Eldoria, yang berarti negeri kuno yang penuh berkah. Negeri yang dulunya selalu di sinari cahaya matahari, kini berubah menjadi negeri yang suram.
Ratusan tahun telah berlalu sejak peperangan besar yang menghancurkan hampir seluruh negeri Eldoria, membuat rakyat harus hidup menderita di bawah kemiskinan dan kesengsaraan selama puluhan tahun sampai mereka bisa membangun kembali Negeri Eldoria. Meskipun begitu bayang-bayang peperangan masih melekat pada seluruh rakyat Eldoria.
Suatu hari, dimana matahari bersinar kembali walau hanya untuk beberapa saat, turunlah sebuah ramalan yang membuat rakyat Eldoria kembali memiliki sebuah harapan.
"Akan terlahir 7 orang dengan kekuatan dahsyat yang dapat mengalahkan kegelapan yang baisa di sebut Devil, di antara 7 orang itu salah satu dari mereka adalah pemilik elemen es yang konon katanya ada beberapa orang istimewa yang bisa menguasai hampir semua elemen dari klan Es"
Siapakah ketujuh orang yang akan menyelamatkan negeri Eldoria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AzaleaHazel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Angin berhembus kencang karena Gilbert belum sempat menutup jendela tokonya, matanya tertuju pada rambut Liz yang bertegangan tertiup angin. "Liz, apa rambutmu selalu terurai? Kenapa tidak mengikatnya agar tidak berantakan?" Bukan apa-apa, hanya saja dia tidak pernah melihat rambut Liz di ikat dengan rapih.
"Apa harus di ikat?" Tanya Liz seraya memegang rambut silvernya, matanya menatap Gilbert menunggu jawaban pria itu.
"Tidak harus, setidaknya itu terlihat rapih dan tidak menyulitkanmu saat melakukan sesuatu." Balas Gilbert, tangannya terulur untuk merapihkan rambut Liz yang menutupi wajahnya.
"Oh, sepertinya aku juga pernah melihat anak-anak lain mengikat rambutnya dengan hiasan yang terlihat sangat indah." Liz ingat jika dia pernah melihat beberapa anak seusianya selalu mengikat rambutnya dengan hiasan rambut yang indah, hanya saja dia tidak terlalu memperhatikannya.
"Tentu saja, biasanya ibu mereka akan mengikat rambut anak-anaknya seperti itu." Sahut Evans.
Liz mengangguk mengerti. "Oh begitu, aku selalu mengurai rambutku karena Ibu tidak pernah mengikatkannya untukku dan aku juga tidak bisa mengikatnya sendiri. Mungkin nanti aku akan belajar mengikatnya, hehehe." Dia baru tau jika rambut anak-anak biasanya di ikat oleh ibu mereka, mungkin karena itu rambutnya selalu berantakan.
Jawaban Liz membuat hati Evans dan Gilbert mencelos, padahal anak itu menjawab dengan tawa, tapi kenapa terdengar menyakitkan untuk mereka dengar. Orangtua Liz benar-benar sangat rugi karena menelantarkan anak secantik ini. Anak yang penurut, selalu bersikap baik, sopan, kuat dan sangat menggemaskan. Tidak tahan melihat senyum yang terukir di wajah anak itu, Gilbert langsung menarik tubuh kecilnya dan memeluk Liz dengan erat. Liz yang di perlakukan seperti itu, tapi kenapa dadanya yang terasa sesak. Padahal dia hanya orang asing bagi anak ini begitupun sebaliknya, tapi rasa tidak terima itu sangat tidak mengenakkan di hatinya.
Liz yang tiba-tiba di peluk merasa bingung, tapi dia tidak mendorong atau atau menolak pelukan dari Gilbert, sebaliknya ia perlahan melingkar tangan mungilnya ke pinggang Gilbert walaupun tidak sepenuhnya bisa membalas pelukan pria itu karena tangannya tidak sampai. Evans yang mengerti perasaan Gilbert menepuk pundak sahabatnya itu, memang seperti inilah Gilbert, terlihat acuh di luar tapi hatinya sangat lembut.
Gilbert melepaskan pelukannya. "Biar Paman yang mengikat rambutmu." Dia menyelipkan rambut Liz ke belakang telinganya.
"Benarkah?" Tanya Liz dengan mata berbinar.
"Tentu saja, tunggu di sini sebentar." Balas Gilbert, dia pergi ke belakang untuk mengambil sesuatu.
