"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Badu saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aju benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara,...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah hadiah Bros berbentuk bunga lily
Sesuai janji, Galang kini sedang membicarakan kerjasamanya bersama Denis. Kali ini mereka sama-sama tak membawa staf dan orang kepercayaan mereka masing-masing. Galang sepakat menemui Denis berdua saja.
"Terima kasih pak Galang atas kerjasamanya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk kemajuan perusahaan saya dan mudah-mudahan Anda bersedia terus menyokong SH Group dalam jangka panjang," ucap Denis dengan nada meyakinkan sambil mengulurkan tangan.
Galang menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menyambutnya dengan genggaman singkat dan tegas.
"Tentu saja, Pak Denis. Selama kerja sama ini membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, saya tidak melihat alasan untuk menolak."
Senyum Denis merekah. Namun di balik ketenangannya, ada tatapan penuh perhitungan yang nyaris tak terlihat.
"Saya senang mendengarnya. Anda pria yang praktis, saya suka itu."
Galang hanya mengangguk tipis, lalu menyesap kopi hitamnya yang mulai mendingin.
"Saya menghargai profesionalitas, Pak Denis. Tapi saya juga percaya bahwa kejujuran lebih penting dari keuntungan."
Denis tertawa kecil, nada tawanya tenang tapi ada ketegangan tipis di baliknya.
"Benar sekali. Dunia bisnis tanpa kejujuran hanya akan melahirkan kekacauan."
Galang menatapnya lurus, tanpa ekspresi.
"Kekacauan… atau kehancuran?"
Sekilas, Denis tampak terguncang mendengar kata itu. Tapi ia cepat menutupi kegugupannya dengan senyum baru.
"Anda benar-benar pandai membaca situasi, Pak Galang. Tapi saya yakin kerja sama kita akan berjalan lancar."
Galang menyandarkan punggung ke kursi, kedua tangannya terlipat di depan dada. Namun pikirannya melayang pada sosok Tiara yang tadi pagi. Wajahnya seketika pucat dan itu sangat drastis. Entah apa yang membuat Tiara seperti itu.
"Maaf, pak Galang. Apakah Anda sedang memikirkan sesuatu?" tanya Denis pelan.
Galang menoleh cepat,
"Ah tidak tuan Denis." sahutnya lalu mencoba beranjak dari tempat duduknya.
"Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya akan pergi."sambung Galang.
Denis ikut berdiri, senyum tipis masih menghiasi wajahnya, meski matanya menatap penuh selidik.
"Tentu, saya mengerti. Tapi sebelum Anda pergi… saya ingin memberikan sesuatu untuk istri Anda,sebagai oleh-oleh." ucap Denis sambil menyerahkan sebuah paper bag bernuansa bunga.
Galang menghentikan langkahnya dan menatap paper bag dengan dingin, namun dengan cepat Galang mengambilnya.
"Baiklah tuan Denis, kalau begitu terima kasih." sahutnya dingin.
Denis terdiam,merasakan perubahan pada sikap Galang tadi.Begitu Galang menerima paper bag itu, ia hanya mengangguk singkat dan berbalik tanpa menoleh lagi. Suara langkah sepatunya terdengar mantap menuruni lantai marmer ruangan itu, meninggalkan Denis yang berdiri di tempat, dengan ekspresi sulit ditebak.
Begitu pintu tertutup, senyum Denis memudar perlahan. Ia menatap kursi di mana Galang tadi duduk, lalu menatap cangkir kopinya yang sudah kosong.
"Apa aku salah berbicara?" gumamnya lirih.
Sementara di dalam mobil Galang menatap paper bag itu. Bagaimana mungkin paper bag itu akan sampai pada Reina yang sudah tiada.
Galang menatap paper bag itu lama. Jemarinya mengepal di atas setir, rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tak diucapkan. Logo toko bunga mewah di sisi tas itu seakan mengejeknya. Kata-kata Denis barusan terus terngiang di kepalanya, menusuk lebih dalam daripada yang ia kira.
Ia menarik napas panjang, matanya menatap lurus ke depan. Langit tampak abu-abu, sama seperti hatinya saat itu.
"Istri…" bisiknya lirih, penuh getir.
"Kalau saja kau tahu, Denis… istri itu sudah tiada." lanjutnya lagi.
Beberapa saat kemudian, mobilnya melaju di jalanan sepi menuju rumah. Namun entah kenapa, bayangan wajah Tiara tiba-tiba muncul di benaknya senyum lembutnya di dapur tadi pagi, caranya menenangkan Reihan, dan tatapan matanya yang sempat kosong entah karena apa.
