NovelToon NovelToon
Pesona Dokter Duda Anak Satu

Pesona Dokter Duda Anak Satu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta setelah menikah / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: My Starlight

"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.

"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.

"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.

"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.

"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lyana Putri Hardianto

Gadis berusia 23 tahun, lulusan fakultas ekonomi universitas ternama di Ibu kota.Terjun ke bisnis fashion karena dia menyukai trend hijab yang kini sedang ramai. Lyana sendiri masih belajar untuk menutup auratnya, karena identitas sebagai pemilik dari Naurah ia sembunyikan .

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Lyana sempat memulai karir menjadi staf akuntansi di BSA Group. Tidak ada yang tahu alasan Lyana keluar dari tempatnya bekerja adalah menikah dengan salah satu pewarisnya. Anggara Dwi Atmojo.

Namun, pernikahan apa ini? Kontrak pranikah yang tidak pernah dia tahu sebelumnya, kenapa tiba-tiba muncul seperti petir yang menyambar di siang hari tanpa angin, tanpa hujan.

Pernikahan yang Lyana anggap sakral sekarang mereka anggap seperti permainan. Bahkan perceraian saja seperti undian. Air yang keluar dari gagang shower itu mengalir lama tapi sama sekali tak tersentuh Lyana, dia termenung lama di kamar mandi berdiri sambil menatap tubuhnya di cermin.

Hina sekali rasanya, apa yang dia harapkan dari pernikahan ini ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan.

"Kontrak pranikah?" gumamnya sendiri, bahkan dia belum melepas bajunya dari tadi. Jari tangan Lyana mulai keriput, cincin yang melingkar di jari manis itu mengganggu penglihatanya. Buliran hangat keluar lagi dan lagi dari pelupuk mata Lyana.

Seperti ribuan bintang yang lenyap di telan malam, seperti itulah perasaan Lyana sekarang, Lenyap.

Lyana menatap nanar dirinya sendiri di depan cermin, bibir pucat itu beberapa kali berusaha menarik senyum. Mencoba melanjutkan hidupnya lagi atau keluar dari rumah ini. Satu persatu jemari yang membiru itu mulai membuka kain yang menutupi tubuhnya.

Sekali lagi air mata itu jatuh dan mengalir lebih deras seakan mampu membasuh wajah Lyana. Tak hanya nafasnya yang tercekat, dadanya terasa sangat sesak. Baru kali ini dia merasa ketulusan yang selama ini dia berikan ternyata sia-sia.

"Jadi kak gara cuma jadiin aku pelampiasan nafsunya saja? hahaha, bodoh sekali kau ly terjebak dengan pesonanya." Lyana mengusap noda merah di lehernya, bekas kecupan Anggara masih tersisa di sana. Perasaanya semakin hancur, tapi air mata itu sudah tak keluar lagi. Entah karena berhasil dia tahan atau karena hatinya yang sudah mati rasa.

Jika nasi sudah menjadi bubur maka Lyana akan mencoba memasak kuah santan, ayam dan menemukan kerupuknya.

Ketukan pintu membuat kesadaranya kembali,

Lyana hanya bisa menjagkau handuk yang ada di rak dan memakainya. Rambutnya basah, dia hanya mengelapnya beberapa kali kemudian mengikatkan asal di atas kepalanya.

Tanpa menoleh ke arah Anggara, Lyana melanjutkan langkah kakinya dan berhenti di depan lemari. Melepas satu-satunya kain berwarna cream yang menutupi tubuh Lyana. Tanpa canggung dia bahkan memakai pakaian dalam dan dress pendek di depan Anggara.

Anggara cuma bisa menelan slavinanya melihat tingkah laku istrinya yang tidak biasanya itu. Kemana senyum malu-malu itu? Bahkan biasanya Lyana menyuruh Anggara membalikan badan dulu atau menutup matanya.

Lyana menatap laki-laki di hadapanya lama, kemudian keluar dari ruangan yang menyesakan dadanya itu, sekarang Lyana ada di balkon duduk di kursi rotan itu. Melihat semburat langit yang berubah warna menjadi jingga itu dia tersenyum, matahari baru akan tenggelem. Keindahanya membuat Lyana takjub, bahkan ketika Anggara sudah ikut duduk di sebelah Lyana dia tak menyadarinya.

Anggara melihat senyum di bibir Lyana rasanya mulai lega. Tapi tunggu, begitu Lyana sadar ada Anggara di sebelahnya senyum itu langsung lenyap.

"Ly, " panggil Anggara pelan. Perempuan di sebelahnya terdiam, rasa rindu dan kecewanya melebur jadi satu.

Lyana membuang nafasnya kasar, dia harus menghindar sementara waktu dari Anggara. Melihat wajahnya saja sudah seperti mengoyak hati Lyana, ngilu.

Baru saja berdiri dari tempat duduknya, Anggara menarik tanganya. Melihat cincin itu masih terpasang di jari manis Lyana dia sedikit lega. Namun laki-laki itu sedikit terkejut saat Lyana menghempas tangan Anggara sedikit keras. Pandangan keduanya bertemu, rasa rindu yang Anggara simpan kini melebur menjadi rasa khawatir dan takut kehilangan perempuan yang ada di hadapanya ini.

