Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
"Dari awal kamu menikahi aku itu karena ingin menjadikanku babu kan? Karena kalau sewa Art dan baby sister biayanya mahal kan?" cecarnya membuatku mati kutu, aku bingung harus bicara apa lagi. "Aku mau masuk ke dalam, aku enggak mau buang-buang waktu di sini. Aku mau secepatnya kita berpisah!"
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi.
“Ratu, sebelum kamu masuk…” suaraku terdengar memohon, “…setidaknya kasih tahu aku kamu tinggal di mana sekarang. Aku cuma pengen tahu kamu aman.”
Ia menoleh sekilas, menatapku dengan sorot mata yang dingin. “Aku nggak perlu kasih tahu, Mas. Bukan urusan Mas lagi.”
Deg. Rasanya seperti ditusuk dari dalam dada.
Aku masih mencoba lagi, “Tolong, Rat… aku nggak bisa tenang kalau nggak tahu kamu di mana.”
"Tidak tenang karena rumah dan kedua anakmu tidak ada yang urus kan?" tebaknya lagi.
"Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak mau kita berpisah." Ratu tersenyum sinis seolah-olah mengejekku.
"Aku sudah tidak peduli, yang jelas aku mau berpisah!"
...****************...
Ruang sidang terasa dingin meski hari masih siang. Suara palu hakim entah bagaimana seperti detak yang mempertegas segala yang tak bisa lagi kuundur. Di hadapanku, Ratu duduk tenang — bukan lemah, tapi tegas. Matanya menatap lurus ke depan, seperti sudah memutuskan jalan yang akan dilaluinya.
Hakim membuka sidang dengan nada resmi. “Sidang perceraian nomor… Kita mulai. Saudari Ratu, Saudara Erlangga, apakah masih ada itikad baik untuk berdamai sebelum perkara berlanjut?”
“Yang Mulia… saya… saya tidak mau bercerai.” Kata itu keluar begitu saja, seperti napas panjang yang tersimpan terlalu lama. Semua orang di ruang sidang seolah menahan napas. Aku menatap Ratu. “Rat, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku menyadari aku telah memperlakukanmu tidak adil. Tolong… berilah aku kesempatan. Aku tidak akan mengulangi kesalahan. Aku masih mau kita tetap jadi keluarga. Untuk Mira, untuk Clara. Untuk kita.” Aku sengaja berkata demikian agar Ratu luluh dengan permintaanku. Walaupun aku harus menurunkan harga diriku di depan Ratu, tapi semua ini harus aku lakukan karena aku masih benar-benar membutuhkan tenaganya untuk mengurus semuanya.
Ratu menoleh pelan. Di wajahnya ada tanda lelah, tapi suaranya tetap tegas saat membalas: “Aku tetap ingin berpisah. Ini soal harga diriku. Selama ini aku dipaksa menjadi pembantu, dibuat tak punya kehendak, aku tak mau lagi menjadi budak di rumah orang lain." Ratu pun kembali menoleh kepada hakim, Dengan suara bergetar, ia menatap hakim dan berkata bahwa rumah tangga ini sudah tidak lagi sehat baginya. Ia merasa diperlakukan bukan sebagai istri, melainkan hanya sebagai pengurus rumah dan anak-anak, tanpa kasih sayang ataupun penghargaan.
Hakim menoleh ke arahku, lalu bertanya apakah benar semua yang diungkapkan Ratu. Aku terdiam, sulit menjawab, karena di dalam hati aku memang sadar ada benarnya.
Ratu melanjutkan, “Saya tidak mau hidup hanya sebagai pelengkap. Saya ingin dihargai, saya ingin merasa dicintai. Tapi yang saya dapat hanyalah beban.”
Perkataannya menusukku dalam-dalam. Untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa takut kehilangannya. Namun, di depan hakim, aku hanya bisa berkata, “Yang mulia, saya tidak ingin bercerai."
Hakim menatap kami berdua dengan wajah serius. “Baiklah, sebelum putusan ini berlanjut, saya sebagai hakim memberi kesempatan kepada saudara berdua untuk melakukan mediasi. Masih ada waktu untuk mempertimbangkan kembali rumah tangga ini.”
Aku buru-buru menoleh ke arah Ratu, “Ratu, tolong... jangan seperti ini. Aku tidak pernah benar-benar ingin kehilanganmu.”
