NovelToon NovelToon
Exiled For Dinasty

Exiled For Dinasty

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:559
Nilai: 5
Nama Author: Ell fizz

Di balik megahnya pusat kekuasaan, selalu ada intrik, pengkhianatan, dan darah yang tertumpah.
Kuroh, putra dari seorang pemimpin besar, bukanlah anak yang dibuang—melainkan anak yang sengaja disembunyikan jauh dari hiruk-pikuk politik, ditempatkan di sebuah kota kecil agar terhindar dari tangan kotor mereka yang haus akan kekuasaan.

Namun, takdir tidak bisa selamanya ditahan.
Kuroh mewarisi imajinasi tak terbatas, sebuah kekuatan langka yang mampu membentuk realita dan melampaui batas wajar manusia. Tapi di balik anugerah itu, tersimpan juga kutukan: bayangan dirinya sendiri yang menjadi ujian pertama, menggugat apakah ia layak menanggung warisan besar sang ayah.

Bersama sahabatnya Shi dan mentor misterius bernama Leo, Kuroh melangkah ke jalan yang penuh cobaan. Ia bukan hanya harus menguasai kekuatannya, tetapi juga menemukan kebenaran tentang siapa dirinya, mengapa ia disembunyikan, dan apa arti sebenarnya dari “takdir seorang pemimpin”.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ell fizz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teman atau lawan #2

Ruangan tiba-tiba memanas.

Asap tipis masih tersisa, menyelimuti udara. Namun, dari balik itu terdengar suara berat Leo.

“Oiii, Xyro rupanya… sudah berapa lama kau tidur? Apa kabar, kartu joker Kurosaki?”

Begitu kalimat itu terucap, hawa panas seakan ditelan bumi. Ruangan yang tadi terasa membakar kulit kini membeku, dingin menusuk tulang.

Kuroh dan Shi langsung membeku di tempat. Wajah mereka memucat, seolah darah mengalir turun dari muka.

Shi dengan suara bergetar bertanya, “Apa maksudmu, Leo? Dia… kartu joker Kurosaki?”

Leo hanya menghela napas, memasang kacamatanya, lalu menatap lurus tanpa keraguan.

“Ya. Dulu dia adalah harapan terakhir Kurosaki untuk melindungi kami. Dan benar saja… kami benar-benar dilindungi olehnya. Dia menahan semua serangan para raja langit, pejabat tinggi, bahkan serangan Raja Durant.”

Kuroh membisu, sedangkan Shi merasakan jantungnya berdegup tak beraturan. Perlahan, ia sadar… politik dan peperangan masa lalu bukan sekadar sejarah, tapi neraka nyata yang hampir menelan segalanya.

[FLASHBACK PERTARUNGAN KUROSAKI]

Saat Kurosaki berhadapan dengan penjahat misterius yang hingga kini identitasnya tak pernah diketahui.

Langit runtuh.

Bumi pecah.

Suara gemuruh menyelimuti dunia, seakan dewa-dewa pun menutup mata, enggan menyaksikan pertempuran itu.

Kurosaki berdiri di tengah kehancuran, tubuh penuh luka, darah menetes dari pelipisnya. Namun tatapannya masih sama: tajam, penuh gengsi, seolah kekalahan adalah kata yang tak pernah terukir di kamus hidupnya.

Di hadapannya berdiri seorang sosok berbalut aura gelap—penjahat misterius yang hingga kini namanya tak pernah diukir sejarah. Dialah bayangan, momok yang menjerat peradaban.

Kurosaki menyeringai.

“Ada apa? Apa kau tak mampu mengalahkanku, hah? Dasar bodoh. Kau bahkan belum bisa menyentuhku.”

Ucapannya menusuk lebih dalam dibanding pedang. Sosok misterius itu terdiam sepersekian detik, lalu menggeram. Angin mendadak berputar liar, badai terbentuk, menyeret reruntuhan bangunan ke udara. Suara teriakan rakyat yang tertinggal jauh di bawah bercampur dengan suara retakan tanah.

Namun Kurosaki tetap tidak bergeming. Ia melangkah maju, kaki menghantam tanah retak, matanya menatap lurus.

“Dengar, mulai sekarang kau bukan lagi sekadar musuh. Kau adalah rivalku. Dan aku… akan menguburmu dengan tanganku sendiri!”

