"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Wajah Ajeng berubah serius. Tanpa membalas Monik lebih dulu, dia memilih menggulir layar ponselnya mencari nama yang dia pikirkan.
“Ada apa, Baby? Kamu sudah merindukanku lagi?” Tapi, sebentar lagi aku ada meeting." Sapaan di seberang sana, disertai gelak tawa.
Tapi, bagi Ajeng, ini bukan waktunya untuk bercanda. Bahkan, panggilan Baby untuknya, terdengar tak masalah untuk Ajeng.
“Apa tawaran membantuku masih berlaku, Mas?” Ajeng tak mau basa-basi.
“Sure, Baby. Kenapa? Kamu berubah pikiran?”
“Ya. Aku nggak mau mereka mengambil milikku lebih banyak lagi, Mas.”
*
*
Kresek kresek.
Ajeng mengerjapkan matanya saat merasa ada yang mengganggu tidurnya entah dimana.
Saat dia benar-benar membuka mata, ternyata lampu di kamarnya sudah terang benderang, padahal sebelumnya hanya lampu tidur saja yang menyala.
“Ngapain sih malem-malem nyari sampah?”
Lelaki yang sedang memeriksa tempat sampah itu menoleh.
“Jadi, kamu pesan makanan mahal setiap hari? Pantas saja Nurul bilang kamu nggak pernah makan makanan yang dia beri.” Rendy menegakkan tubuhnya.
“Aku nggak minta. Aku cuma mengantisipasi biar nggak kelaparan, siapa tahu kamu lupa lagi kayak waktu itu.”
“Pemborosan!”
Ajeng tersenyum sinis. Wanita itu lantas duduk di tepi ranjang, menghadap suaminya.
“Pemborosan? Aku bahkan tidak mengambil satu sen pun uangmu, Mas. Kenapa kamu repot?”
“Tapi aku sudah menyiapkan kamu makanan.”
“Aku kan udah bilang kalau aku nggak minta.”
“Benar-benar berani kamu sekarang, Ajeng.”
“Kenapa nggak berani? Memangnya, kenapa aku harus takut sama kamu?”
“Aku suamimu. Kamu akan berdosa kalau berani sama aku.”
“Oh ya? Tapi, sebentar lagi kita akan bercerai tahu, Mas.”
Wajah bengis Rendy semakin menjadi, dia mendekat cepat ke arah Ajeng. Namun kali ini, Rendy hanya diam dengan tangan terkepal dan rahang mengeras.
Melihat hal itu, Ajeng hanya tersenyum sinis. Dia tahu, lelakinya itu tak akan gegabah melakukan hal yang membahayakan dirinya, meskipun emosinya meluap-luap.
“Baiklah…” terdengar hembusan nafas panjang dari hidung Rendy. “Aku minta maaf. Aku tahu kamu sengaja memancing emosiku, biar keinginanmu terwujud. Tapi, asal kamu tahu. Kita nggak akan pernah bercerai sampai mati
Kita perbaiki semuanya. Aku kesini karena akan tidur sama kamu.”
“Cih. Kamu pikir aku senang?” Ajeng meremehkan lagi.
“Apa maksudmu? Kamu benar-benar nggak punya sopan santun, Ajeng.”
“Masa bodoh! Kamu disini atau tidak, aku nggak peduli. Aku nggak ngarepin kamu lagi, tapi aku juga nggak ngelarang kamu datang kesini karena ini memang kamarmu.”
“Oke.” Rendy manggut-manggut penuh arti. “Kalau begitu, layani aku sekarang! Aku mau kita bercinta malam ini.”
“Tidak bisa! Aku nggak mau.” Tegas Ajeng.
“Kamu bukan Ajeng yang aku kenal lagi. Istriku tidak pernah membangkang sepertimu.”
“Kalau aku bukan Ajeng istrimu, ngapian kamu minta aku layanin?”
“Kamu sudah menantangku, Ajeng?”
“Dasar baper! Baru begitu sudah emosi.”
“Oke. Kamu yang memulai. Jangan menyesal kalau aku bertindak kasar sampai menyakitimu.”
