoleh bingung, tapi tak sempat bertanya. Devan sudah lebih dulu meraih pergelangan tangannya, menariknya sedikit lebih dekat. Ia menunduk, lalu mencium bibir Jovita dengan hati-hati.
Jovita membelalak, terkejut. Tapi ketika Devan membuka mulutnya sedikit, mengulum dengan ragu dan kaku, Jovita perlahan memejamkan mata. Gerakan mereka canggung, tidak mulus.
“Ah… jadi gini rasanya,” batin Jovita. “Sekarang aku tau kenapa orang-orang melakukannya.”
Sejak hari itu, setiap kali Devan melihat Jovita, dadanya langsung berdebar tanpa bisa dikendalikan. Canggungnya muncul begitu saja. Ia sendiri heran. Dari awal ia memang sudah tertarik pada gadis itu, tapi setelah ciuman pertama mereka… semuanya berubah. Pikiran Devan penuh oleh kejadian itu. Sampai-sampai ia sulit tidur beberapa malam.
Sementara Jovita?
Gadis itu bersikap seperti biasanya. Santai. Tenang. Seolah tidak ada momen apa pun yang sempat terjadi di antara mereka.
Devan sering memandanginya diam-diam dan bergumam dalam hati,
Dasar gadis gila.
Devan terbangun tiba-tiba, seperti ditarik keluar dari mimpi yang tak ingin ia akui. Tanpa sadar ia ternyata tertidur sambil menatap foto-foto lama yang dikirim Dania, foto masa remajanya. Dan hampir semuanya… Jovita.
Ia mengerjap, memastikan benar-benar sadar. Jam di ponselnya menunjukkan pukul dua pagi.
Dengan lelah, ia bangkit duduk. Lehernya lengket, keringat membasahi punggung dan dadanya. Udara kamar terasa panas dan pengap.
“Kenapa aku tiba-tiba mimpiin itu?” gumamnya tak percaya. “Gimana bisa? Itu udah lama banget…”
Tapi memori itu menyeruak begitu jelas seolah baru kemarin terjadi.
Ia menatap ke langit-langit, AC-nya mati lagi. Baru kemarin diservis, tapi tetap saja mogok.
“Mereka beneran benerin gak sih?” keluhnya kesal.
Devan akhirnya bangkit, membuka jendela lebar-lebar. Angin malam masuk, membawa hawa dingin yang menyegarkan. Sedikit membantu, tapi tubuhnya tetap terasa lengket.
Merasa tak nyaman, ia memutuskan untuk mandi lagi. Selesai mandi, Devan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia menyalakan laptop dan kembali menekuni pekerjaannya. Jari-jarinya mulai bergerak di atas keyboard, namun tidak butuh waktu lama sampai fokusnya tercerai-berai lagi.
Wajah Jovita tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya, senyumnya, tatapannya, bahkan bayangan ciuman yang sudah bertahun-tahun lewat. Devan menyandarkan tubuhnya ke kursi, frustasi.
“Kenapa dia muncul terus? Aku jadi gak bisa fokus,” gerutunya pelan.
Akhirnya ia bangkit, mendorong pintu kaca menuju balkon. Malam di luar begitu tenang. Ia mengambil sebatang rokok dari saku celana, menyalakannya dengan gerakan yang sudah sangat familiar.
Asap putih keluar dari bibirnya, melayang perlahan ke udara malam. Di saat pikirannya penuh tapi tak ada tempat untuk menumpahkannya, merokok selalu menjadi pelarian kecilnya.
“Gak mungkin aku masih suka sama dia,” ucapnya lirih, hampir seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Itu udah lama…”
Tapi bahkan saat kata-kata itu keluar, ia tahu: pikirannya tidak berhenti mencari gadis itu.
Pagi harinya, Devan sudah duduk di depan komputer. Kelopak matanya terasa berat, namun ia tetap menatap layar yang penuh dengan laporan kepolisian. Di bibirnya, permen mint terus berpindah sisi, usaha kecil agar ia tetap terjaga setelah malam yang kacau.
Ketukan pelan terdengar di pintu, disusul seorang staf wanita dan seorang lelaki muda yang masuk ke ruangannya. Devan sontak menoleh.
“Pak Dev, ini Rangga, anak magang yang kemarin saya ceritain,” ujar staf itu singkat. “Dia mulai magang hari ini.”
Setelah mengenalkan, staf itu langsung kembali bekerja. Seharusnya Rangga berada di bawah pengawasan rekan Devan, tapi karena rekan itu sedang cuti mendadak akibat masalah keluarga, tugas itu berpindah ke Devan.