Ledakan aura memancar dari tubuhnya. Suara desis terdengar ketika energi membakar udara. Dengan kecepatan mustahil, Kurosaki menebas udara, tubuhnya seakan membelah ruang. Tinju pertamanya mendarat di wajah lawan, dentumannya menggema, memecahkan bangunan yang masih berdiri di kejauhan.

Lawan itu terpental, menabrak dinding batu hitam. Debu mengepul, namun Kurosaki tak memberi jeda. Ia muncul di belakangnya, lutut menghantam punggung lawan, lalu melepaskan hantaman telak yang membuat tanah terbelah.

“Bangkitlah, rival! Jangan memalukan di hadapanku!”

Serangan demi serangan datang. Tinju, tendangan, tebasan energi—semuanya mendominasi. Kurosaki seakan menari di medan perang, setiap gerakannya membawa kehancuran. Sementara lawannya hanya bisa bertahan, terhuyung, terlempar, dan terus ditekan tanpa ampun.

Sorak dari anak buah Kurosaki terdengar di kejauhan. Mereka berteriak penuh harap, melihat sang pemimpin memegang kendali penuh.

“Dia menang! Kurosaki menang!”

Namun di balik keyakinan itu, sesuatu terjadi. Sekilas, hanya sekilas, Kurosaki menurunkan kewaspadaannya. Entah karena kelelahan, entah karena rasa percaya diri yang membuncah.

Lawan yang hancur berdiri dengan tubuh penuh luka, namun senyumnya getir. Dari dalam dadanya, cahaya hitam menyembur—serangan pamungkas, desperasi seorang yang enggan jatuh sendirian.

Kurosaki terlambat menyadari.

“—Sial!”

Ledakan terjadi. Tubuhnya ditembus cahaya gelap, menghancurkan dada dan mengoyak napas terakhirnya. Waktu seakan berhenti. Kurosaki terhuyung, darah memuncrat, matanya kehilangan kilau.

Namun ia tetap tersenyum tipis, menatap lawannya.

“Rival, ya… ternyata kau punya taring juga…”

Tubuhnya jatuh, menghantam tanah keras. Suara dentuman tubuhnya bagai lonceng kematian.

“KUROSAKIIIIII!!!”

Teriakan Leo memecah udara. Ia berlari, wajahnya penuh darah dan air mata. Anak buah lain ikut menjerit, memanggil nama pemimpin yang telah melindungi mereka. Tangisan bercampur dengan debu dan kehancuran.

Leo meraih tubuh Kurosaki yang dingin.

“Jangan pergi, jangan sekarang! Kita masih butuh kau! Aku… aku masih butuh kau!”

Namun Kurosaki sudah tiada. Senyumnya membeku di wajah, tanda keberanian sekaligus kebodohannya sebagai prajurit yang lengah di ujung dominasi.

Suasana hancur total. Bawahan menangis, sebagian jatuh berlutut, sebagian lain meraung ke langit. Dunia seakan kehilangan penopang.

Di saat semua diliputi panik, hanya satu yang masih waras. Xyro.

Ia berdiri di tengah reruntuhan, tatapannya tajam menembus asap.

“Cukup. Jika kita tetap di sini, kita semua akan mati.”

Suara Xyro membungkam tangisan sejenak. Ia melangkah maju, tubuhnya menahan setiap serangan sisa yang masih dilepaskan musuh. Bola api, tombak petir, semburan angin tajam—semua diterima Xyro, tubuhnya berdarah, tapi ia tetap berdiri.

Ia meraih Leo dan menariknya.

“Bawa yang lain pergi. Aku akan menahan mereka.”

Leo menatapnya, mata merah membengkak. “Tapi… Kurosaki—”

Xyro menatap lurus ke depan, wajahnya tak gentar.

“Kurosaki sudah melakukan bagiannya. Sekarang giliran kita bertahan hidup.”

Suara ledakan makin dekat. Dari kejauhan, cahaya raksasa tampak naik ke langit.

“Itu… Raja Langit…” bisik salah seorang bawahan.

Di sisi lain, aura hitam pekat membumbung dari bawah tanah. Sebuah nama yang bahkan disebut pun membuat bulu kuduk merinding.

“Raja Durant…”

Xyro menggertakkan gigi. Ia tahu, dua penguasa itu akan segera bergerak untuk menelan dunia. Dan tanpa Kurosaki, peluang mereka nyaris tak ada.

Namun ia tetap berdiri, darah menetes, tubuh penuh luka.