"Maaf Liz tapi hanya ini yang ada di sini." Gilbert muncul dengan sebuah karet tipis di tangannya.
"Memang seharusnya menggunakan apa? Tapi selagi itu bisa di gunakan tidak apa-apa." Awalnya Liz bingung melihat karet yang di petang Gilbert, tapi wajahnya berubah senang karena Gilbert berusaha menemukan ikat rambut untuknya.
"Baiklah, sekarang berbalik biar Paman mengikat rambutmu." Gilbert langsung memutar tubuh Liz membelakanginya agar dia tidak melihat wajah ceria anak itu saat berbicara sesuatu yang menyayat hati.
Evans memperhatikan Gilbert yang mulai menyisir rambut halus milik Liz. Dia sempat terkekeh melihat wajah bingung sahabatnya itu saat bingung harus mengikat rambut Liz seperti apa, akhirnya Gilbert mengikat seperti ekor kuda.
"Ini namanya ekat ekor kuda." Ucap Gilbert setelah berhasil mengikat rambut Liz dengan rapih.
"Kenapa namanya aneh sekali?" Tanya Liz dengan kerutan di alisnya.
"Tapi bentuknya memang seperti ekor kuda. Maaf, tapi Paman hanya bisa mengikatnya seperti ini." Jelas Gilbert. Padahal sebelumnya dia sangat yakin saat mengatakan akan mengikat rambut Liz, tapi dia hanya bisa mengikatnya seperti itu.
"Tidak apa-apa aku suka ini, terimakasih Paman." Liz tersenyum senang sampai matanya menyipit. Ah lihatlah wajah menggemaskan anak ini, bagaimana bisa ada orang yang mengabaikannya.
"Jadi pergi atau tidak?" Tiba-tiba suara Evans membuat perhatian mereka berdua teralihkan.
"Tentu saja, ayo kita pergi sekarang!!" Balas Liz dengan semangat. Dia langsung berdiri lalu menarik tangan Gilbert.
Gilbert kembali menghela nafasnya, ia kira Liz sudah melupakannya, tapi anak itu masih ingat dengan baik tujuan mereka sebelumnya. Mau tak mau mereka akhirnya mengikuti kemauan Liz dan membawanya ke hutan yang terdapat banyak monster. Sebelum mereka memasuki hutan, Liz menggunakan elemen cahaya di hari telunjuknya untuk menyinari jalan mereka. Gilbert dan Evans kembali di buat melongo dengan apa yang di lakukan Liz, anak itu mengeluarkan elemen cahaya semudah itu? Hanya dengan jari telunjuk tapi cahanya teratur.
"Perhatikan sekitarmu." Ujar Gilbert memperingati. Mereka bertiga terus berjalan dengan Liz yang berada di depan karena anak itu yang mengendalikan penerangan mereka.
Suara gemerasak dari semak-semak membuat atensi mereka teralihkan, mata saling memandang seolah sedang memastikan tindakan apa yang akan di ambil. Evans hendak mendekat kearah semak-semak itu tapi Liz segera menarik tangannya.
"Ada apa, Liz?" Evans menatap Liz, kenapa anak ini tiba-tiba menghentikannya.
Liz menggelengkan kepalanya. "Tidak hanya satu." Dia bergumam seraya menatap Evans dan Gilbert bergantian. Yang dia maksud adalah apa yang ada di balik semak-semak itu, ia dapat merasakannya jika ada hewan buas di baliknya dan tidak hanya satu atau dua ekor, mungkin lebih banyak dari perkiraan mereka.
"Apa maksudmu mereka bergerombol?" Kini suara Gilbert yang menyahut, membuat Liz beralih menatapnya lalu memberikan anggukan tanda jika tebakannya benar.
Suara gemerasak itu semakin terdengar jelas, beberapa ekor Red Wolf keluar dari semak-semak. Jaraknya mungkin hanya beberapa meter di hadapan mereka.
"Red Wolf. Mereka memang lebih aktif di malam hari, tapi siapa sangka kita akan langsung bertemu segerombolan mahkluk ini." Gilbert menyembunyikan Evans dan Liz di belakangnya. Dia tidak bisa mengalihkan perhatian dari Red Wolf di depannya karena mereka bisa saja menyerang tiba-tiba.