Rangga duduk di kursi meja sebelahnya. Bahunya tegang, punggungnya lurus seperti papan, dan matanya sibuk mengamati ruangan, mungkin mencoba menenangkan diri. Devan meliriknya sekilas lalu kembali pada laporan-laporannya.
“Umurmu berapa?” tanyanya tanpa menoleh. Suaranya tenang, datar, tidak bermaksud mengintimidasi, tapi justru itu yang membuat Rangga tampak semakin kaku.
“Dua puluh satu, Pak,” jawab Rangga, cepat dan hati-hati.
Devan mengangguk kecil. Ia mulai menanyai beberapa hal ringan, asal kampusnya, jurusan, dan sedikit tentang minatnya. Ia tahu anak itu gugup, ia pun pernah berada di posisi yang sama bertahun-tahun lalu.
Bedanya, pembimbingnya dulu sama sekali tidak bicara padanya. Orang itu hanya bekerja, memberi instruksi seperlunya, dan bersikap seolah kehadiran Devan hanyalah dekorasi ruangan.
Karena itulah Devan setidaknya mencoba membuat anak magang itu merasa tidak sedang duduk di ruang interogasi.
Waktu berjalan tanpa terasa. Jam pulang sudah lewat, sebagian besar rekan kerja Devan mulai meninggalkan kantor satu per satu. Namun Devan masih terpaku pada layar komputernya. Sementara itu, Rangga duduk di meja sebelah, gelisah.
Ia ingin pulang, tapi merasa tidak sopan meninggalkan kantor duluan sementara pembimbingnya masih bekerja.
Entah karena bingung harus berbuat apa, atau sengaja mencari perhatian, Rangga menjatuhkan botol minumnya. Bunyi denting kecil itu cukup untuk memecah fokus Devan.
Devan tersentak, menoleh ke sekeliling dan baru sadar ruangan hanya menyisakan dirinya dan Rangga. Tatapannya kemudian melirik ke jam tangan. Matanya membelalak.
“Kenapa kamu gak bilang udah jam pulang?” tanyanya. Nada suaranya naik sedikit, lebih terdengar kesal pada dirinya sendiri daripada marah pada Rangga.
Rangga langsung diam, serba salah. Devan buru-buru merapikan map dan berkas di mejanya, lalu mengenakan jas dengan gerakan tergesa. Rangga pun ikut bersiap.
Devan berjalan cepat menuju lift. Kepalanya dipenuhi satu hal: Jovita. Membayangkan wanita itu menunggu untuk membicarakan kasus itu lagi malam ini dan entah kenapa, jantungnya berdebar hanya membayangkan pertemuan itu. Ia ingin cepat pulang. Ingin melihat wajahnya lagi.
Ia mendengar langkah Rangga di belakangnya. Devan menoleh sedikit.
“Kamu udah baca kasus saya aku kasih, kan?”
“Sudah, Pak,” jawab Rangga cepat.
“Kalau gitu, apa yang kamu pelajari?” tanya Devan, nadanya menguji.
Hening. Rangga tak langsung menjawab, bibirnya bergerak tapi tak ada suara yang keluar.
“Pelajari lagi,” ucapnya akhirnya. “Besok pagi, jelaskan ke saya.”
Rangga mengangguk pelan, jelas lega karena tidak harus menjawab saat itu juga.
Begitu tiba di parkiran, mereka berpisah. Devan masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, lalu tanpa ragu menginjak pedal gas. Ia ingin segera sampai ke apartemen. Jovita sudah menunggunya.
Tak butuh waktu lama bagi Devan untuk sampai di apartemen. Sesampainya di parkiran, ia bahkan hampir berlari kecil menuju lobi. Ada senyum samar yang terus ia tahan, seolah tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
Namun begitu ia memasuki lobi, langkahnya mendadak berhenti.
Tatapannya langsung tertuju pada sofa tempat Jovita biasa menunggunya sejak kemarin. Sofa itu kosong.
Senyum di bibir Devan perlahan memudar. Ia berdiri mematung beberapa detik, menelan rasa kecewa yang datang tiba-tiba.
“Dia gak ke sini?” gumamnya pelan.
Ia menoleh ke arah pintu kaca, menatap ke luar seolah berharap melihat bayangan Jovita yang terlambat datang. Tapi tetap kosong. Tidak ada siapa pun yang ia cari.
Alis Devan terangkat sedikit. Bukan hanya Jovita yang tidak ada. Devan baru menyadari sesuatu yang lain juga hilang bersamaan dengan ketidakhadiran gadis itu.
To be continued