“Aku akan menjadi tameng terakhir.”

Serangan bertubi-tubi menghantamnya, tapi ia tak goyah. Tangisan Leo dan yang lain menggema, tapi langkah mereka menjauh, mengikuti perintah Xyro.

Hari itu, dunia kehilangan satu legenda—Kurosaki, sang dominator yang mati karena lengah.

Namun dari kematiannya lahirlah tekad baru: Xyro, si kartu joker yang diwariskan, berdiri menghadapi neraka demi mengulur waktu.

Dan di langit yang retak, bayangan Raja Langit serta Raja Durant perlahan menutupi cahaya.

Pertarungan Kurosaki berakhir. Tapi perang untuk dunia baru saja dimulai.

----------------

Asap tipis di ruangan itu mulai menghilang. Suara dentuman pertarungan Kurosaki seakan sirna, hanya menyisakan gema di dalam kepala Kuroh dan Shi. Mereka terdiam, wajah pucat, masih menahan napas setelah mendengar semua.

Leo menutup matanya sejenak, lalu melepas kacamata yang berembun.

“Itu… warisan terakhir darinya. Kurosaki mati bukan karena lemah, tapi karena lengah. Dan yang menggantikan tameng terakhir itu… ada di depan kita.”

Kedua mata Kuroh dan Shi langsung terarah pada sosok yang berdiri di pojok ruangan. Xyro.

Ia tidak banyak bergerak, hanya berdiri dengan bahu sedikit merosot, namun tatapannya menusuk bagaikan pedang yang tak pernah tumpul.

Xyro akhirnya angkat bicara, suaranya berat, serak, seolah setiap kata mengandung beban masa lalu.

“Leo, cukup. Jangan bebani anak-anak ini dengan cerita lama. Apa yang terjadi waktu itu… biarlah jadi luka kita.”

Namun Leo menggeleng pelan, senyum getir menghiasi wajahnya.

“Luka itu, Xyro, bukan sekadar milik kita. Mereka perlu tahu siapa yang kita percayakan dunia ini. Mereka perlu tahu kenapa kau… kartu joker terakhir yang ditinggalkan Kurosaki.”

Kuroh menelan ludah. Shi bahkan mundur selangkah, dadanya naik turun.

“Ka-kartu joker…?”

Xyro menatap mereka sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke lantai. Tangannya mengepal, urat di lengan menegang.

“…Aku bukan pahlawan. Aku hanya orang yang tersisa. Yang lain gugur, dan aku dipaksa berdiri.”

Keheningan mencekam memenuhi ruangan.

Suasana dingin itu seperti menyatu dengan jantung semua orang yang ada di sana.

Leo menambahkan, kali ini dengan nada getir yang nyaris patah.

“Jika dunia kembali runtuh… satu-satunya yang bisa menahan neraka itu lagi hanyalah Xyro. Itulah fakta yang tak bisa kita tolak.”

Kuroh dan Shi saling berpandangan. Dalam hati mereka sadar—apa yang tadi mereka dengar bukan sekadar cerita. Itu adalah peringatan.

Dan Xyro, yang berdiri tenang di depan mereka, bisa jadi satu-satunya garis tipis antara dunia dan kehancuran.

Kuroh akhirnya membuka mulut, suaranya parau seolah tertahan di tenggorokan.

“Kalau memang Kurosaki sekuat itu… kalau dia benar-benar mendominasi… kenapa bisa kalah? Dan kenapa… tidak ada yang membantu? Apa kalian semua hanya diam waktu itu?”

Kata-katanya menusuk. Ruangan yang tadinya dingin kaku mendadak makin terasa berat. Shi menoleh, wajahnya juga penuh tanda tanya, tapi ia sendiri tak punya keberanian untuk melanjutkan.

Leo tak langsung menjawab. Tangannya perlahan meraih kacamata di wajahnya, melepasnya, lalu mengusap lensa yang sudah tak berdebu. Gerakan kecil itu seakan hanya alasan untuk menunda, tapi justru makin mempertegas getir dalam dirinya.

Akhirnya ia berkata pelan, namun setiap kata menggema.

“Bukan kami tidak mau… tapi kami tidak bisa. Saat itu, pertarungan mereka berdua bukan lagi sesuatu yang bisa disebut ‘pertempuran.’ Itu… peristiwa di luar nalar manusia. Aku berdiri hanya beberapa ratus meter dari sana, dan mataku… bahkan mataku yang sudah ditempa bertahun-tahun… hanya mampu menangkap kilatan cahaya. Cahaya yang saling bertabrakan, memecah udara, mengguncang tanah. Tidak ada satu pun mata yang bisa mengikuti pergerakan mereka.”