Tiba-tiba, Rendy mendorong Ajeng hingga terlen tang di atas ranjang.
“Akh, Mas!”
Belum selesai rasa terkejut Ajeng, lelaki itu sudah naik ke atas tubuhnya, menindih sang istri dengan gerakan emosional.
“Mas, tunggu! Aku nggak bisa layanin kamu. Aku lagi dapet.”
“Jangan bohong kamu! Aku tahu kamu sedang membual. Kamu sudah pernah beralasan seperti ini waktu sedang marah.”
Rendy tak peduli. Dia menangkap tangan Ajeng dan meletakkan di atas kepalanya. Wajahnya mulai mendekat, mencium wajah wanita itu sekenanya karena Ajeng memberontak. Tangannya, juga tak tinggal diam meraba seluruh tubuh istrinya.
“Aku serius, Mas. Kalau nggak percaya, buktikan sendiri!” Ajeng berbicara setiap ada kesempatan bibirnya lepas dari kulu man kasar Rendy.
“Aku nggak percaya!”
“Terserah kamu, kalau kamu ngeyel. Pasti kamu akan menyesal kalau melihat sendiri.”
Rendy menghentikan cumbuannya. Lelaki itu menurunkan tangannya, memeriksa sendiri tubuh istrinya.
Saat dia menyadari apa yang dikatakan Ajeng adalah kebenaran, lelaki itu mengumpat kasar.
“Sialan! Tapi, ini belum tanggalnya kan?” Dia bangkit dari tubuh Ajeng.
Ajeng pun, bangkit lagi setelah suaminya berdiri.
“Memangnya kamu masih ingat? Kamu sudah lama nggak sentuh aku, Mas.” Ajeng mengingatkan.
“Tapi aku tahu, pas kamu sakit perut. Kamu sering merengek sama aku.”
“Hahaha, mungkin kamu juga lupa, kalau rengekanku nggak pernah kamu pedulikan lagi pas aku sedang dismenore. Kamu akan lebih mementingkan Sabrina yang tidak apa-apa dibandingkan aku yang sakit kan?”
“Kamu mengungkit itu lagi, Ajeng?”
Ajeng tersenyum sinis lagi. “Memang itu yang akan menjadi pembahasan utama di pengadilan nanti.”
Rendy mengeras, tapi langsung menghembuskan nafas panjang, mengusir amarah.
“Sudahlah, niat baikku datang kesini, hanya kamu anggap remeh saja. Kamu nggak menghargai aku dan sudah menginjak-injak harga diriku sebagai seorang suami. Tapi, karena aku masih menyayangimu, aku akan memaafkanmu.”
Ajeng bergeming tak peduli.
Karena tak mendapatkan respon lagi, Rendy memutuskan untuk pergi dari hadapan Ajeng.
Tapi, baru selangkah lelaki itu berjalan, Rendy kembali lagi.
“Besok, ikut aku ketemu Mas Biantara! Mereka mau menunjukkan varian parfum baru, dan ingin bertemu sendiri secara langsung.”
“Tumben nggak nyuruh karyawannya seperti biasa?” Ajeng bertanya seolah tak tahu, untuk menyembunyikan rencananya.
“Dia tertarik membuat konten lagi sama kita. Jadi, saat bertemu dengannya nanti, berpura-puralah kalau kita sedang baik-baik saja.”
Setelah berkata seperti itu, Rendy melangkah lagi. Namun, lagi-lagi perjalanannya terganggu karena kali ini Ajeng menahannya.
“Tunggu, Mas!”
Rendy langsung menoleh. “Sudah kuduga, kamu pasti merindukanku.”
Ajeng tergelak sinis. Bahkan, suaranya cukup nyaring karena saking lucunya.
“Jangan terlalu percaya diri, Mas. Aku manggil kamu cuma mau bilang, jangan lupa kembalikan uang usaha yang kamu pakai untuk berlian istrimu itu. Kecuali, kamu rela saat pembagian hasil nanti, aku potong sekalian apa yang menjadi hakmu."