"Ly, duduklah kita harus bicara," ucap Anggara pelan.

"Aku mau bikin kopi kak," pungkas Lyana.

"Jangan dulu, asam lambungmu masih tinggi,"

kata Anggara ikut berdiri. Langkah Lyana terhenti, melihat sebentar wajah yang terlihat lelah itu kemudian melanjutkan langkahnya.

"Tunggu," Anggara setengah berlari menghampiri Lyana. Baru sampai ambang pintu Anggara sudah menghadangnya, tubuh mereka kini hanya berjarak sejengkal saja, nafas Anggara memburu.

"Huh, aku bilang tunggu, kenapa enggak denger?" cecar Anggara kesal.

"Apa?" Lyana mendongkak menatap kesal.

"Awas kak, aku mau lewat," Lyana ingin sekali menggeser tubuh anggara, dia sudah bersusah payah mendorong pinggangnya tapi tetap saja tak bergerak.

"Dengerin aku dulu." tegas Anggara.

"Apalagi kak ! aku butuh kopi." dengan nada yang sedikit tinggi Lyana berhasil menggeser tubuh Anggara.

"Baiklah, kalau begitu bikinin aku sekalian." pinta Anggara sambil menyusul langkah Lyana menuruni tangga.

"Nggak mau." pungkas Lyana.

"Kamu kenapa si? masih marah soal kemaren yang kamu dengar di rumah sakit?" tanya Anggara penasaran, walaupun dia yakin perubahan tingkah laku Lyana kali ini pasti ada sangkut pautnya dengan kedatangan sang Ayah.

Tangan yang sedang memegang sendok kopi itu tediam. Sekali lagi, dia memberanikan diri menatap wajah Anggara.

"Kak, jangan bikin kopiku enggak enak. Aku butuh waktu sendiri," kata Lyana.

Reno yang sedari tadi berada di kamar setelah mendengar suara Lyana, dia langsung keluar dan menghambur kepelukan ibu tirinya itu. Kepala anak kecil itu menempel di perut Lyana, Anggara yang melihat itu langsung merespon dengan cepat .

"Nak, sini sayang tante ly mau minum kopi dulu." Anggara mendekat, jarak keduanya semakin dekat. Hembusan nafas Lyana terasa jelas sekali, Anggara menambah jarak keduanya agar semakin dekat.

Dan, cup. Kecupan singkat itu membuyarkan isi kepala Lyana yang sedang penuh.

"Praaaak ! "Kaget, dia tak sengaja menumpahkan kopi itu, gelas ditanganya jatuh pecah. Raut wajahnya sekarang berubah jadi takut dan khawatir kaki Reno melepuh. Anak laki-laki itu menangis, percikan kopi itu mengenai punggung kakinya.

"Ya ampun maaf sayang. Maaf, tante nggak sengaja," saking paniknya Lyana justru tidak sadar, tangan kananya juga tersiram kopi. Dia berjongkok memegang tangan Reno dan menciumnya.

"Maafin tante ly ya sayang," Reno menangis dipelukan Lyana.

"Tuh kan ! Ayah tadi bilang apa, sini dulu tante Ly mau minum kopi. Kalau ayah ngomong tuh dengerin." cecar Anggara, suaranya yang keras membuat Reno takut dan makin erat memeluk Lyana.

"Kemari, biar Bi Marni bersihin itu dulu," Anggara menarik paksa tangan Reno yang masih bergelayut di pundak Lyana. Reno meraung, tangisnya mengeras. Bukan sedekar kakinya yang sakit, tapi suara keras Anggara membuat hati anak kecil ituu tersayat.

Bi Marni yang baru saja selesai mengunci pintu depan langsung lari terbirit-birit mendengar suara gelas jatuh. setelah mengambil sapu dan pengki dia langsung mengambil pecahan gelas itu perlahan.

"Ya Tuhan, kenapa ini? Reno , Mba ly nggak apa-apa?" panik melihat pecahan beling itu berubah warna menjadi merah setelah terjatuh dari punggung kaki Lyana. Bi Mirna segera menghampiri Lyana dan membantunya berdiri.

"Ikut Ayah !" perintah Anggara. Dia segera menggendong Reno masuk kedalam kamar.

"Lepasin Ayah, Reno mau turun," rengek Reno setelah melihat Bi Mirna mengusap punggung kaki Lyana yang berdarah. Kedua kaki reno menendang tanpa arah, tapi Anggara tetap dengan erat menggendong Reno.

"Reno mau turun ayah, lepasin, tante ly ..., " tangis Reno makin mengeras.

"Diam, Ayah enggak suka Reno berani melawan Ayah."

gertak Anggara.

"Tante ly berdarah ayah," lirih Reno takut-takut dia melirik ke arah Anggara.

"Apa?" sekarang Anggara yang panik.

"Duduk biar Ayah obati dulu lukamu." Anggara mengambil salep dari kotak P3K lau mengolesnya perlahan ke punggung kaki Reno.

Bukan tentang takdir yang terlahir,

Semesta punya cara untuk mengukir,

Karena tak semua selesai itu berakhir,

Rupanya ia tahu kemana harus mengalir,

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!