Shi menelan ludah, keringat dingin menetes di pelipisnya.

“Jadi… kalian hanya bisa menonton?”

Leo mengangguk, wajahnya tetap tertunduk.

“Menonton… sambil berdoa. Karena kami tahu, satu-satunya harapan hanya Kurosaki.”

Xyro, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. Suaranya dalam, namun bergetar seakan masih menyimpan bara dari masa lalu.

“Kurosaki mendominasi. Dia adalah tembok yang mustahil ditembus. Lawannya dipaksa mundur berkali-kali, tanah di bawah mereka sudah berubah menjadi kawah besar. Kami semua percaya… hanya tinggal menunggu waktu sebelum dia mengakhiri segalanya.”

Xyro berhenti sejenak. Matanya menutup rapat, seperti menolak mengingat bagian berikutnya.

“Tapi pada akhirnya… hanya satu kesalahan kecil yang dibutuhkan. Satu… kelengahan. Dan saat itulah… neraka menelan segalanya.”

Kuroh merasakan dadanya sesak.

“Kelengahan…? Seorang seperti Kurosaki bisa lengah?”

Leo mengangkat wajahnya, menatap kosong pada langit-langit ruangan.

“Sehebat apa pun manusia… bahkan dia tetap manusia. Mungkin rasa lelah, mungkin keyakinan bahwa lawannya sudah jatuh. Entahlah. Tapi dalam satu detik itu… dia kehilangan segalanya.”

Shi mengepalkan tangan, bibirnya bergetar.

“Jadi… bahkan makhluk terkuat pun bisa jatuh hanya karena sesaat ceroboh?”

Leo mengangguk lagi, kali ini dengan senyum pahit.

“Itu sebabnya kita masih hidup, Shi. Karena pahlawan itu jatuh sendirian. Karena dia memilih menanggung semuanya sendirian.”

Hening. Hanya terdengar napas yang terasa berat di antara mereka.

Kuroh menatap Leo, lalu memalingkan wajah ke arah Xyro.

“Kalau begitu… kalian benar-benar meninggalkan dia? Membiarkan dia mati sendirian?”

Nada suaranya meninggi tanpa sadar. Shi mencoba meredam, tapi Kuroh sudah terbakar rasa penasaran bercampur marah.

Xyro akhirnya membuka mata. Tatapannya menusuk, dingin, tapi juga menyimpan luka yang dalam.

“Aku tidak meninggalkannya.”

Kuroh terdiam, menunggu lanjutan.

Xyro melanjutkan, kali ini dengan nada tegas meski bahunya sedikit bergetar.

“Aku membawa kehendaknya. Itu berbeda. Saat Kurosaki jatuh… aku berdiri di hadapannya. Dan ketika para raja langit, juga Raja Durant, turun untuk merebut dunia… aku menerima semua serangan mereka. Sendirian. Agar orang-orang seperti Leo bisa membawa pasukan keluar, agar harapan tidak mati di tempat itu.”

Leo menunduk lagi, kali ini bukan karena ingin menghindar. Suaranya serak saat berkata.

“Kalau bukan karena Xyro, tak ada satu pun dari kami yang bisa lolos. Kami semua sudah pasrah mati. Tapi dia berdiri di sana… menerima hujan serangan dari makhluk yang bahkan Kurosaki sendiri sebut rival.”

Shi menutup mulutnya, matanya membesar. Bayangan peristiwa itu terlintas di kepalanya—tanah terbelah, langit hancur, Xyro sendirian melawan badai serangan, sementara Leo dan pasukan Kurosaki lari dengan air mata membasahi wajah.

Kuroh akhirnya terisak, meski ia mencoba menahan.

“Jadi… begitu kerasnya dunia dulu. Tak ada yang benar-benar bisa menolong. Hanya menonton… dan berharap satu orang mampu menanggung semuanya.”

Xyro menoleh ke arahnya, tatapannya sedikit melembut.

“Itu sebabnya kalian harus kuat. Jangan pernah ulangi tragedi itu. Jangan pernah biarkan satu orang saja menanggung neraka seorang diri.”

Ruangan kembali sunyi. Kata-kata Xyro menggantung di udara, berat dan penuh luka.