"Red wolf?" Gumam Liz yang masih bisa di dengan oleh Evans dan Gilbert. Mungkin ia memang sering pergi ke hutan sendirian untuk berlatih, tapi baru kali ini dia benar-benar melihat monster secara langsung.
"Ya, serigala merah yang memiliki elemen api, jadi berhati-hatilah." Evans menjelaskan pada Liz tentang monster yang berada di harapan mereka.
"Evans, tetap diam di sini dan lindungi Liz." Perintah Gilbert. Mereka saat ini sedang bersama Liz dan tidak mungkin membiarkan bocah itu tanpa pengawasan.
Liz langsung memegang tangan Gilbert saat pria itu hendak maju ke depan. "Tidak, Paman jangan kemana-mana tetap di sini. Biarkan mereka menyerang, ini kesempatan bagus untuk menguji jimat pelindung milikku." Alih-alih merasa takut, mata Liz malah berbinar melihat gerombolan serigala merah itu.
Evans hanya terkekeh melihat kilatan cahaya di mata Liz yang tampak bersemangat, mungkin hanya Gilbert yang merasa cemas. Sebenarnya Red Wolf bukan musuh yang tidak terlalu membahayakan, tapi jika bergerombol mungkin iya. Tentunya bagi yang menguasai sihir tingkat dasar, itu memang agak menyulitkan, tapi yang ada di hadapan Red Wolf saat ini adalah bocah yang menguasai semua elemen dan itu tingkat menengah.
Akhirnya Gilbert tersadar, tujuan mereka datang kemari memang untuk menguji coba jimat Liz, tapi dia malah panik dan menyuruh bocah itu mundur. Liz masih menggenggam tangan Gilbert, dia menganggukkan kepalanya seolah memberitau pria itu jika semua akan baik-baik saja. Setelah menghela nafasnya, Gilbert menyetujui apa yang Liz inginkan.
Salah satu serigala itu mulai Mereka sepertinya bersiap menyerang, beberapa dari mereka mulai berlari menuju kearah tiga orang itu. Hewan buas itu semakin mendekat, tapi Liz masih belum melakukan apa-apa, membuat Evans memejamkan matanya dengan mulut yang terus bergumam. Tepat saat cakar tajam itu hendak mencabik-cabik mereka, Liz segera melemparkan tiga kertas jimat miliknya. Barrier berwarna biru transparan mengelilingi mereka dan membuat Red Wolf itu terpental.
"Woah, ternyata berhasil!!" Lihatlah, padahal mereka sedang di kerumuni segerombolan monster, tapi Liz malah melompat kesenangan karena jimatnya benar-benar sesuai harapannya.
"Apa, benarkah?" Mata Evans yang tadinya terpejam kini langsung terbuka setelah mendengar ucapan Liz. Ternyata benar apa yang di katakan Liz, tangannya perlahan menyentuh barrier yang ada di depannya.
"Tingkat berapa yang kau gunakan, Liz?" Gilbert bertanya setelah ia memeriksa barrier dari jimat milik Liz.
"Yang paling rendah." Jawab Liz. Mereka bertiga masih mengobrol seolah sudah melupakan gerombolan monster yang sedang mengelilingi mereka.
"Penghalang ini cukup kuat untuk tingkat rendah." Gilbert sempat terkejut mendengar jawaban Liz, bahkan barrier dari jimat ini lebih kuat di bandingkan dengan barrier tingkat dasar.
Di negeri yang di penuhi sihir ini, semua orang memiliki beberapa elemen yang bisa di kuasai, karena itu mereka bisa membuat barrier dari elemen yang mereka kuasai untuk melindungi diri mereka dari bahaya. Tapi bocah berusia 4 tahun setengah ini memiliki keistimewaan sampai bisa membuat penghalang dari selembar kertas. Jujur saja ini penemuan pertama yang baru saja Gilbert dan Evans lihat. Mungkin mereka akan sangat terkejut dan sulit mempercayai ini, tapi setelah mengenal Liz, tidak ada yang tidak mungkin untuk di lakukan bocah ajaib itu.
"Ini lebih kuat daripada barrier milikku." Evans mengetuk-ngetuk barrier milik Liz, ternyata pelindung ini lebih kuat di bandingkan miliknya padahal sama-sama tingkat rendah.
Mereka begitu fokus memeriksa barrier Liz sampai tidak sadar jika penghalangnya mulai retak karena para Red Wolf itu berusaha menghancurkannya. Evans yang lebih dulu tersadar kini membelalakkan matanya begitu cakar tajam Red Wolf menembus barrier ini.
