Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
beraninya kamu berbohong
Amora berdiri di ujung lorong, tepat di depan pintu perawatan Yono.
Jantung Yono berdegup kencang, dadanya terasa sesak. Matanya bergantian menatap Amora yang semakin mendekat, lalu melirik gugup ke arah toilet, berharap Amira tidak segera keluar.
“Saya tidak menyangka Anda punya hubungan keluarga dengan keluarga Baskara,” ucap Amora, suaranya tenang namun menusuk, saat ia sudah cukup dekat.
Semakin dekat, semakin jelas wajah itu—Amora begitu mirip dengan Amira. Darah Yono serasa berhenti mengalir.
Amora mengeluarkan stetoskop, menempelkannya ke dada Yono. “Apa ada yang Bapak pikirkan?” tanyanya sambil mendengar detak jantung Yono yang tidak beraturan.
“Ti… tidak… tidak ada yang dipikirkan, Bu,” jawab Yono dengan suara bergetar. Lirikan matanya terus mengarah ke pintu toilet.
“Di mana anak Bapak yang bernama Amira?” tanya Amora tiba-tiba.
“Dia ada di toilet, Bu,” sahut seorang perawat yang berdiri di dekatnya.
“Baiklah. Saya akan tunggu. Karena malam ini saya harus segera berangkat ke luar negeri,” jelas Amora dengan nada formal.
“Baik, Bu…” suara Yono gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan rahasia besar yang bisa pecah kapan saja.
“Apa sebenarnya pekerjaan anak Bapak? Kenapa saya sulit sekali bertemu dengannya?” tanya Amora, matanya tidak lepas dari monitor yang menampilkan detak jantung Yono.
“Anak saya punya banyak pekerjaan,” jawab Rahayu yang sejak tadi hanya diam.
“Oh, begitu ya? Apa dia seorang karyawan, pegawai, atau manajer sebuah perusahaan?” Amora masih penasaran.
“Pagi hari dia kerja markir di pasar, sore sampai malam jadi pelayan café, kadang juga jadi debt collector,” jelas Rahayu dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa Ibu sedih?” tanya Amora lembut.
Rahayu menyeka air matanya. “Saya hanya ingat perjuangan anak saya selama ini, Bu. Dia bekerja keras untuk mengobati Bapaknya. Semua dia lakukan untuk kami berdua…” suara Rahayu pecah, ia terisak.
Amora spontan merangkul pundaknya. “Anak Ibu anak yang berbakti. Bapak dan Ibu sangat beruntung punya anak seperti Amira.”
Air mata Yono ikut jatuh.
Rahayu menunduk dalam hati: “Nak, andai kamu tahu… Amira begitu mirip denganmu. Dan seandainya benar kamu adalah kembaran Amira, inilah yang paling kami takutkan: kami takut kehilangan Amira…”
“Ceklek!”
Pintu kamar mandi terbuka. Suara itu membuat dada Rahayu dan Yono berdebar hebat. Pertemuan saudara kembar itu terasa tinggal menunggu hitungan detik.
Namun tiba-tiba, seorang pria berjas hitam datang menghampiri Amora.
“Nona, ada telepon dari Nyonya Besar,” katanya sambil menyerahkan ponsel.
Amora menerima ponsel itu. “Baik, Oma. Aku akan segera berangkat.”
Kata “Oma” yang terdengar dari bibir Amora langsung menggetarkan hati Yono. Ia tahu, waktunya semakin sempit.
Saat itu Amira keluar dari toilet, kepalanya menunduk, seperti mencari sesuatu yang jatuh.
“Bu, itu Amira sudah ada,” ucap perawat pelan
Amora melihat sosok Amira yang baru keluar dari toilet, tapi Amira belum menoleh ke arahnya.
“Bun, tolong jelaskan saja pada keluarga pasien. Saya sekarang buru-buru,” ucap Amora cepat kepada perawat.
“Baik, Bu,” jawab perawat.
Amira melangkah ke arah Yono, sementara Amora sudah bergegas ke pintu keluar.
“Bu, tadi siapa?” tanya Amira penasaran.
“Itu dokter Amora,” jawab Rahayu refleks. Ia sendiri tidak tahu apakah itu jawaban karena pasrah atau memang merasa sudah waktunya Amira bertemu dengan sosok itu.
Amira sontak melangkah lebih cepat. Ia membuka pintu kamar dan berlari keluar, berusaha menyusul Amora.
Namun, saat jaraknya tinggal beberapa meter, seorang pria berjas hitam menghadang.
“Maaf, Dokter Amora sedang buru-buru,” katanya tegas.
Amira menatapnya dengan memelas. “Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih…”
“Maaf, Dokter Amora benar-benar harus segera pergi.” Suara pria itu dingin, tanpa celah.
Dari kejauhan, Amora sempat menoleh. Sekilas tatapan mereka hampir bertemu. Jantung Amira berdetak lebih kencang tanpa alasan yang jelas.