Dan untuk pertama kalinya, Kuroh dan Shi benar-benar merasakan jarak yang membentang antara generasi mereka dengan masa lalu yang berdarah itu.

Ruangan itu masih terasa berat. Hening, tapi bukan hening biasa—lebih seperti ada bayangan besar yang menekan udara, membuat dada sulit bernapas.

Kuroh memecah kesunyian, suaranya pelan namun sarat rasa ingin tahu.

“Leo… kenapa Kurosaki bisa kalah? Dia kan makhluk terkuat… bahkan Xyro pun bilang tidak ada yang mampu menyentuh mereka berdua saat itu. Lalu kenapa tidak ada yang membantu?”

Pertanyaan itu membuat Leo terdiam. Matanya menerawang jauh, seakan kembali ke hari penuh darah itu.

“Tidak ada yang bisa membantu, Kuroh. Pergerakan mereka di luar jangkauan manusia biasa. Bahkan raja langit hanya bisa menonton. Kau bisa bayangkan? Dua makhluk dengan kekuatan di atas segalanya saling bertarung, dan kita… hanya semut yang berdiri di kaki gunung.”

Shi menelan ludah, wajahnya masih pucat.

“Jadi… Kurosaki benar-benar mati begitu saja?”

Leo meletakkan kacamata di meja, mengusap wajahnya dengan jemari yang gemetar halus. Ia tidak menjawab langsung, hanya menghela napas panjang. Lalu, suaranya turun rendah, nyaris seperti rahasia yang tak seharusnya diucapkan.

“Itu dia yang membuatku curiga.”

Kuroh mengangkat kepala, menatap lurus. “Curiga?”

Leo menoleh, sorot matanya tajam, tapi penuh keraguan.

“Waktu itu… aku tidak melihat jasad Kurosaki. Tidak ada tubuh, tidak ada darah. Hanya pecahan energi, lalu menghilang begitu saja. Itu… bukan kematian yang wajar. Kurosaki tidak mungkin meninggalkan dunia tanpa tanda.”

Xyro menyipitkan mata, mencoba menimbang kata-kata itu.

“Kau pikir… yang mati hanya bayangan?”

Leo menegakkan tubuhnya, tatapan gelap.

“Dia bisa saja menggunakan teknik pengalih. Sebuah bunshin, manifestasi energi, apa pun namanya. Aku tahu dia punya cara-cara yang bahkan kami, orang terdekatnya, tidak pahami. Dan anehnya… aura khasnya masih terasa sesekali. Tipis, samar, seperti bisikan angin. Tapi itu cukup.”

Kuroh menelan rasa terkejutnya.

“Kalau begitu… Kurosaki masih hidup?”

Leo menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.

“Jangan buru-buru berharap. Aku tidak bilang dia masih hidup. Aku hanya… tidak percaya bahwa yang kita lihat adalah akhirnya. Kurosaki bukan tipe yang menyerahkan hidup tanpa perlawanan terakhir. Kalau dia benar bersembunyi, berarti dia punya alasan. Alasan yang lebih besar daripada sekadar bertahan.”

Ruangan kembali sunyi. Namun kali ini bukan hening kosong—melainkan hening penuh pertanyaan.

Xyro akhirnya membuka suara, nadanya getir.

“Kalau dia sengaja bersembunyi… itu berarti dia tahu musuh yang kita hadapi bukan sekadar Raja Durant. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak boleh kita lihat… setidaknya belum sekarang.”

Leo menutup matanya, merasakan getir pahit di tenggorokan.

“Ya… ada dalang yang lebih gelap. Durant hanya bidak. Ada sosok lain yang menarik benang di balik layar.”

Di luar, angin malam menggerakkan tirai perlahan. Di kegelapan, jauh dari ruangan itu, seseorang tersenyum samar. Sepasang mata dingin memandangi dunia seolah-olah ia sedang memegang papan catur raksasa.

“Biarlah mereka curiga,” gumamnya pelan, suara nyaris larut dalam bayangan. “Semakin mereka mencari Kurosaki… semakin cepat mereka masuk dalam perangkapku.”

Dan malam pun kembali hening.

1
author pemula
bagus
Abi Dharma
Seru banget, aku nggak sabar nunggu chapter berikutnya!
Ngực lép
Gak bisa berenti baca.
Mikerap <3
Kangennya bukan main, update dong thor. Biar makin jatuh cinta! 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!