"Liz, cepat lakukan sesuatu! Sepertinya barrier ini akan segera hancur!" Evans berteriak panik karena cakar Red Wolf itu berada di depan wajahnya. Dia memang tipe orang yang penakut, kadang Gilbert saja sulit untuk menanganinya.
"Kenapa kau malah berteriak dasar bodoh!" sahut Gilbert kesal, di situasi seperti ini sahabatnya itu malah berteriak seperti orang bodoh.
"Baiklah, Paman." melihat wajah panik Evans, Liz langsung bergerak karena merasa kasihan pada Pamannya itu.
Liz lebih dulu mengeluarkan elemen anginnya untuk menjauhkan para Red Wolf itu, tidak mungkin kan jika ia langsung menggunakan jimat peledaknya saat mereka berada di tengah-tengah Red Wolf. Bisa-bisa mereka akan ikut meledak bersama para monster itu. Untuk mencegah kemungkinan yang terjadi, dia kembali menggunakan jimat pelindungnya untuk merangkap yang sebelumnya sudah retak.
Para Red Wolf itu langsung bergerak maju bersama gerombolannya untuk menerjang mereka, sebelum mendekat Liz segera melemparkan 3 jimat peledak yang berbeda tingkatan. Hanya dalam sekejap segerombolan hewan buas itu langsung tumbang, Gilbert dan Evans sampai tidak bisa berkata-kata.
Liz lebih dulu mendekat setelah menghilangkan barrier-nya, setelah di perhatikan baik-baik efek ledakan dari ketiga jimat itu berbeda-beda. Tingkat pertama ledakannya mungkin setara dengan elemen api tingkat menengah, tingkat kedua setaran dengan tingkat atas. Tapi yang terakhir sangat berbeda, jika keduanya menghanguskan apapun yang di kenai jimat itu, tapi yang ketiga langsung membakar habis tanpa sisa.
"A-apa ini?" Gilbert tergagap melihat beberapa Red Wolf yang terkena jimat tingkat tinggi milik Liz hangus tak tersisa seolah melebur. Begitu dahsyat kah mantra yang ada di jimat itu? Bahkan otaknya tidak bisa mencerna dengan baik situasi ini.
"Ini benar-benar melebur, bahkan batu sihirnya pun tidak tersisa." Ucap Evans setelah memperhatikan tempat Red Wolf itu hangus tanpa sisa. Biasanya semua monster memang memiliki batu sihir dan itu bisa di jual.
Batu sihir milik Red Wolf yang terkena jimat tingkat rendah dan menengah masih bisa di ambil, tapi yang terakhir benar-benar tidak bisa karena ikut melebur bersama tubuhnya.
"Apakah itu artinya jimat ini berhasil?" Liz bertanya dengan mata bulatnya yang terlihat polos atau memang benar-benar polos.
"Kau masih bisa bertanya tentang hal itu setelah semua hal ini?" sahut Evans. Ia menunjuk semua mayat Red Wolf itu, bagaimana Liz bisa bertanya apakah jimatnya berhasil atau tidak saat semua hewan buas itu sudah hangus.
"Tentu saja kau berhasil, bahkan ini melebihi ekspektasiku." sahut Gilbert, ia mengusap kepala Liz merasa bangga pada bocah itu.
"Begitukah? Aku sangat senang ternyata kita berhasil, Paman!!" Liz sangat senang sampai melompat-lompat kegirangan, ternyata usaha mereka benar-benar berhasil.
"Itu karena kau sangat cerdas." balas Gilbert, ia kembali mengusap kepala Liz membuat anak itu semakin mengembangkan senyumnya.
"Baiklah, sekarang mari kita ambil batu sihirnya lalu pulang karena ini sudah hampir larut malam." Evans lebih dulu bergerak kearah para Red Wolf itu untuk mengambil batu sihir yang tersisa lalu di ikuti oleh Gilbert dan Liz yang turut membantunya.
Setelah mereka mengambil batu sihirnya, Gilbert menyuruh Liz untuk membakar bangkai itu agar tidak menimbulkan hal buruk. Biasanya monster akan mendekat saat mencium bau darah atau bangkai, karena itu mereka langsung membakarnya sebelum menarik perhatian monster lainnya. Setelah semuanya selesai, mereka akhirnya pulang dan mengantarkan Liz sampai ke rumahnya.