Amora lalu berbalik dan berjalan cepat, diapit dua pengawal berjas.
Amira ingin melangkah mengejar, namun dua pria berjas lainnya langsung menghalangi jalannya.
“Lain kali saja bertemu Dokter Amora,” ucap salah satu dari mereka.
Amira terdiam. Nafasnya memburu, hatinya penuh rasa ingin tahu. Ia hanya bisa pasrah melihat punggung Amora semakin menjauh hingga lenyap di lorong rumah sakit.
Dengan langkah berat, Amira kembali masuk menuju kamar perawatan Yono.
…
…
Di kamar perawatan, Rahayu memegang tangan Yono. Air matanya menetes pelan.
“Sudah, Bu. Hanya pasrah yang bisa kita lakukan. Lagi pula, mereka berhak untuk bertemu,” ucap Yono menenangkan, meski dalam hatinya dialah yang paling takut. Jika semua rahasia terbongkar, dialah orang yang paling bersalah.
“Ya, Pak… semoga saja keluarga Amira berbelas kasih pada kita,” harap Rahayu lirih.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Amira masuk dengan wajah tengil, menghampiri Rahayu dan Yono.
“Kenapa sih muka kalian muram begitu?” tanya Amira, membuyarkan lamunan keduanya.
“Wah, kayaknya lebih cocok di kamar kelas tiga, deh. Nggak pantas di ruangan bagus. Pada kesambet, ya?” Amira heran melihat Yono dan Rahayu masih menatapnya kosong.
“Dasar anak nggak punya adab!” Rahayu menjewer telinganya.
“Hehe, ternyata Ibu nggak kesurupan,” Amira tersenyum.
“Kenapa emang?”
“Soalnya kalau Ibu tiba-tiba baik hati dan nadanya lemah lembut, aku takut itu bukan Ibu,” jawab Amira.
“Dasar anak durhaka!” gerutu Rahayu.
“Hehe, gitu dong! Ibuku yang paling cantik, cerewet,” ucap Amira lalu memeluk manja ibunya.
“Oh Tuhan, sanggupkah aku kehilangan anak sebaik ini…” bisik Rahayu dalam hati.
Ceklek!
Pintu kamar kembali terbuka.
“Oh, suamiku!” seru Amira girang melihat Ferdi datang.
Namun, ekspresi Ferdi tetap datar, seperti jalan tol baru diaspal.
“Sudah malam, ayo kita pulang,” ucapnya dingin.
Amira menoleh ke arah Yono.
“Kamu sudah menikah. Biarkan istrimu menjagaku, Nona,” ucap Yono.
“Ya, sebaiknya Nona ikut saja dengan Tuan Ferdi,” timpal Rahayu.
“Baiklah.” Amira menghela napas. “Kalian di sini baik-baik, ya.”
“Tuan Ferdi, tolong jaga Amira,” ucap Rahayu lembut.
“Baik, Bu. Kalau ada apa-apa, hubungi saja perawat. Aku sudah berpesan kalau kalian bagian dari keluarga Baskara,” jawab Ferdi.
“Terima kasih, Tuan,” ucap Yono penuh haru.
“Baiklah, aku pulang dulu, ya,” kata Amira.
“Iya, Nona,” jawab Yono.
Amira dan Ferdi keluar ruangan. Yono dan Rahayu saling berpandangan.
“Pak, apakah Amira sudah bertemu dengan Amora?” tanya Rahayu.
“Sepertinya belum, Bu. Kalau sudah bertemu, pasti ada perubahan sikap dari Amira dan Amora,” tebak Yono.
Amira dan Ferdi berjalan beriringan. Dengan manja, Amira menggandeng tangan Ferdi. Dalam hatinya, Amira sudah bertekad: ia akan mengeruk setengah harta Ferdi. Awalnya ia berniat mengambil semuanya, tapi karena Ferdi begitu baik pada orang tuanya, niat itu berubah. Caranya dimulai dengan bersikap manja pada suaminya.
“Lepasin, enggak!” geram Ferdi.
“Bising banget sih. Aku ini istri kamu. Jadi kalau aku manja sama kamu wajar dong. Emang kamu mau aku manja sama orang lain?” balas Amira.
“Tumben, biasanya kamu ngomongnya ‘lu–gue’,” ujar Ferdi heran.
“Setelah aku dipenjara, aku banyak merenung. Ternyata aku harus jadi istri yang baik,” jawab Amira dengan senyum tipis.
Mereka masuk ke mobil. Kini Ferdi memakai sopir, karena kalau berdua saja, ia pasti akan rebutan kunci dengan Amira.
Selama perjalanan, Amira tertidur di pundak Ferdi. Anehnya, kali ini Ferdi tidak marah.
Setelah menempuh perjalanan satu jam, akhirnya mereka tiba di rumah Ferdi.
Sesampainya di hadapan Renata, Anton langsung berkata dengan tegas,
“Amira, berani-beraninya kamu membohongi kami!”