Galang menepis bayangan itu cepat-cepat, seolah takut sesuatu di dalam dirinya mulai bergerak.
"Tidak,aku tidak akan membiarkan siapa pun menggantikan Reina." gumamnya lirih.
Mobil berhenti di halaman rumah. Ia mengambil paper bag itu, menatapnya sebentar, lalu berjalan masuk.
"Kau sudah pulang, Nak?" tanya Raisa begitu melihat Galang masuk.
"Iya Ma," sahutnya singkat.
Namun tatapan Raisa tertuju pada paper bag yang dibawa Galang di tangannya.
"Kau membeli hadiah?" tanya Raisa ,sambil tersenyum samar.
"Ah ini... ini hanya hadiah dari rekan bisnisku, Ma." sahut Galang sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
Raisa hanya mengangguk pelan lalu kembali membaca majalah yang sudah dipegangnya dari tadi.
"Kalau begitu aku ke atas, Ma." ucap Galang lagi.
Raisa hanya mengangguk pelan. Namun tatapannya langsung kembali pada sosok Galang yang mulai menjauh dari pandangannya. Ia yakin dengan pikirannya sendiri. Sementara Galang langsung membuang paper bag itu ke atas ranjangnya.
Sebuah kotak kecil keluar dari paper bag itu . Kotak berwarna navy membuat Galang penasaran.
Galang menatap kotak itu beberapa detik, lalu duduk di tepi ranjang. Kotak kecil berwarna navy bahan beludru halus yang dingin di telapak tangannya.
Ia menghela napas berat, lalu dengan ragu membuka kotak itu. Di dalamnya tergeletak sebuah bros berwarna perak berbentuk lily putih. Kecil, tapi tampak mahal. Batu kecil di tengahnya berkilau lembut ketika terkena cahaya lampu kamar.
"Cantik," gumamnya pelan.
Namun ia tidak tahu harus diapakan hadiah itu, Ia sadar kehidupannya yang terlalu tertutup sampai membuat orang lain bahkan rekan bisnisnya tidak mengetahui jika istrinya sudah tiada. Galang menarik nafas pelan lalu meninggalkan bros itu tergeletak di ranjang.
Di ruang tamu, Raisa sudah beberapa jam duduk sambil menunggu Tiara kembali. Setelah berbicara dengannya tadi pagi dan mengizinkan Tiara untuk berziarah, tapi sampai sekarang Tiara bel juga pulang. Hingga Raisa sedikit merasa khawatir.
"Ada apa Ma? Mama terlihat cemas." ucap Galang,baru saja turun dari kamarnya.
"Tiara belum kembali." sahutnya datar namun terlihat cemas.
Galang mengernyit,
"Memangnya kemana dia?" tanya Galang.
"Ziarah ke makam putranya, tapi sudah sejak siang tadi tapi kenapa lama sekali?" ujar Raisa bingung,
Galang terhenyak, selama ini ia tidak mengetahui jika Tiara sudah memiliki seorang dan anak dan itupun sudah meninggal. Sejak pertama Galang tak pernah sekalipun menanyakan sesuatu tentang Tiara baik kepada ibu mertuanya maupun kepada Tiara sendiri.
Galang terdiam cukup lama. Tatapan matanya perlahan berubah, menandakan rasa kaget yang tak bisa ia sembunyikan.
"Putranya?" ulangnya pelan, seolah butuh memastikan apakah ia tak salah dengar.
Raisa menatap anaknya sambil menghela napas kecil.
"Iya, Nak. Putranya meninggal beberapa bulan lalu. Masih kecil. Aku sempat tak tega saat pertama kali mendengarnya. Dia tak pernah benar-benar pulih sejak saat itu."
Galang menatap ibunya tanpa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa sedikitnya hal yang ia tahu tentang wanita yang selama ini berada di bawah satu atap dengannya. Tiara selalu tenang, selalu diam, selalu tampak kuat,ternyata menyimpan luka sedalam itu.
"Kenapa Mama tidak pernah memberitahuku?" tanya Galang akhirnya, suaranya rendah tapi berat.
"Kau tidak pernah bertanya. Bahkan kau seakan tak peduli." sahut Raisa tegas.
Galang hanya mampu terdiam. Apa yang ucapkan Raisa benar. Sejak kedatangan Tiara di rumah itu. Galang sama sekali tak peduli bahkan ia masih menganggapnya orang asing sampai detik ini.
"Kalau begitu aku akan mencarinya." ucap Galang,sambil menatap jam di tangannya.
"Ya! Kau harus mencarinya." sahut Raisa cepat.
❤️❤️❤️❤️❤️
⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️
❤️❤️❤️❤️❤️