Namun Ratu menggeleng dengan wajah dingin. “Yang Mulia, saya menolak. Saya tidak ingin dimediasi. Saya sudah cukup lelah. Hidup bersama dia hanya membuat saya merasa seperti pembantu, bukan istri.”
Aku mencoba meraih tangannya, tapi ia cepat menarik diri. “Ratu, dengar aku dulu! Aku janji akan berubah, aku akan lebih menghargaimu.”
Ratu menatapku dengan sorot mata tajam. “Janji? Kamu bahkan masih sempat berselingkuh di belakangku. Itu bukan sekadar salah langkah, tapi pengkhianatan. Bagaimana aku bisa percaya lagi?”
Hakim mencondongkan tubuhnya sedikit, “Saudari Ratu, apakah Anda memiliki bukti atas tuduhan perselingkuhan ini?”
Dengan tegas ia mengangguk. “Ada, Yang Mulia. Percakapan di ponsel, foto, dan bahkan ada saksi yang mengetahui hubungan mereka. Semua sudah saya siapkan.”
Aku terbelalak, “Kamu sengaja mengumpulkan itu semua? Ratu, ini keterlaluan!"
Ratu langsung membalas dengan suara bergetar menahan emosi, “Keterlaluan? Yang keterlaluan itu kamu! Aku menahan sakit hati selama ini, berharap kamu berubah, tapi ternyata malah aku yang dijadikan bahan penderitaan. Cukup, aku sudah tidak tahan!”
Hakim mengetuk palu sekali, “Cukup, jangan berdebat di sini. Sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti pada persidangan berikutnya. Namun, jelas terlihat Saudari Ratu tetap bersikeras ingin berpisah.”
Aku hanya bisa terdiam, dadaku sesak, sementara Ratu duduk dengan penuh keyakinan, seolah semua bebannya akan segera terlepas.
Aku kembali menghadang langkah Ratu sebelum ia benar-benar pergi. Tanganku refleks menggenggam lengannya, suaraku bergetar penuh desakan.
“Ratu, kumohon... jangan lakukan ini. Kita masih bisa memperbaiki semuanya. Aku janji akan berubah, aku janji akan lebih menghargaimu.”
"Lepas, Mas. Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!" Ia langsung menepis dengan kasar, ia pun langsung membersihkan tangan yang tadi aku sentuh seolah-olah tanganku benar-benar kotor, "Jangan harap aku mau kembali sama kamu, Mas. Keputusanku sudah bulat kita cerai!" lanjutnya lagi penuh dengan tekanan.
Mendengar ucapan tersebut, membuat harga diriku sedikit terusik. Padahal aku sudah merendahkan diriku dan memohon padanya untuk tidak bercerai. Tapi sikapnya malah membuat hati ini menjadi panas.
"Jadi kamu benar-benar ingin kita pisah?" tanyaku dengan tatapan tajam.
"Iya!" Aku tersenyum sinis.
"Memangnya kamu bisa apa kalau kita bercerai? Apa kamu tidak takut jika hidup jadi janda? Kamu tahu kan resiko yang akan kamu hadapi jika kita cerai?" ingat Ratu, hidup ibu dan kakakmu masih bergantung denganku. Jadi jangan macam-macam denganku." ancamku, berharap ia bisa berpikir ulang untuk berpisah. Aku yakin dia pasti akan berpikir ulang mengingat ibu dan kakaknya banyak hutang.
"Memangnya ada apa dengan ibu dan kakakku jika kita berdua bercerai?" Akhirnya kata-kata yang aku tunggu keluar dari mulutnya.
"Hidup ibu dan kakakmu akan hancur." Wajah Ratu seketika berubah, terlihat ia begitu terkejut. "Kamu tahu kan hutang yang ibu dan kakakmu punya aku yang bayar, kan setiap bulan. Jika aku tidak membayarnya maka--"
"Aku tidak peduli!" Potongnya membuatku terdiam, "Kalau kamu mau hancur, kan hidup ibu dan kakakku yang tidak berguna itu silakan saja. Bila perlu kamu bu*uh saja keduanya agar mereka tidak dikejar hutang setiap hari."
"Ra... Ratu ... Kamu--"
"Kenapa? Kaget ya dengab ucapanku barusan?"